Ideologi Komersial dan Ideologi Media

Ilustrasi media (Sumber: Clermontsearch.com)



Jika tak dapat disebut bertentangan, bisnis media dan ideologi media/pers sesungguhnya tak pernah seiring-sejalan. Keduanya, jelas, memiliki kepentingan yang tak dapat diseiringkan. Tak pula disejalankan. Di satu sisi, bisnis media berkepentingan meraih keuntungan ekonomis sebesar-besarnya. Ideologi komersial, begitu lebih tepatnya. Maka, informasi atas sebuah fakta diperlakukan sebagai komoditas yang (harus) bernilai jual.

Di sisi lain, media massa memuarakan tujuan aktivitas jurnalistiknya untuk kepentingan publik. Pengabdian pada kebenaran dan kepentingan publik, kata Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, merupakan prinsip dasar jurnalisme. Hal demikian yang kemudian disebut ideologi media/pers.

Karena itu, tidak tepat jika dikatakan bahwa tak ada pertentangan antara bisnis dengan ideologi media, seperti pendapat Amir Effendi Siregar dalam Bisnis dan Ideologi Media (Kompas, 24 April 2010). Menjalankan ideologi media, menurutnya, bukan berarti harus mengorbankan bisnis media. Sebab, bisnis yang baik adalah yang dijalankan sesuai dengan ideologi yang bermanfaat buat masyarakat.

Masalahnya, hal yang dianggap bermanfaat bagi masyarakat tak serta-merta menjadi kebaikan atau dapat dijalankan oleh bisnis media. Kebenaran dan kepentingan publik --yang merupakan prinsip dasar jurnalisme-- tak niscaya menjadi kemanfaatan (ekonomis) bagi bisnis media. Sebab, informasi atas sebuah kebenaran atau kepentingan publik harus memiliki kriteria bernilai jual lantaran ia adalah komoditas. Pengertian sederhananya: buat apa membuat berita jika korannya tak dibeli masyarakat, atau stasiun televisinya tak dapat pasokan iklan.

Sebuah informasi yang benar (sesuai fakta) dan menyangkut kepentingan publik dapat menjadi ‘komoditas yang baik’ untuk masyarakat, pun untuk bisnis industri media. Syaratnya, ia harus bernilai jual (lazimnya berkarakter kontroversial, menghebohkan, provokatif). Namun, tak semua informasi yang benar dan menyangkut kepentingan publik bernilai jual, sehingga bukan ‘komoditas yang baik’ dan dapat mendatangkan keuntungan ekonomis bagi industri media.

Fakta tentang rusaknya sebuah separator busway di Jakarta, misal, tentu bukan/kurang memenuhi unsur sebagai ‘komoditas yang baik’ dibanding hasil laporan investigasi tentang rekening gendut perwira Polisi (yang justru kontroversial dan memerlukan pengujian/pembuktian). Keduanya adalah fakta (meski yang terakhir adalah fakta yang perlu pembuktian lebih lanjut) dan menyangkut kepentingan publik. Namun, media memperlakukan keduanya berbeda: ada yang memberitakan ala kadarnya, dan ada pula yang tak peduli.

Kasus peredaran video adegan dewasa yang disebut-sebut mirip tiga pesohor papan atas Tanah Air pada 2010, juga contoh yang masih segar dalam ingatan. Betapa media lebih bergairah memburu informasi atas fakta seputar peredaran video tak senonoh itu ketimbang kabar tentang buruknya pelayanan sebuah puskesmas di ujung pedalaman Kalimantan sana. Apa pasal? Kasus video merupakan ‘komoditas yang baik‘ dan lebih bernilai jual, sedangkan perkara puskesmas tidak/kurang.

Contoh yang demikian, belum termasuk dalam persoalan terkategori ‘komoditas yang baik‘ dan bernilai jual plus berbau gossip alias fakta yang dioplos dengan opini. Media massa televisi, terutama sekali infotainment, yang paling banyak memerankan fungsi demikian. Jelas, menjadi perkara tambahan bagi hubungan bisnis dan ideologi media. Sebab, selain telah melanggar prinsip dasar dan Kode Etik Jurnalistik, informasi/berita tentang fakta yang dicampur opini juga akan mengaburkan fakta itu sendiri. Tujuannya tak lain kepentingan ekonomis semata.

Berita dalam makna ‘komoditas yang baik’ serta bernilai jual (dan yang sebaliknya) itu pun tak pernah merupakan fakta sesungguhnya fakta. Sebab, berita bukan adalah peristiwa itu sendiri. Berita merupakan usaha rekonstruksi kerangka peristiwa yang terjadi. Maka, berita dalam konteks komunikasi massa, lebih merupakan inti yang disesuaikan dengan kerangka acuan yang dipertimbangkan agar peristiwa itu memiliki makna bagi para pembacanya (Wilbur Schramm, 1949).

Sebagai sebuah kerangka peristiwa yang telah direkonstruksi, tentu, berita dapat memiliki kepentingan sendiri, meski tetap merupakan kepentingan ekonomis. Berita --walau pun telah berdasar prinsip dasar dan Kode Etik Jurnalistik-- tetap dapat disesuaikan atau diselaraskan dengan kepentingan pemilik modal atau pemilik bisnis media.

Makna sederhananya, hasil liputan atau berita yang dibuat sang jurnalis terbuka ruang untuk disesuaikan dengan kepentingan mana pun, terutama kepentingan industri media sendiri. Sang jurnalis hanya bagian kecil dari seluruh struktur sosial yang lebih besar. Struktur sosial di luar sang jurnalis itu dapat begitu kuat memengaruhi seluruh isi berita media massa.

Negara di Antara Dua Ideologi

Senyampang masih dalam batas-batas yang dibolehkan menurut prinsip dasar dan kode etik jurnalistik, kapitalisasi informasi barangkali dapat diwajarkan. Namun, tak boleh dibiarkan. Berbeda ketika kapitalisasi informasi itu telah berani melanggar nilai dan norma yang berkembang di masyarakat. Kapitalisasi semacam itu tak boleh dianggap wajar, apalagi dibiarkan.

Seperti halnya pemberitaan berlebihan oleh media infotainment terkait kasus peredaran video dewasa yang menghebohkan dan sensasional itu. Hal demikian tidak saja melanggar nilai dan norma serta prinsip dasar dan Kode Etik Jurnalistik, melainkan juga turut berperan bagi pembodohan masyarakat. Sebab, dalam konteks ini, masyarakat hanya bisa pasrah sebagai konsumen media. Sementara, media tiada henti menggempur masyarakat dengan informasi-informasi yang tak baik untuk dikonsumsi.

Negara, dalam hal ini pemerintah, memiliki instrumen untuk mengatasi hal tersebut. Dalam hal penyiaran, lembaga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus menjadi yang terdepan bagi perkara sengketa ideologi komersial dengan ideologi media/pers. Industri media tak dapat dan tak boleh berlindung di balik alasan kebebasan pers yang memang dijamin oleh konstitusi.

KPI, juga Dewan Pers, harus mampu memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa tayangan atau informasi yang disajikan industri media benar-benar untuk kebaikan publik. Jika tidak, industri media yang menikmati keuntungan ekonomis, dan justru masyarakat yang merugi.

Baca juga:

Lemparkan Saja Batunya ke Hacker
Ideologi Tak Pernah Mati
‘Koalisi Besar’ versus ‘Monster Gratisan’
Musik Rock Amerika Bercita-rasa Bali

Praduga Bersalah di Balik Istilah "Terduga"

Ilustrasi. (Sumber: Ravaban.net)



Suatu hari, seorang kawan galau tentang penyebutan "terduga", yang kala itu kasusnya adalah terduga teroris. Kawan yang seorang advokat itu, melalui kicauan di akun Twitter-nya, mengungkapkan keyakinannya bahwa tak ada istilah "terduga" dalam sistem hukum positif negara mana pun, termasuk Indonesia. Tetapi, media massa mengulang-ulang istilah tersebut pada seseorang yang ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Perihal itu sesungguhnya bukan soal istilah semata, tetapi berkaitan dengan konsekuensi hukum. Dalam sistem hukum acara di negeri ini hanya dikenal istilah tersangka dan terdakwa. Tak ada istilah "terduga" (atau pun "terperiksa", yang lazim digunakan dalam kasus korupsi).

Tidak diketahui pasti dari mana asal istilah "terduga" (dan "terperiksa") itu. Ada yang menyebut, itu bermula dari penyebutan oleh aparat penegak hukum, yang barangkali pada suatu waktu ada kasus yang sudah diketahui pelakunya tetapi belum ditemukan bukti untuk menetapkannya sebagai tersangka. Sebab, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, seseorang ditetapkan sebagai tersangka manakala ditemukan bukti permulaan yang cukup.

Namun, saya menduganya, itu berawal dari media massa, atau lebih tepatnya dari upaya penyederhanaan (gampang-gampangan atau 'mencari aman') para jurnalis begitu mengetahui ada kasus hukum yang menarik dan bernilai berita serta perlu segera dikabarkan kepada publik. Sementara, di saat yang sama, aparat belum menetapkan seorang pun sebagai tersangka, atau bahkan melakukan tindakan hukum apa pun.

Penjelasan lebih sederhananya barangkali seperti contoh berikut ini. Suatu saat, misal, Polisi memeriksa seorang pria yang merupakan rekan bisnis seorang pengusaha. Sehari sebelumnya ada seorang pengusaha yang melapor pada Polisi yang mengaku bahwa dirinya telah ditipu seseorang.

Dalam situasi seperti itu, Polisi biasanya masih bungkam untuk mengungkapkan identitas terang orang yang diperiksa tersebut, karena memang belum ditemukan bukti permulaan dan belum ada seorang pun yang ditetapkan sebagai tersangka. Tapi, wartawan -meski tidak semua- biasanya tak sabar dan mulai membuat spekulasi dengan, misal, menulis berita bahwa seseorang yang diperiksa itu "diduga" adalah rekan bisnis seorang pengusaha yang mengaku ditipu tersebut. Tak lupa, si wartawan membubuhkan inisial tertentu yang merujuk pada seseorang yang diperiksa itu.

Hal serupa sering kali terjadi pada kasus-kasus terorisme (dan/atau korupsi). Misal, begitu mengetahui sepasukan Densus 88 bersenjata lengkap menangkap seseorang di sebuah rumah kontrakan, lalu para jurnalis pun serta-merta menyebut "terduga (atau "diduga") teroris". Padahal, sering kali pula, pada saat-saat seperti itu, belum ada satu pun pejabat berwenang di Kepolisian yang menyatakan bahwa seseorang itu sudah berstatus tersangka.

Saat peristiwa penggerebekan/penangkapan sedang berlangsung, para jurnalis, terutama jurnalis media televisi dan media online, tak punya banyak waktu untuk mengonfirmasi status hukum seseorang yang ditangkap itu. Sementara, berita harus disiarkan segera. Media televisi belakangan bahkan seringkali tampak berlomba menjadi yang tercepat (bukan terakurat) dengan menyajikan laporan langsung (live report) dari tempat kejadian perkara, sehingga makin sedikit waktu yang dimiliki si jurnalis untuk melakukan konfirmasi.

Tindakan yang demikian, menurut Kode Etik Jurnalistik (KEJ), tidak dapat dibenarkan. Sebab, penyebutan "terduga" atau "diduga" adalah termasuk kategori opini, bukan fakta, serta sudah memasuki ranah praduga bersalah, sebagaimana disebut dalam KEJ bahwa "Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah."

Disebut opini karena memang tidak ada fakta hukum -karena belum jadi tersangka- yang membuktikan seseorang itu patut diduga sebagai teroris. Disebut memasuki ranah praduga bersalah karena, dalam kalimat sederhana: tak ada angin dan tak ada hujan sudah disebut terduga atau diduga. Bukan tuduhan, memang. Tapi, penyebutan itu sudah mengarahkan persepsi.

Masalahnya tidak sebatas menyangkut etika jurnalistik, tetapi juga berkaitan dengan konsekuensi hukum. Jika seseorang yang disebut "terduga" atau "diduga" itu kemudian benar-benar ditetapkan sebagai tersangka, atau bahkan sampai menjadi terdakwa di pengadilan, mungkin dapat ditoleransi, meski tetap tidak dibenarkan. Tapi, dalam beberapa kasus, mereka yang disebut "terduga" atau "diduga" itu kemudian dibebaskan oleh Polisi karena dianggap tidak terbukti terlibat.

Pada beberapa kasus lain bahkan mereka yang disebut media sebagai "terduga" atau "diduga" teroris itu tidak pernah dibuktikan bersalah atau sebaliknya, karena sudah ditembak mati oleh Densus di tempat kejadian perkara (dalam hal ini tentu tidak termasuk mereka yang sebelumnya sudah masuk dalam daftar pencarian orang alias DPO, karena mereka sudah pasti berstatus tersangka).

Nah, kalau sudah begitu, karena media sudah terlanjur menyebut "terduga" atau "diduga", publik pun meyakini bahwa mereka memang teroris, padahal tidak pernah dibuktikan. Dapat disimpulkan pula bahwa menurut hukum, mereka (seolah) sudah divonis bersalah, padahal tidak pernah ditahan atau masuk ruang pengadilan.

Tegasnya ialah penyebutan dua kata itu tidak relevan menurut prinsip-prinsip jurnalistik maupun hukum. Pada kasus terorisme, kasus korupsi, atau pun kasus-kasus lain yang meski tak ada konsekuensi hukumnya, sama-sama tidak dapat dicarikan alasan pembenarnya. Kalau ada aparat hukum yang begitu, sudah pasti pengetahuan hukumnya harus di-ugrade. Jika (masih) ada jurnalis yang seperti itu, sudah selayaknya dikandangkan terlebih dahulu agar ia punya waktu untuk belajar jurnalistik yang benar.

Baca juga:

Mengenal Tuhan Media
Jurnalisme Gosip
‘Koalisi Besar’ versus ‘Monster Gratisan’
Arogansi Satpam atau Jurnalis?

Mengenal Tuhan Media (bagian 4/selesai)

Logo Facebook. (Sumber: Cloudfront.net)


Media sosial

Media jenis ini bukanlah media dalam pengertian seperti tiga jenis media yang diulas pada kesempatan sebelumnya. Media yang disebut juga dengan istilah social media atau new media ini bukan bagian dari industri media yang menjalankan prinsip-prinsip atau etika penyiaran/jurnalistik. Ia pun bukan jenis media yang memerlukan izin pemerintah atau otoritas terkait untuk menjalankannya. Jika pada tiga jenis media yang diulas sebelumnya harus memenuhi syarat berbadan hukum, media sosial tidak.

Media sosial adalah media yang digunakan oleh masyarakat secara umum untuk saling berinteraksi, berbagi informasi, berbagi video/foto, dan sebagainya, seperti Facebook, Twitter, blog, Youtube, Flickr, Foursquare, Linkedin, dan lain-lain. Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai "sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0, dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content".[1]

Melalui media sosial, setiap orang bisa menjalankan peran-peran sebagaimana yang dilakukan pada media televisi, media cetak dan media daring (untuk menyederhanakan, ketiganya akan disebut media mainstream/arus utama). Dengan media sosial, setiap orang bisa membuat, menyunting sekaligus mempublikasikan sendiri konten berita/artikel/foto/video. Promosi, atau bahkan memasang iklan di media arus utama pun bisa dilakukan sendiri.

Media sosial lebih fleksibel, lebih luas cakupannya, lebih efektif-efisien, lebih cepat, lebih interaktif, dan lebih variatif ketimbang media arus utama. Meski begitu, media sosial mengandung kelemahan, yakni akurasi atau kebenaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tidak seperti pada media arus utama, yang kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan oleh jurnalis.

Tetapi, bukan soal itu yang menjadi fokus dalam artikel ini. Seri terakhir Mengenal Tuhan Media ini lebih pada upaya menjelaskan hubungan antara media sosial dengan media arus utama, yakni media televisi, media cetak dan media daring. Tentu tetap dalam konteks rating, oplah/tiras, dan pageviews. Namun, media sosial yang dimaksud dibatasi hanya pada Facebook, Twitter dan sedikit Youtube, karena ketiganya yang paling erat kaitannya dengan media arus utama.

Sekarang, rasa-rasanya tidak ada satu pun media televisi di alam semesta ini yang tidak memiliki akun Facebook atau Twitter --kalau yang tidak punya akun Youtube barangkali masih banyak. Begitu juga dengan media cetak, dan (apalagi) media daring. Soal penggunaan atau pemanfaatannya maksimal, biasa-biasa saja, atau sebatas ada, itu lain perkara.

Tetapi, pokoknya adalah, Facebook, Twitter dan Youtube itu kini telah menjadi sarana alternatif untuk promosi/pemasaran bagi media arus utama. Karenanya, kini mulai menggejala, media-media arus utama berlomba-lomba meningkatkan jumlah fans di halaman (page) Facebook-nya, jumlah followers di Twitter-nya, dan (kalau ada) jumlah pengunjung di Youtube.

Bagi media televisi, jumlah fans di halaman Facebook, jumlah followers di Twitter, dan jumlah pengunjung di Youtube, tentu akan meningkatkan peluang program-program tayangannya ditonton, yang kemudian bakal meningkatkan rating. Media televisi bisa menginformasikan atau sekadar mengingatkan, misal, jadwal pertandingan sepakbola El Clasico kepada khalayak. Bagi media televisi yang memiliki web, ia pun bisa mengunggah, misal, video rekaman highlight pertandingan El Clasico itu, dan kemudian diinformasikan kepada para fans dan followers.

Bagi media cetak, jumlah fans di halaman Facebook, jumlah followers di Twitter, tentu akan meningkatkan peluang koran/majalah/tabloidnya laku dibeli, yang kemudian bakal meningkatkan oplah/tiras. Media cetak juga dapat menginformasikan lebih awal, misal, headline (laporan utama) apa yang akan mengisi halaman depan koran/majalah/tabloidnya pada edisi mendatang. Media cetak yang memiliki versi web atau komputer tablet pun bisa memanfaatkan Facebook atau Twitter.

Mudah dijawab apa manfaat Facebook atau Twitter bagi media daring. Jelas, untuk meningkatkan jumlah pageviews. Semakin banyak jumlah fans Facebook atau followers Twitter pastilah akan meningkatkan pula peluang halaman-halaman pada media daring di-klik dan dibaca. Jika media A memiliki 100 ribu followers di Twitter, asumsi sederhananya adalah 100 ribu pageviews. Itu belum pageviews yang dihasilkan dari fans di Facebook.

Logo Twitter. (Sumber: Uniqpost.com)


Semua, fans (page) Facebook, followers Twitter, dan/atau pengunjung akun Youtube, juga merupakan barang jualan kepada para pengiklan. Belakangan, makin banyak perusahaan yang menyadari pentingnya media sosial sebagai sarana promosi/pemasaran. Caranya, bisa menggunakan media sosial yang dikelola media arus utama, bisa juga memanfaatkan media sosial yang dikelola sendiri.

Oktober 2011 lalu, dalam Pivot Conference tahunan, sebuah survei menemukan, 37,1 persen pemasar mengatakan perusahaannya tidak bereksperimen lagi dengan pemasaran media sosial pada tahun 2012. Banyak faktor yang membuat mereka menyadari betapa penting untuk lebih memanfaatkan pemasaran lewat media sosial. Sekitar 68,5 persen di antaranya mengatakan karena peningkatan pemahaman tentang manfaat dari media sosial. Selain itu, 60,9 persen mengatakan telah memiliki strategi media sosial yang jelas, 54,3 persen menunjuk hasil jelas, dan 51,1 persen menyebutkan karena metrik yang digunakan benar-benar bermanfaat.[2]

Fenomena termutakhir dalam dunia media sosial dan pemasaran adalah keberadaan buzzer, meski sejauh ini terbatas pada Twitter. Twitter menghadirkan cara baru (tapi lama) dalam beriklan, yaitu dengan memanfaatkan akun-akun yang populer atau akun-akun milik orang terkenal. Mereka yang terpilih menjadi duta komunikasi para pemasar (brand) di linimasa (timeline) Twitter itulah yang lazim disebut buzzer.

Buzzer, dalam arti yang umum dijelaskan sebagai alat atau suatu benda yang menghasilkan suara yang bising sehingga mengganggu perhatian. Tetapi buzzer di dunia Twitter, tidak persis seperti penjelasan tersebut. Buzzer di sini adalah akun yang memiliki pengaruh besar, followers-nya fanatik, tweet mereka sering di-retweet, mampu berinteraksi dengan followers-nya, dan yang pasti jumlah followers-nya banyak. Lumrah jika muncul anggapan, selebritas yang sudah terkenal di media tradisional akan lebih cepat dan mudah menjadi buzzer di Twitter.[3]

Tetapi, perkara fans (page) di Facebook atau followers di Twitter itu bukan tanpa cela. Belum lama ini dilaporkan bahwa Facebook berencana menghapus status "Like" atau "Suka" palsu yang diduga dibuat oleh akun berbahaya atau program otomatis.[4] Status "Like" atau "Suka" di Facebook yang berbentuk tombol bergambar kepalan tangan dengan acungan jempol itu digunakan untuk memberi tanggapan positif atas hal-hal seperti posting, foto atau video, juga digunakan pengguna untuk membuat koneksi dengan sebuah Halaman (Page) yang disukai.

Pada Twitter juga ada hal serupa, yakni fenomena followers palsu. Fenomena tersebut terungkap oleh sebuah penelitian yang mengamati akun Twitter Lady Gaga. Penelitian tersebut berpendapat, sesungguhnya followers akun Gaga tidak sebanyak itu. Dalam artian, ada akun-akun tidak aktif, atau bahkan kemungkinan jumlah itu besar karena menggunakan jasa bot, sejenis program yang menjual akun dalam jumlah besar sebagai followers.[5]

Sejauh ini, media arus utama yang juga memanfaatkan media sosial seperti Facebook dan Twitter belum cemas atas keberadaan "Like" atau followers palsu tersebut. Begitu juga dengan pengiklan. Barangkali mereka masih meyakini bahwa jumlah "Like" atau followers yang asli masih jauh lebih banyak daripada yang palsu, sehingga masih dianggap efektif sebagai barang jualan atau pun sarana pemasaran.

Tapi, apa pun yang terjadi, media arus utama atau media sosial, tetap menjadikan rating, oplah/tiras, pageviews, fans di Facebook dan followers di Twitter, sebagai tuhan mereka. Pada hal-hal itulah hidup-mati mereka bergantung. Dunia media, termasuk media sosial, terus bergerak secara dinamis. Bukan mustahil muncul tuhan-tuhan baru, dan serial terakhir artikel ini kelak direvisi hingga menjadi "bagian 5", "bagian 6", dan seterusnya.

Baca juga:
Mengenal Tuhan Media (bagian 1)
Mengenal Tuhan Media (bagian 2)
Mengenal Tuhan Media (bagian 3)

Mengenal Tuhan Media (bagian 3)

Ilustrasi pageviews. (Sumber: Hongkiat.com)
 Media daring

Pasti pernah melihat judul berita/artikel pada media daring (dalam jaringan/online) yang provokatif dan bombastis, lalu tergoda untuk meng-klik-nya, dan setelah dibaca, isinya ternyata biasa saja, atau bahkan tidak ada yang penting. Rasanya seperti masuk dalam jebakan batman. Itulah yang disebut "demi pageview" alias hanya agar halaman berita/artikel tersebut di-klik.

Belum ada padanan kata pageview dalam bahasa Indonesia. Sejauh ini pun belum ditemukan pengertiannya yang benar-benar tepat untuk mendefinisikan kata tersebut. Tapi, sederhananya barangkali begini: berapa kali satu halaman web/blog dilihat oleh para netter (pengguna internet). Jadi, kalau ada 100 orang meng-klik atau membaca satu halaman artikel ini, maka artinya ada 100 pageview. Kalau 50 dari 100 orang itu meng-klik lagi satu halaman lain, maka total ada 150 pageview.

Pageview itulah yang menjadi tuhan bagi industri media daring --media jenis baru, yang diramalkan Bill Gates, pendiri Microsoft, bakal menggusur media cetak dalam waktu paling lambat 50 tahun mendatang. Maka, awak redaksi tentu dituntut untuk membuat berita/artikel yang tidak cuma penting, tapi juga benar-benar menarik untuk dibaca. Membuat judul yang benar-benar menggoda netter untuk meng-klik berita tersebut pun sepaket dengan hal ini.

Karena itu, dapat dimaklumi (meski sesungguhnya tidak dibenarkan) jika sering dijumpai jebakan-jebakan batman seperti kasus di atas; judulnya heboh tapi isinya biasa. Tujuannya, sekali lagi, demi pageview. Semakin banyak berita/artikel dibuat, apalagi dikombinasikan dengan jebakan batman itu, asumsinya akan meningkatkan peluang menambah jumlah pageview. Strategi meningkatkan pageview juga berkaitan dengan SEO atau search engine optimization alias teknik agar web/halaman web mudah ditemukan melalui mesin telusur seperti Google.

Pageview tentu bukan semata demi kepentingan media yang bersangkutan, melainkan untuk pengiklan. Pemasang iklan pertama-tama akan melihat berapa jumlah pageview sebuah media daring, karena ia akan memastikan seberapa banyak peluang iklannya dilihat pengguna internet, dan tentulah pula seberapa besar peluang produknya laku dibeli orang. Jika media A memiliki 1000 pageview per hari, maka asumsi sederhananya, iklan yang dipasang pun akan dilihat 1000 orang.

Sama seperti rating pada media televisi dan oplah/tiras pada media cetak, pageview juga menentukan keberlangsungan atau hidup-mati sebuah media daring. Semakin banyak pageview sebuah media daring, maka pastilah tarif pemasangan iklannya pun makin mahal. Dengan demikian, semakin banyak pula pendapatan yang diperoleh media tersebut. Asumsi sebaliknya juga sama.

Perlu diingat, media daring sama seperti media televisi, yang tidak memungut biaya sepeser pun dari pengunjung/pengakses (kecuali perangkat komputer/laptop/ponsel/tablet dan akses internet). Jadi, media daring bergantung sepenuhnya pendapatan mereka hanya pada iklan, tidak seperti media cetak yang sekian persennya masih mengandalkan pada hasil penjualan. Maka, satu-satunya yang dibidik media daring ialah pageview; meningkatkan setinggi mungkin pencapaian jumlah kunjungan.

Ilustrasi pageviews. (Sumber: Freemakemoneyadvice.com)


Sedikit berbeda dengan media televisi dan media cetak, untuk mengetahui jumlah pageview media daring lebih mudah dan relatif lebih transparan (bisa diketahui semua orang) serta akurasi datanya lebih terjamin. Ada sejumlah aplikasi atau pun web khusus yang menyediakan informasi statistik atas media daring. Di antaranya, Alexa.com, Google Analytics, Comscore, Polaris (aplikasi berbasis data Google Analytics), dan Statshow.com.

Tetapi, masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Alexa.com, misal, yang dapat diakses siapa pun dan kapan pun. Sayangnya, situs tersebut hanya menghitung statistik (pageviews dan jumlah pengunjung) dari user langsung, yakni para pengguna Internet yang memasang toolbar Alexa di browser-nya atau terpasangi cookies Alexa. Padahal, tidak ada data berapa banyak “pengguna Alexa” yang datang ke sebuah web tertentu.[1]

Comscore kebalikan dari Alexa.com. Ia adalah lembaga yang mengukur performance situs dari server-server para Internet Service Provider yang menjadi pintu gerbang masuknya pengguna ke berbagai situs. Tidak peduli user menggunakan browser apa pun, toolbar apa pun, semua aktivitasnya tercatat di server. Data itulah yang diakumulasi dan disajikan sebagai performance sebuah situs. Data seperti ini menggambarkan lebih tepat performance sebuah situs. Sayangnya, tidak murah berlangganan Comscore. Hanya portal-portal besar yang mau merogoh ribuan dolar untuk berlangganan statistiknya.[2] Singkatnya, Comscore lebih akurat tapi data-datanya tidak dapat diakses/diketahui semua orang.

Google Analytics juga relatif lebih akurat dan data-data yang disediakan lebih kompleks, gratis pula. Tidak hanya soal pageview, Google Analytics juga dapat menelusuri pengunjung berdasarkan informasi halaman pengacu, termasuk mesin pencari, iklan, jaringan pay-per-click, email marketing, dan juga tautan yang terkandung dalam dokumen PDF.[3] Sayangnya, ia bersifat personal atau hanya orang/pihak tertentu yang bisa mengakses data-datanya. Sebabnya, untuk mengakses aplikasi tersebut harus menggunakan akun Google dan harus pula tahu username berikut password-nya.

Polaris merupakan aplikasi gratis untuk melihat statistik web/blog melalui desktop. Tapi, statistiknya berbasis data-data dari Google Analytics. Jadi, untuk menggunakannya tentu harus menggunakan akun Google dan harus pula tahu username berikut password-nya.

Statshow.com hampir menyerupai Alexa.com, terutama dalam hal keterbukaan informasi statistiknya. Ia mencatat pageviews harian, bulanan dan tahunan, serta beberapa data lainnya, seperti tingkat kepopuleran global di Internet, rangking di Alexa.com, jumlah pengunjung bulanan, dan lain-lain. Sayang sekali, akurasi datanya agak diragukan. Tapi, kalau untuk sekadar ingin mengetahui perkiraannya, boleh saja. Seperti data pageviews tiga portal di Indonesia, berikut ini: Detik.com: 2,611,942 per hari[4], Kompas.com: 1,339,288[5], dan Viva.co.id: 918,637 per hari[6].

Cukup banyak --bahkan sangat banyak-- cara untuk mengetahui mahluk bernama pageview ini, sehingga pengiklan (atau pun masyarakat umum) sedikitnya punya pengetahuan yang cukup untuk memasang iklan. Caranya pun tidak seeksklusif seperti untuk mendapatkan data rating pada media televisi atau oplah/tiras pada media cetak.

Namun, di luar itu semua, pokoknya cuma satu bagi media daring: "yang penting pageview". Demi pageview, media daring seringkali membombardir publik dengan informasi-informasi yang tidak penting dan bahkan justru cenderung membahayakan. Begitu ada berita heboh tapi sesungguhnya tidak terlalu penting, media-media daring tak henti-henti memberitakannya sampai publik benar-benar jengah. Kalimat kuncinya sama saja: "…selera kebanyakan konsumen akan menjadi tolok ukur utama proses produksi media."

Bersambung ke Mengenal Tuhan Media (bagian 4/selesai)

Mengenal Tuhan Media (bagian 2)

Ilustrasi oplah/tiras. (Sumber: Cohn.files.wordpress.com)

Media cetak

Salah satu pelajaran dasar dalam jurnalistik adalah membuat kalimat judul. Judul yang bagus --selain sesuai dengan kaidah bahasa (Indonesia) yang baik dan benar-- adalah yang provokatif dan bombastis. Bentuknya ada dua macam: judul yang (amat) singkat (tidak lebih dari lima/tujuh kata) dan judul yang cukup panjang (bisa lebih dari sepuluh kata). Untuk hal ini, bisa dilihat sebagai contoh, majalah Tempo dan koran harian Pos Kota.

Provokatif dan bombastis (singkat atau pun panjang) sebuah judul itu sesungguhnya merupakan tujuan antara agar menarik orang untuk membaca isinya. Ia ibarat etalase pada sebuah toko, yang memberikan gambaran isi di dalamnya. Isi atau konten berita/artikel dan pilihan foto/gambar di dalamnya tentu tidak kalah penting daripada sekadar judul. Pokoknya, tujuan sebenarnya ialah agar koran/majalah/tabloid/jurnal tersebut laku dibeli orang.

Karena itu, judul pun turut menentukan (walau pun bukan satu-satunya) oplah (jumlah copy/eksemplar surat kabar atau majalah yang dijual) sebuah media cetak, yang kemudian ikut menentukan pula banyak atau sedikitnya iklan, besar atau kecilnya uang yang masuk ke perusahaan. Sama seperti rating pada media televisi, oplah (disebut juga tiras) juga menentukan keberlangsungan atau hidup-mati sebuah perusahaan media cetak.

Jika di media televisi, bahan jualannya adalah program tayangan/acara, maka di media cetak adalah rubrik. Keberlangsungan rubrik-rubrik tertentu di tiap-tiap halaman pada media cetak juga bagian dari perhitungan oplah. Artinya, makin banyak sebuah halaman dibaca atau diminati pembaca, makin banyak pula iklan terpampang di dalamnya. Misal, koran A membuat rubrik kuliner. Mula-mula, ia akan terlebih dahulu melihat banyak atau sedikit pembacanya, yang hal tersebut akan menentukan harga iklan yang dibanderol. Kalau rubrik tersebut tidak diminati pembaca, maka awak redaksi harus berpikir ulang untuk menggantinya dengan rubrik lain, yang dianggap bakal disukai orang, dan tentu menarik pengiklan.

Oplah atau tiras itulah yang disebut tuhan dalam industri media cetak. Redaksi pasti akan menempatkan kriteria oplah pada urutan teratas dalam mempertimbangkan isi atau konten media cetaknya. Cara berpikirnya begini: kira-kira berita/artikel ini, atau rubrik/halaman ini, bakal menaikkan jumlah oplah atau tidak. Kira-kira berita perselingkuhan artis itu, kalau dijadikan headline (laporan utama) bakal menaikkan angka tiras atau sebaliknya.

Begitu juga pengiklan. Mereka pertama-tama tentu akan melihat angka oplah ketika akan memasang iklan pada media cetak tertentu. Pengiklan pun sangat berkepentingan pada kemampuan si media dalam menjangkau jumlah pembaca sebanyak mungkin terhadap materi iklannya yang ditampilkan di media itu, sehingga ongkos promosinya berpotensi kembali dengan jumlah jauh lebih tinggi.

Koran Kompas (bukan versi digital), misal, yang pada 2011 memiliki sirkulasi oplah rata-rata 500.000 eksemplar per hari, dengan rata-rata jumlah pembaca mencapai 1.850.000 orang per hari yang terdistribusi ke seluruh wilayah Indonesia. [1] Jika jumlah oplah dan pembacanya sebanyak itu, apalagi jangkauan distribusi atau wilayah edarnya se-Indonesia, maka pengiklan tidak ragu untuk memasang iklan. Artinya pula, keberlangsungan media tersebut bakal lebih lama.

Tetapi, seperti rating pada media televisi, perihal oplah atau tiras bukan tanpa masalah. Spesies bernama oplah atau tiras itu, yang tahu wujud aslinya hanya dua: si institusi media tersebut dan perusahaan percetakan yang mencetaknya. Itu artinya, angka oplah berpotensi direkayasa demi menggaet sebanyak-banyaknya iklan. Sayangnya, sebagian besar (atau barangkali nyaris semua) pengiklan percaya begitu saja angka oplah yang disodorkan si media (atau biro iklan).

Cerita seorang kawan yang pernah mengobrol seputar iklan dan oplah media cetak dengan seorang pengusaha, mungkin bisa dijadikan pertimbangan. Satu saat, si pengusaha berniat memasang iklan pada sebuah koran A, namun ia tidak yakin dengan angka oplah yang diklaim pihak media tersebut dan biro iklan. Lalu, ia berinisiatif mencari tahu oplah koran lainnya, sebut saja koran B. Angkanya sama. Setelah ditelusuri agak dalam, ternyata koran A dan koran B mencetak korannya di satu perusahaan percetakan yang sama. Di perusahaan percetakan tersebut, rupanya ada beberapa koran lain yang juga mencetak medianya di situ. Masing-masing mengklaim angka yang tidak jauh berbeda dengan koran A dan koran B.

Sederhananya, sebut saja ada empat koran: A, B, C dan C yang mencetak di perusahaan tersebut. Masing-masing mengklaim memiliki oplah 1000 eksemplar per hari, yang artinya percetakan tersebut mencetak 4000 eksemplar setiap hari. Setelah ditelusuri lagi, Setelah ditelusuri lagi, mesin percetakaan itu ternyata tidak memiliki kemampuan mencetak sebanyak 4000 eksemplar per harinya.


Ilustrasi oplah/tiras. (Sumber: Journalism.co.uk)

Itu artinya, pengiklan sesungguhnya tidak pernah tahu persis angka oplah sesungguhnya dari sebuah media cetak. Klaim dari media bersangkutan barangkali sedikit dapat dipercaya jika ia tersentuh lembaga audit, seperti Kompas, yang menggunakan jasa ABC (Audit Bureau of Circulations) untuk melakukan audit atas akuntabilitas distribusinya semenjak tahun 1976. [2]

AC Nielsen (Nielsen Audience Measurement), lembaga pemeringkat tayangan televisi, pernah memiliki layanan mensurvei jumlah pembaca media cetak semacam koran dan majalah. Hasil surveinya dipublikasikan secara periodik setiap tahun. Namun, seperti disebutkan dalam laman resminya, Agbnielsen.net, lembaga tersebut kini lebih "memfokuskan layanan surveinya pada TAM (survei kepemirsaan televisi) dan survei-survei lainnya yang berhubungan dengan televisi." [3]

Dua hal tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya tidak ada (kecuali Kompas, dan barangkali media cetak lain, kalau ada) lembaga independen yang mengetahui secara persis angka oplah media cetak sekaligus dipublikasikan secara terbuka. Sama seperti angka rating pada media televisi yang ditutup rapat-rapat oleh Nielsen Audience Measurement. Barangkali sudah ada lembaga lain yang menjadi alternatif Nielsen, tapi tampaknya tetap saja datanya bersifat rahasia dan tidak untuk diketahui masyarakat luas. Meski ada kabar bahwa pemerintah, Kementerian Komunikasi dan Informatika, akan membuat lembaga pemeringkat televisi sebagai alternatif atas Nielsen [4], tapi tidak disebutkan kapan persisnya lembaga tersebut akan dibentuk.

Masalah oplah bukan perkara remeh. Sebab, model bisnis media cetak sejatinya adalah penjualan dua produk utama, yaitu isi berita yang dibaca oleh pembacanya, dan akses ke pembaca itu, yang dijual kepada pengiklan. Keberadaan dua jenis konsumen ini sangat menentukan kelangsungan hidup institusi media. Karenanya, untuk memaksimalkan keuntungan, pengelola media selau berorientasi pada kepentingan pembaca dan pengiklan.

Hal tersebut juga tentu berlaku bagi bisnis media televisi, yang menjual dua produk utamanya, yaitu isi tayangan yang ditonton oleh pemirsa, dan akses ke pemirsa, yang dijual kepada pengiklan. Itulah sebabnya, selera kebanyakan konsumen akan menjadi tolok ukur utama proses produksi media. Kriteria semacam ini menyebabkan media seringkali dituduh menanggalkan prinsip-prinsip kualitas.

Tetapi, apa pun itu, sekali lagi, itulah tuhan mereka. Oplah (dan rating) selalu menempati posisi paling agung dalam industri media. Ketergantungan paling tinggi terhadap iklan memang ada pada media televisi, karena institusi televisi tidak memungut uang sepeser pun dari pemirsa alias gratis (kecuali perangkat pesawat televisinya). Karenanya, sumber pendapatan satu-satunya, ya, iklan.


Namun, media cetak --yang masih mengandalkan sebagian pendapatannya dari hasil penjualan-- pun belakangan mulai bergantung pada iklan. Di tengah persaingan memperebutkan pangsa kue iklan dengan media elektronik, koran di Indonesia menempati peringkat kedua setelah televisi dalam perolehan iklan. [5]

Bersambung ke Mengenal Tuhan Media (bagian 3)

Mengenal Tuhan Media (bagian 1)

Ilustrasi rating. (Sumber: Desktopedia.com)

Kata "tuhan" dalam judul artikel ini saya comot dari kutipan kalimat Djaduk Ferianto saat diwawancarai majalah Rolling Stone[1] pada 2011 silam, yang mengomentari perkembangan dunia musik di Tanah Air dalam kaitannya dengan industri televisi (juga industri musik dan hiburan). Kata pemimpin grup musik etnik Kua Etnika itu, "Tuhannya televisi itu rating, bukan kualitas musik." Kata tuhan dalam kalimat Djaduk maupun pada artikel ini tentu bukan dalam pengertian Tuhan yang sesungguhnya, melainkan semacam sesuatu yang amat diagung-agungkan, dihormati, dipatuhi, diikuti apa pun kemauannya.

Media massa --tidak hanya televisi, tetapi juga media cetak semacam koran, majalah, jurnal, maupun media daring (dalam jaringan/online)-- masing-masing memiliki tuhan yang berbeda-beda. Tuhan bagi media televisi, seperti disebut Djaduk, ialah rating (peringkat). Sedangkan tuhan bagi media cetak (koran/surat kabar, majalah, tabloid dan jurnal) adalah oplah. Nah, pada media jenis baru, yakni media daring (semacam portal berita, dan sejenisnya) --yang diramalkan bakal menggusur keberadaan media cetak, tuhannya adalah pageview.

Rating, oplah maupun pageview memiliki peran yang berbeda-beda bagi masing-masing jenis medianya. Tetapi, kesamaannya cuma satu: ketiganya sama-sama penentu keberlangsungan atau hidup-mati perusahaan pemilik media tersebut. Mereka merupakan alat ukur paling akurat bagi banyak atau sedikitnya iklan, yang artinya juga menentukan jumlah pendapatan atau uang yang masuk ke perusahaan. Kesejahteraan karyawan/pegawai/pekerja pun ditentukan faktor ini.

Media televisi

Bagi media televisi, hanya program tayangan yang rating-nya paling tinggilah yang akan menarik banyak pengiklan. Rating tinggi itu artinya banyak ditonton oleh masyarakat. Tidak sulit untuk menyebutnya, beberapa di antaranya adalah program tayangan gosip, sinetron, tayangan kekerasan atau tayangan bernuansa pornografi. Tayangan-tayangan musik 'alay' yang diramu dengan lelucon-lelucon konyol sang pembawa acara --biasanya tayang saat pagi hingga menjelang siang-- pun memiliki rating yang cukup tinggi.

Rating juga menentukan usia sebuah program tayangan. Makin tinggi rating dan tentu makin banyak iklan, maka jumlah episodenya pun terus bertambah. Tayangan yang semula diproduksi untuk, misal, 25 episode, lalu diperpanjang menjadi 50-100 episode, karena iklannya makin hari bertambah banyak. Sejumlah sinetron ternama bahkan dibikin hingga beberapa sekuel, yang masing-masing sekuel terdiri dari berartus-ratus episode. Sebut saja sebagai contoh, Cinta Fitri, Cinta Fitri season 2, Cinta Fitri season 3, hingga Cinta Fitri season 6.

Sayangnya, mahluk bernama rating itu sering kali tidak ada hubungannya dengan kualitas sebuah tayangan. Tayangan yang memiliki rating tinggi, tidak mesti itu adalah tayangan yang berkualitas baik atau bagus. Sebabnya adalah rating hanya diukur dari jumlah penonton pada sebuah tayangan; hanya kuantitas, bukan kualitas. Pokoknya: makin banyak penonton, ya, makin tinggi rating-nya. Itu saja.
Ilustrasi rating. (Sumber: Desktopedia.com)


Djaduk Ferianto menyebut "Tuhannya televisi itu rating, bukan kualitas musik", ya, maksudnya itu. Industri televisi (dan industri musik) belakangan dirasakan makin mengabaikan pertimbangan kualitas musik seorang penyanyi atau sebuah grup band untuk diundang tampil di acaranya. Hanya karena alasan seorang penyanyi atau sebuah grup band sedang tenar-tenarnya, maka ia sudah memenuhi kriteria untuk tampil. Bahkan, tidak jarang, hanya karena alasan sang peshohor sedang jadi sorotan pemberitaan media, maka diundanglah untuk tampil. Keterbatasan kemampuan sang bintang dalam hal olah vokal, bisa diakali dengan cara lipsync. Toh, tujuannya hanya untuk meningkatkan rating, meningkatkan jumlah orang yang menonton.

Nah, urusan rating-rating-an ini, AC Nielsen (atau Nielsen Audience Measurement, sebelumnya adalah AGB Nielsen Media Research) biangnya. Ia merupakan satu-satunya pemeringkat (rating) di Indonesia. Lembaga yang beroperasi di Indonesia sejak tahun 1976 itu mengklaim menyediakan informasi dan pelayanan untuk televisi/koran/majalah/radio ke para pemilik media dan industri periklanan. Kini, ia memfokuskan layanan surveinya pada TAM (survei kepemirsaan televisi) dan survei-survei lainnya yang berhubungan dengan televisi.

Dikutip dari Agbnielsen.net[2], panel TAM di Indonesia saat ini mengukur 2.423 rumahtangga yang memiliki pesawat televisi di 10 kota besar, yaitu: Jakarta dan sekitarnya (Bogor, Tangerang dan Bekasi), Surabaya dan sekitarnya (Gersik, Jombang, Kertosono, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan), Bandung, Semarang, Medan, Makassar, Yogyakarta dan sekitarnya (Sleman dan Bantul), Palembang, Denpasar dan Banjarmasin. Panel utama ini hanya mengukur kepemirsaan televisi terrestrial.

Sebetulnya, bagaimana cara kerja lembaga yang telah lama dikritik banyak pihak (terutama) karena monopolis dan konon tak pernah tersentuh audit itu? Sederhana tapi rumit. Disebut sederhana, karena metodenya hanya dengan menghubungkan alat yang disebut peoplemeter dengan pesawat televisi dan peralatan elektronik lain yang dihubungkan dengan televisi, misal, DVD player, Play Station, dan lain-lain, pada rumah-rumah tertentu yang telah ditentukan oleh pihak AC Nielsen. Panel tersebut dipantau secara elektronik oleh sistem peoplemeter. [3]

Masing-masing anggota rumahtangga pada rumah-rumah yang ditunjuk untuk menjadi bagian dari responden AC Nielsen itu diberikan sebuah tombol khusus pada handset peoplemeter (misal, tombol 1 untuk ayah, tombol 2 untuk ibu, dan sebagainya). Anggota rumahtangga diminta untuk menekan tombol handset pada saat menonton televisi, dan menekan kembali ketika selesai menonton.

Rumitnya pada metode pengambilan data. Ada dua cara pengambilan data survei tersebut, yakni online dan offline. Pada sistem online, data diambil setiap malam melalui sistem telepon yang telah diatur secara otomatis, dan dihubungkan dengan sistem pengolahan data pusat di kantor Nielsen. Cara ini dilakukan untuk penarikan data harian (daily rating) di kota Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Sedangkan rumah panel yang masih offline di kota lainnya akan didatangi petugas liaison officer untuk mengganti modul (alat perekam data) setiap hari Minggu untuk data kepemirsaan hari Minggu hingga Sabtu pada pekan sebelumnya.

Itu baru soal pengambilan data, belum soal kriteria rumahtangga seperti apa atau anggota keluarga yang bagaimana yang layak dijadikan responden (panel). Metode survei yang beragam --yang juga merupakan faktor penentu akurasi hasil survei-- pun soal yang lain.

Sederhana atau rumit cara kerjanya, ia tetap saja tidak mengukur kualitas program acara. Hasil survei hanya akan memberitahu tentang berapa banyak orang yang menyaksikan acara mereka, atau kuantitasnya. Karena itu, data-data survei atau hasil pemeringkatan oleh AC Nielsen tersebut sesungguhnya bukan satu-satunya ukuran, walau pun kenyataannya banyak programer, produser atau calon pengiklan menjadikannya parameter tunggal. Karena itu pulalah, rating, terutama rating dari AC Nielsen, seolah sangat diagung-agungkan.

Faktanya lagi, tidak sedikit program acara yang (awalnya) tidak peduli rating, tapi karena berkualitas (baik/bagus, edukatif dan menghibur), pelan-pelan disukai masyarakat, banyak penontonnya, dan tentu banyak pula iklannya. Misal, program tayangan Kick Andy di Metro TV yang mendapat penghargaan sebagai program talkshow terbaik pada 2008 [4]. Padahal, tayangan tersebut jauh dari unsur-unsur gosip, sinteron, kekerasan atau pun pornografi. Atau, tayangan Radio Show di TVOne yang diganjar penghargaan Editor's Choice Awards 2012 oleh majalah Rolling Stone Indonesia. [5] Padahal, acara musik plus bincang-bincang itu jauh dari unsur-unsur 'musik alay' dan selalu live (bukan lipsync). Waktu tayangnya pun bukan prime time (waktu paling baik bagi penayangan acara televisi, yakni pada pukul 19.30–21.00).

Tapi, apa pun itu, berkualitas atau tidak berkualitas sebuah tayangan, rating tetaplah jadi tuhan bagi media televisi, dan menjadi bahan jualannya kepada pengiklan. Pengiklan pun sangat berkepentingan pada kemampuan menjangkau jumlah pemirsa sebanyak mungkin terhadap materi iklannya yang disiarkan melalui acara TV, sehingga ongkos promosinya berpotensi kembali dengan jumlah jauh lebih tinggi.

Bersambung ke Mengenal Tuhan Media (bagian 2)