Jurnalisme Gosip

Jurnalisme. Gosip. Satu berada di ranah fakta. Satu lagi di ranah nonfakta (fiksi, karangan, tidak sesuai kenyataan). Jurnalisme gosip, sebuah konsep yang kontrakdiktif: fakta atau nonfakta? Jurnalisme gosip bukan konsep, istilah, genre atau pun teori baru dalam dunia jurnalistik. Tetapi ia adalah fakta, kenyataan dalam dunia jurnalistik di Tanah Air dewasa ini.

Tak sukar untuk mencari contoh media yang sungguh-sungguh menerapkan prinsip jurnalisme gosip. Media infotainment. Tepat sekali. Seolah produk jurnalistik tetapi sessungguhnya bukan. Media informasi hiburan yang lazimnya memberitakan kehidupan pribadi para pesohor itu kerap menyajikan informasi hasil oplosan dengan opini, sehingga jadilah gosip. Tak jarang, karena takaran oplosan opininya terlampau banyak, jadilah fitnah.

Contoh yang begitu, jelas, masyarakat pun sudah mahfum. Nah, sekarang muncul kecenderungan baru dalam hal yang disebut jurnalisme gosip itu. Ia benar-benar produk jurnalistik. Tetapi sedikit demi sedikit dan perlahan mulai memasukkan opini --sesuatu yang sangat diharamkan dalam jurnalisme-- ke dalam berita. Fakta tetap diutamakan namun di saat yang sama diselipkan sedikit opini, yang dalam kasus-kasus tertentu malah sulit dibedakan antara keduanya.

Contoh paling mutakhir adalah pemberitaan seputar foto yang disebut-sebut mirip Gayus Halomoan Tambunan, terdakwa kasus mafia pajak. Mulanya memang murni menyajikan fakta, bahwa seseorang diduga atau disebut-sebut mirip Gayus tengah menyaksikan pertandingan tenis di Bali. Buktinya ada, foto seseorang mirip Gayus yang menggunakan rambut palsu (wig) dan mengenakan kacamata.

Namun, segera saja fakta itu dikait-kaitkan dengan Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar. Gayus dikabarkan (lebih tepatnya digosipkan) bertemu Ical --panggilan akrab Aburizal Bakrie-- dalam moment pertandingan tenis itu. Padahal, tak ada satu pun yang melihat Gayus bertemu atau bertatap muka dengan pemilik Kelompok Usaha Bakrie tersebut. Karenanya, tak ada yang bisa membuktikan kabar pertemuan itu. Gosip. Jelas!

Dapat dipahami bahwa sang pembuat berita plus gosip itu mencoba mengait-kaitkan pernyataan Gayus beberapa waktu lalu yang mengaku menerima suap dari sejumlah perusahaan Grup Bakrie. Juga berhubungan dengan tiga perusahaan Grup Bakrie yang diindikasikan tak melaporkan surat pemberitahuan tahunan pajak dengan benar, seperti laporan Direktorat Jenderal Pajak tahun lalu.

Benar atau tidak pengakuan Gayus maupun perihal laporan surat pemberitahuan tahunan pajak perusahaan Grup Bakrie itu, usaha menghubung-hubungkan fakta dengan dugaan-dugaan tanpa fakta adalah dosa besar dalam dunia jurnalistik.

Menyebut Gayus “diduga” bertemu Ical --padahal tidak ada yang dapat membuktikan itu adalah fakta-- saja sudah kesalahan besar. Apalagi beropini dengan mengarahkan berita pada kasus mafia pajak Gayus dengan perkara pajak tiga perusahaan Grup Bakrie. Tentu, dosa jurnalistik yang tak dapat diampuni.

Tegas-tegas dinyatakan dalam Kode Etik Jurnalistik pada Pasal 3 bahwa “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.”

Kode Etik Jurnalistik tersebut, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, merupakan kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers. Artinya, jurnalis atau wartawan Indonesia di mana pun berada, wajib mematuhi kode etik tersebut.

***
Usaha menyelipkan opini ke dalam berita sehingga menghasilkan gosip seperti itu memang masih kasuistik, tidak terjadi pada semua jenis pemberitaan (kecuali pada media infotainment). Namun, disadari atau tidak, fenomena demikian seperti menjadi kecenderungan baru dalam dunia jurnalistik di Tanah Air.

Bisa terjadi dalam banyak bidang pemberitaan. Tetapi, lebih sering terjadi pada pemberitaan seputar politik. Misal, berita seputar pembahasan sebuah rancangan undang-undang di DPR. Mulanya mungkin hanya perdebatan biasa karena perbedaan pandangan, tapi kemudian dikait-kaitkan dengan ketidaharmonisan di antara partai politik anggota koalisi. Atau, kabar seputar pergantian pengurus partai politik tertentu, yang segera berkembang menjadi gosip dan isu perpecahan atau konflik internal.

Fenomena demikian bukan masalah remeh. Pasalnya, pers juga turut bertanggung jawab bagi usaha mendidik dan mencerdaskan masyarakat Indonesia. Karenanya, pers berkewajiban menyajikan informasi yang benar, objektif, sesuai fakta. Dan, tentu bukan berita yang dioplos dengan opini, dengan dugaan-dugaan tanpa bukti.

Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, pengabdian pada kebenaran dan kepentingan publik adalah prinsip dasar jurnalisme. Kepentingan publik juga bermakna bahwa masyarakat berhak mendapat informasi yang benar, objektif dan sesuai fakta. Dalam era demokrasi seperti sekarang, pers juga harus dapat mendorong masyarakat untuk bersikap kritis agar menjadi penyeimbang dan pengontrol terhadap kekuatan negara/pemerintah.

Itulah tantangan pers saat ini, mendidik dan mencerdaskan masyarakat Indonesia melalui informasi-informasi yang benar, bukan lagi ancaman pembredelan seperti yang dilakukan penguasa di masa lalu. Jika tidak begitu, pers akan bermasalah dengan dirinya sendiri; dengan kebebasan yang dimiliki. Kebebasan pers yang tidak bertanggung jawab dan mengabaikan prinsip-prinsip jurnalistik, hanya akan menjadikan dirinya industri yang tak banyak memberi manfaat bagi masyarakat.

Hal demikian tentu bukan hanya tanggung jawab Dewan Pers, yang tujuan dibentuknya memang untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional. Masyarakat juga berhak mengontrol dan mengawasi perilaku pers. Tidak hanya agar sesuai dengan Undang-Undang atau pun Kode Etik Jurnalistik, melainkan juga agar pers merasa bertanggung jawab bagi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Masyarakat, seperti disebutkan dalam Undang-Undang Pers pada Pasal 17, “…dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.” Kegiatan sebagaimana dimaksud, dapat berupa: a. memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers; b. menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.