Menanti Uluran Tangan NU di Sahara Barat

Konflik di Sahara Barat boleh dikata nyaris lepas dari amatan publik Tanah Air. Isunya terlihat tenggelam oleh konflik di beberapa negara atau negeri muslim macam Irak, Palestina, Afganistan , Lebanon , Sudan , dan lain-lain. Padahal, Sahara Barat, negeri bagi 200 ribu warga muslim itu merupakan satu-satunya negara di Afrika yang belum menikmati sepenuhnya kemerdekaan, meski telah menjadi anggota penuh Uni Afrika. Sahara Barat masih terbelenggu penjajahan Maroko, yang juga negara muslim.

Masih banyak penduduk asli Saharawi yang merana di kamp-kamp pengungsian dan hanya bisa memimpikan kemerdekaan. Penderitaan tersebut dialami bangsa Sahara Barat sejak negara itu diduduki Maroko tahun 1975 lampau. Muhamed Burhi, Kepala Perwakilan Polisario—organisasi pembebasan Sahara Barat—untuk Indonesia dan Asia Tenggara, menggambarkan derita bangsanya, demikian: orang Saharawi yang tetap tinggal di Tanah Air mereka senantiasa ditahan, dipenjara, menghadapi kematian, dan ‘hilang’ di tangan angkatan pendudukan Maroko. Mereka yang ingin melarikan diri, dihalangi tembok sepanjang 2.700 kilometer yang membelah Sahara Barat dalam zona pesisir yang diduduki Maroko dan bagian dalam yang dikuasai Republik Saharawi. Selain itu, ditanam lebih dari 3 juta ranjau darat dan 120.000 tentara, ungkapnya dalam sebuah diskusi di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Sabtu, 24 April 2010.

Nahdlatul Ulama (NU) sesungguhnya pernah mencoba memfasilitasi upaya penyelesaian konflik di Sahara Barat melalui Konferensi bertajuk Peace Building and Conflict Prevention in the Muslim World pada Agustus 2008 silam. Namun, upaya tersebut tak ada tindak lanjutnya. Sebagian kalangan NU mengusulkan agar sengketa di negara itu dibahas dalam Muktamar ke-32 NU di Makassar , Sulawesi Selatan, akhir Maret 2010. Entah, barangkali karena banyaknya agenda yang harus dibahas, sehingga Sahara Barat tak mendapat perhatian para peserta Muktamar. Mungkin pula berkaitan dengan kebijakan pemerintah Indonesia yang lebih mendukung otonomi khusus oleh Maroko terhadap Sahara Barat ketimbang pengakuan kemerdekaan atas negeri kaya fosfat dan bijih besi itu.

Namun, apa pun sikap pemerintah Indonesia , NU tetap memiliki peran besar bagi penyelesaian konflik di negara itu. NU dapat memainkan peran diplomasi di luar jalur pemerintah (second track diplomacy). Alasannya, pertama, NU merupakan organisasi kemasyarakatan Islam Sunni. Demikian pula masyarakat di Maroko maupun Sahara Barat yang sebagian besar merupakan muslim Sunni. Kesamaan tersebut tentu menjadi modal utama bagi NU untuk melakukan pendekatan-pendekatan pada tokoh agama atau ulama kedua pihak yang bersengketa. Setidaknya, pada tahap ini, tak ada lagi sekat-sekat yang bersifat sektarian untuk memulai membicarakan upaya perdamaian.

NU selama ini, terutama di masa kepemimpinan KH Hasyim Muzadi, juga sedikit atau banyak turut berperan dalam upaya penyelesaian konflik di sejumlah negara muslim yang sealiran atau berbeda paham dengan NU. Jejak organisasi massa ini dalam membantu penyelesaian konflik bernuansa agama di beberapa negara nonmuslim terlihat pula, misal, di Filipina dan Thailand Selatan. Semua dilakukan melalui diplomasi di luar jalur pemerintah.

Kedua, berbagai upaya melalui jalur diplomasi pemerintah—yang diperantarai Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau pun tidak—selalu menemui jalan buntu. Pada dekade 1990-an, Maroko sudah menyetujui referendum untuk Sahara Barat. Namun, solusi tersebut tak pernah terwujud, bahkan hingga 20 tahun kemudian. Otonomi khusus sebagai tawaran konsep baru dari Maroko untuk Sahara Barat pada April 2007, tak pernah disetujui Polisario.

Perkembangan terakhir adalah kegagalan perundingan antara Maroko dengan Polisario yang difasilitasi PBB pada Februari 2010. Perundingan tidak resmi selama dua hari kembali gagal mempertemukan kepentingan politik kedua pihak. Utusan pribadi Sekretaris Jenderal PBB untuk Sahara Barat, Christopher Ross, mengatakan, dalam sebuah pernyataan di akhir pembicaraan itu bahwa “tidak ada pihak yang mau menerima usul pihak lainnya sebagai dasar bagi berlanjutnya pembicaraan di masa mendatang”.

Mohammed Khadad, seorang pejabat senior Polisario, yang menghadiri perundingan tersebut, menjelaskan berbagai pihak yang terlibat, memusatkan perhatian pada masalah hak asasi manusia dan langkah-langkah untuk membangun kepercayaan. (Antaranews, 12 Februari 2010). Padahal perundingan itu sebagai prakondisi menuju perundingan resmi Putaran Kelima antara Maroko dengan Polisario. Sebelumnya, perundingan Putaran Empat yang berlangsung di Manhasest, New York, pada Juni 2007, gagal memecahkan perselisihan.

Kegagalan demi kegagalan itu dapat dipahami betapa jalur diplomasi politik-pemerintah sering kali menemui banyak hambatan. Kepentingan politik kedua pihak yang susah ditemukan tak jarang justru mempertajam perbedaan dan berpotensi meningkatkan konflik pada tahap yang lebih tinggi. Selain itu, dalam sejumlah kasus, birokrasi yang sangat prosedural mengakibatkan proses perundingan berjalan tidak luwes alias kaku. Kondisi demikian tentu justru makin mempersulit proses penyelesaian konflik.

Masalah kenegaraan kedua pihak tak serta merta dapat diselesaikan jika harus melibatkan bantuan pemerintah negara lain, apalagi kerja sama antarpemerintah negara, seperti yang dilakukan pada konflik Palestina-Israel. Negara, meski berperan strategis dalam penyelesaian konflik, negara pula yang sebenarnya menjadi sumber konflik. Negara kadang tidak mampu menembus batas psikologis-historis masalah konflik di suatu negara lain. Sebab, dalam negara itu berkumpul segudang kepentingan ekonomi dan politik.

Max Weber menulis, meski negara merupakan manifestasi tertinggi otoritas, tetapi otoritas adalah masalah relasi sosial yang bukan hanya melibatkan hubungan politis karena masyarakat di luar negara memiliki mekanisme distribusi otoritasnya sendiri. Jadi, otoritas dalam ruang sosial apa pun diperlukan untuk menjaga tertib sosial. Masyarakat biasanya lebih mendengarkan suara para pemimpin yang secara tradisional memiliki pengaruh.

Maka, perlu dilakukan terobosan lain untuk menyelesaikan konflik di negara-negara muslim, seperti halnya antara Maroko dan Sahara Barat. Prakarsa perdamaian tidak hanya dipusatkan pada kekuatan negara, tetapi juga diarahkan pada kekuatan masyarakat secara kultural. Dan, seperti telah diurai sebelumnya, di sinilah letak peran strategis NU sebagai kekuatan masyarakat sipil berbasis agama. NU, dengan moderatisme dan fleksibilitasnya sebagai lembaga nonpemerintah, berpeluang mengatasi sekat-sekat yang tak bisa ditembus negara itu.

Harapan ini bukan hanya karena NU baru memiliki pemimpin baru, melainkan juga lantaran organisasi itu telah mendirikan pondasi bagi bangunan perdamaian dunia saat kepemimpinan KH Hasyim Muzadi. KH Said Aqil Siradj, sebagai pengendali baru kemudi Tanfidziyah Pengurus Besar NU, tentu tak perlu repot-repot mendirikan pondasi lagi. Keberadaan As’ad Said Ali sebagai Wakil Ketua Umum Tanfidziyah pasti bermanfaat besar bagi tambahan ‘amunisi’ NU. Sebab, seperti diungkapkan Kang Said—panggilan akrab KH Said Aqil Siradj, Wakil Kepala Badan Intelijen Negara itu merupakan tokoh NU yang memiliki pengalaman luas dalam hubungan internasional, khususnya dengan negara-negara di Timur Tengah.

NU di Tangan Kiai Sahal-Kang Said (bagian tiga/habis)

Suatu hari, menjelang Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama (NU), digelar workshop terbatas. Tema utamanya tentang sistem ekonomi dan pemberdayaan ekonomi warga NU. Workshop terlihat serius, sampai-sampai mengundang narasumber seorang pakar ekonomi syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Singkat cerita, diperoleh kesimpulan bahwa sistem ekonomi dalam bentuk perbankan syariah dianggap paling tepat bagi usaha memberdayakan ekonomi warga NU.

Meski demikian, hingga Muktamar telah menetapkan KH Sahal Mahfudz dan KH Said Aqil Siroj sebagai nahkoda baru NU, tak ada satu pun rumusan konkret tentang model perbankan syariah yang bagaimana yang bakal dikembangkan untuk memberdayakan ekonomi warga NU itu. Tetapi, seandainya pun ada, sepertinya tak akan banyak membantu alias sia-sia saja. Sebab, permasalahan utama di bidang ekonomi yang dihadapi warga NU bukanlah (semata) perkara permodalan. Karena itu, jalan keluarnya pun bukan perbankan syariah atau pun perbankan konvensional (non-syariah).

Satu hal perlu dicatat dari besarnya jumlah warga NU yang (konon) mencapai 70-80 juta dari total populasi penduduk Indonesia adalah keberadaan mereka yang sebagian besar tinggal di perdesaan. Itu artinya, sebagian besar dari mereka mengandalkan hidupnya dari sektor pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan. Artinya pula, ketergantungan mereka terhadap lembaga keuangan perbankan (syariah atau pun non-syariah) tak terlalu besar. Bahkan, di sektor pertanian dan perkebunan, lembaga keuangan perbankan bisa dikata nyaris tak punya sumbangsih apa pun.

Sepanjang lima tahun terakhir, penyaluran kredit perbankan pada sektor pertanian tidak beranjak pada angka 6 persen dari total penyaluran kredit nasional. Dikutip dari Detikfinance.com, 29 Januari 2010, tahun ini, Bank Indonesia merilis portofolio kredit pertanian yang hanya 5,5 persen dari total kredit perbankan nasional. Itu artinya, 95,5 persen dari kredit perbankan secara nasional bukan dinikmati petani, yang sebagian besar dari mereka adalah nahdliyin (sebutan untuk warga NU) itu. Ada atau tidak ada kredit dari bank, mereka akan tetap bertani.

Keberadaan bank perkreditan rakyat (BPR) milik NU, yakni, BPR Nusumma pun dapat dijadikan contoh betapa sektor finansial bukanlah solusi utama bagi perekonomian warga NU. BPR yang didirikan pada 1990 silam itu gagal setelah 20 tahun beroperasi. Dari 16 BPR yang didirikan, kini hanya bertahan 9 unit. Dan, kabarnya, ke-9 unit itu pun bakal di-merger menjadi 4-5 unit. Kegagalan eksperimentasi tersebut bukan semata diakibatkan kekurang-cakapan sumber daya NU di bidang finansial, melainkan lebih karena persoalan rendahnya ketergantungan warga NU pada lembaga keuangan perbankan. Warga NU yang sebagian besar petani dan nelayan di perdesaan itu tetap akan bertani atau melaut meski tak ada kredit dari bank.

Nah, apa yang seharusnya dilakukan NU di tangan Kiai Sahal dan Kang Said bagi pemberdayaan ekonomi nahdliyin? Lupakan sistem perbankan syariah atau pun sistem perbankan konvensional, dan mulailah menyeriusi mengembangkan sistem ekonomi koperasi.

Gagasan ini bukan dimaksudkan sebagai sekedar jalan tengah bagi pilihan antara sistem perbankan syariah atau sistem perbankan konvensional. Tetapi, lebih pada tingkat kesesuaian sosio-kultur-ekonomi masyarakat nahdliyin yang sebagian besar adalah petani, peternak dan nelayan. Dan, seperti ditulis Noer Soetrisno dalam Koperasi Mewujudkan Kebersamaan dan Kesejahteraan: Menjawab Tantangan Global dan Regionalisme Baru, ternyata koperasi mampu menyumbang sepertiga pasar kredit mikro di Tanah Air yang sangat dibutuhkan masyarakat luas secara produktif dan kompetitif. Bahkan, koperasi masih mampu menjangkau pelayanan pada lebih dari 11 juta nasabah, jauh di atas kemampuan kepiawaian perbankan yang megah sekali pun.

Namun demikian, pilihan utama model koperasi itu tentu bukan hanya dalam bentuk koperasi jasa keuangan simpan-pinjam yang melulu menyalurkan kredit (mikro) atau terbatas pada sektor keuangan. Sebab, koperasi yang demikian, belakangan justru nyaris tak ada beda dengan bank: melulu keuangan/finansial. Padahal, seperti diurai sebelumnya, persoalan perekonomian warga NU bukan semata perkara keuangan.

Koperasi, ditulis Murni Irian Ningsih dalam Koperasi, merupakan badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan. Sederhananya, koperasi adalah badan usaha bersama sebagai suatu upaya untuk menolong diri sendiri secara bersama-sama.

Sebagai sebuah badan usaha bersama, koperasi terdiri dari koperasi kredit dan jasa keuangan atau koperasi simpan-pinjam; koperasi konsumen atau koperasi konsumsi; dan koperasi produsen atau koperasi yang bergerak di bidang produksi. Dan, sepanjang pengetahuan penulis, NU belum pernah mencoba mengembangkan jenis koperasi yang disebut terakhir. Umumnya, hanya terbatas pada koperasi simpan-pinjam.

NU dapat mencoba mengembangkan koperasi produsen yang bergerak di ragam sektor produksi, yang menjadi lahan utama penghidupan sebagian besar warganya. Misal, koperasi pertanian, koperasi perkebunan (karet, sawit, tebu, dan lain-lain), koperasi nelayan (nelayan tangkap atau nelayan budidaya), koperasi peternakan (sapi, kambing, dan lain-lain), dan sebagainya. Koperasi-koperasi tersebut tentu tidak dapat mengandalkan kegiatan produksi saja, melainkan juga pada bidang penyuluhan, penyediaan permodalan bagi anggota, hingga pemasaran hasil pertanian/perkebunan/peternakan.

Pengembangan koperasi di Korea Selatan bisa dijadikan contoh betapa badan usaha bersama itu mampu memberikan kontribusi yang tidak kecil terhadap pembangunan ekonomi dan masyarakat perdesaan di negara tersebut. National Agricultural Cooperative Federation (NACF), yang beranggotakan 1.200 koperasi dan 2 juta petani, berhasil menyumbangkan 40 persen dari total pasar pertanian dalam negeri Korea Selatan. Dalam bidang perbankan, total deposit di NACF telah mencapai 254 triliun won Korea (270 miliar dolar Amerika Serikat).

Koperasi di Indonesia, meski sering dicibir seolah sedang menegakkan benang basah, bukan berarti sama sekali tak memiliki peluang. Pemberlakuan Perdagangan Bebas ASEAN-Cina (ACFTA) justru menjadi peluang yang cukup besar bagi pengembangan produksi pertanian melalui koperasi. ACFTA, dengan berbagai kebebasannya, berarti membuka peluang pasar baru. Dengan demikian, akan memperluas pasar, yang pada gilirannya merupakan peluang untuk peningkatan produksi dan usaha bagi koperasi yang bersangkutan.

Bagaimana harus memulainya? NU tak perlu memasang target muluk-muluk hingga seperti koperasi di Korea Selatan. Sebab, mereka telah mengembangkannya sejak tahun 1961 silam. Kang Said, selaku pemegang kendali Tanfidziyah (pelaksana) Pengurus Besar NU, cukup membikin tiga atau lima koperasi (pertanian, perkebunan, nelayan, dan peternakan) di beberapa daerah yang menjadi kantong nahdliyin sebagai proyek percontohan. Proyek ‘kecil-kecilan’ ini harus ditargetkan berhasil, setidaknya hingga periode kepengurusannya berakhir pada 2015 nanti.

Sekarang, NU tak perlu ragu untuk memberdayakan ekonomi warganya melalui koperasi. Ingat, ada atau tidak ada kredit dari lembaga keuangan perbankan atau bantuan dari pemerintah, warga NU—yang sebagian besar petani itu—tetap akan bertani. Dan, selama ini, jumlah mereka yang amat besar itu cenderung hanya menjadi pasar bagi produk orang lain atau bangsa lain. Kiai Sahal dan Kang Said tentu tidak menginginkan warga NU selamanya menjadi konsumen belaka.

NU di Tangan Kiai Sahal-Kang Said (bagian dua)

Pengamat Politik pada Universitas Indonesia, Arbi Sanit, mengaku khawatir, terpilihnya KH Said Aqil Siroj sebagai Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) akan membawa organisasi massa itu ke arah Islam yang lebih konservatif.

Penilaian tersebut sepertinya kurang tepat. Pasalnya, Kang Said—panggilan akrab KH Said Aqil Siroj—selama ini lebih dikenal sebagai tokoh NU dan intelektual muslim yang agak ‘liberal’, (mungkin) satu tingkat di bawah (almarhum) KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

KH Sahal Mahfudz, sang Rais Aam (Pemimpin Tertinggi) Syuriyah PB NU, yang menjadi tokoh sentral di NU saat ini, pun dikenal sangat moderat. Sikap dan pemikirannya selama ini jauh dari kesan konservatif. Kiai Sahal, sebagai tokoh puncak di organisasi massa terbesar di Tanah Air itu, tentu tak akan membiarkan jika ada upaya-upaya tertentu untuk mengarahkan NU pada konservativisme.

Tak hanya itu. Arus ledakan intelektual NU, terutama dari kalangan mudanya, yang terjadi selama ini, terlihat makin tak terbendung. Gerakan pemikiran mereka yang moderat atau pun yang cenderung liberal, sepertinya akan dengan sendirinya menjadi bantahan atas kekhawatiran Arbi. Dan, itu artinya, tak ada yang perlu dikhawatirkan. NU akan tetap menjadi organisasi kemasyarakatan Islam yang moderat.

Sekarang, bukan itu masalahnya. Kini, saatnya NU segera menyudahi pertentangan di kalangan nahdliyin (sebutan untuk warga NU): antara mereka yang cenderung liberal dengan mereka yang moderat. Demikian pula perdebatan yang berkepanjangan dan melelahkan seputar Khittah, dalam kaitannya dengan urusan politik praktis, sudah sepatutnya diakhiri. Sebab, hal tersebut sangat menguras energi organisasi dan sumberdayanya. Toh, kesimpulannya tetap begitu-begitu saja.

Sebagai bagian dari masyarakat sipil, NU harus mulai mengarahkan mayoritas tenaga dan pikirannya untuk kepentingan umat: nahdliyin dan masyarakat umum. Di bidang ekonomi, misal. Puluhan juta warga NU yang tersebar di seantero Nusantara, umumnya berada di perdesaan. Sebagian besar dari mereka adalah masyarakat miskin. Dan, selama ini, mereka tidak banyak disentuh oleh NU secara organisasi.

Fawaizul Umum dalam Ekonomika Pemberdayaan Warga Nahdliyyin, menulis, NU adalah peguyuban orang-orang yang disatukan nasibnya dan kemudian selalu diidentifikasi sebagai kaum kelas menengah ke bawah (miskin). Celakanya, baru-baru ini masyarakat Indonesia (termasuk warga NU di dalamnya) dikejutkan dengan pemberlakuan ACFTA (Asean-Cina Free Trade Agreement) per 1 Januari 2010. Usaha kecil menengah, yang tentu saja mayoritas pelakunya adalah masyarakat nahdliyin, bisa dipastikan akan tergencet perilaku pasar yang semakin bebas akibat masuknya barang-barang keluaran Cina, yang dikenal murah dan menjamur di mana-mana. Para petani NU di desa-desa, juga harus berjibaku dengan hasil panen petani dari Thailand, yang kualitasnya harus diakui sedikit lebih baik.

Rumusan-rumusan pemikiran serta program-program di bidang ekonomi yang baru dan konkret dalam rangka meningkatkan daya saing produk-produk warga NU di pasaran, harus secepatnya dibuat. Jika tidak, bukan tak mungkin potensi ekonomi NU yang amat besar itu, justru menjadi komoditas para pelaku pasar non-NU. NU tentu tidak menginginkan warganya terus menerus menjadi konsumen belaka. Maka, sangat mendesak kiranya, kepengurusan PB NU dengan duet Kiai Sahal-Kang Said, memberikan prioritas program yang lebih tinggi di sektor ini.

Pekerjaanrumah NU di bidang ekonomi itu berjalin kelindan dengan persoalan kesehatan warganya. Rendahnya tingkat kesejahteraan warga NU, membuat mereka mengalami kendala untuk mengakses layanan kesehatan. Gizi buruk, misal, merupakan persoalan tersendiri yang selama ini absen dari perhatian NU. Hal demikian ditambah kondisi sebaran kalangan nahdliyin yang sebagian besar hidup di perdesaan, yang terkadang tak terjangkau oleh institusi pelayanan kesehatan, milik pemerintah maupun swasta.

Sementara, seperti diakui mantan Wakil Rais Aam, KH Tolhah Hasan, NU belum optimal dalam pelayanan umat di bidang kesehatan. Ia menyebutkan, jumlah tempat-tempat pelayanan kesehatan, misalnya, rumah sakit yang dibangun dan dikelola NU, masih jauh dibanding rumah sakit yang dimiliki ormas Islam lainnya.

Menurut mantan Menteri Agama di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid itu, dibanding ormas Islam yang lebih kecil, misal, Al Irsyad, NU masih ketinggalan. Apalagi jika dibandingkan dengan rumah sakit yang didirikan dan dikelola ormas keagamaan (non-Islam) lainnya, misalnya, Kristen. Meski begitu, NU tak perlu terobsesi membikin rumah sakit berkelas internasional, sebab hal itu tetap tak mampu dijangkau warga NU yang merupakan kelompok kelas menengah ke bawah. NU cukup saja mendirikan klinik-klinik kesehatan di kawasan perdesaan, yang selama ini menjadi basis kalangan nahdliyin. Dengan demikian, manfaatnya dapat lebih bisa dirasakan.

Satu lagi garapan yang mesti mendapat perhatian cukup besar dari NU adalah bidang pendidikan. Slogan Kang Said: “Kembali ke Pesantren”, yang diusung sebagai bagian dari sosialisasi pencalonannya dalam Muktamar ke-32 NU di Makassar, Sulawesi Selatan, 22-28 Maret 2010, harus diterjemahkan dan dielaborasi ke dalam program-program konkret serta terukur.

Slogan itu tentu tidak terbatas dalam pengertian bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan berbasis agama Islam, yang menjadi pusat persemaian kader muslim di negeri ini. Tidak pula hanya sebagai bagian dari komunitas NU. Tetapi, pesantren, dalam hal ini, juga bagian terpenting dan tak terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional.

Diakui atau tidak, sedikitnya, dalam satu dekade terakhir, entitas pesantren telah terbawa masuk dalam hiruk pikuk panggung politik praktis. Hampir dalam setiap hajatan politik kekuasaan: pemilihan umum atau pun pemilihan kepala daerah, komunitas pesantren selalu terlibat (atau dilibatkan). Akibat itu, fungsinya sebagai lembaga pendidikan menjadi terabaikan. Fenomena tersebut tentu bukan kabar baik bagi NU, yang tak bisa dilepaskan dari komunitas pesantren.

Hal lain yang dihadapi pesantren saat ini dan harus mendapat perhatian serius dari NU adalah keberadaannya dalam kaitan dengan modernitas. Keberadaan pesantren sampai saat ini membuktikan keberhasilannya menjawab tantangan zaman. Namun, akselerasi modernitas yang begitu cepat, menuntut pesantren untuk tanggap secara cepat pula, sehingga eksistensinya tetap relevan dan penting. Masa depan pesantren ditentukan pada sejauhmana lembaga pendidikan tradisional itu dapat memformulasikan dirinya menjadi pesantren yang mampu menjawab tuntutan masa depan tanpa kehilangan jati diri.

Langkah ke arah tersebut tampaknya telah dilakukan pesantren melalui sikap akomodatifnya terhadap perkembangan teknologi modern dengan tetap menjadikan kajian agama sebagai rujukan segalanya. Kemampuan adaptatif pesantren atas perkembangan jaman justru memperkuat eksistensinya sekaligus menunjukkan keunggulannya.

Namun, di masa mendatang, di tengah makin kompleksnya tantangan jaman, pesantren tak bisa berperan sendirian. Di sinilah letak penting dan strategisnya peran NU sebagai organisasi; ormas yang memiliki (atau menaungi) banyak pesantren di negeri ini. Peran penting dan strategis itu tidak hanya dalam konteks memastikan bahwa pesantren tetap menjadi pusat pendidikan ke-Islam-an di Tanah Air. NU juga bertanggung jawab untuk memastikan bahwa negara tetap berkomitmen terhadap pengembangan pendidikan pesantren. Jika tidak, pesantren akan terus dianggap sebagai lembaga pendidikan kelas dua. Singkat kata, Kembali ke Pesantren berarti kembali memperhatikan, mengurus dan memberdayakan pesantren.

NU di Tangan Kiai Sahal-Kang Said (bagian satu)

Aula utama Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan, sore itu, mendadak riuh. Euforia pecah seketika tatkala KH Hasyim Muzadi menyatakan tidak bersedia dicalonkan sebagai rais aam (pemimpin tertinggi) Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2010-2015. Ragam selebrasi tercurah sesaat setelah KH Sahal Mahfudz ditetapkan secara aklamasi sebagai Rais Aam ketiga kalinya. Ada semacam ekspresi kegirangan luar biasa di beberapa sudut arena Muktamar ke-32 itu. Seperti sebuah raihan kemenangan yang sudah begitu lama diimpikan.

Pertanda harapan baru bagi masa depan NU? Tak perlu buru-buru menjawabnya. Sebab, selebrasi dan ekspresi kegirangan itu (sepertinya) bukan karena Kiai Sahal terpilih kembali, melainkan lantaran Hasyim batal menduduki posisi tertinggi dan terhormat di organisasi itu. Perkara kesenioran, kesalehan, kealiman dan ketokohan serta kewibawaan Kiai Sahal, tak ada yang meragukan. Karena itulah, Pengasuh Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati, Jawa Tengah, tersebut dianggap paling pas menempati posisi rais aam—sebuah tradisi yang tak pernah berubah sejak organisasi itu didirikan pada 1926 silam.

Tapi, masalahnya, selama dua periode alias 10 tahun terakhir menjabat Rais Aam, ia nyaris absen dari aktivitas ke-Syuriyah-an. Alhasil, selama itu pula, Hasyim lebih mendominasi kepemimpinan di organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia itu. Hasyim layaknya pemain tunggal yang lepas dari kendali Kiai Sahal. Tudingan kerap membawa NU ke wilayah politik praktis, seolah telah menjadi predikat yang tak bisa dipisahkan dari diri Hasyim selama dua periode menjabat Ketua Umum Tanfidziyah PB NU.

Kevakuman lembaga Syuriyah sebagai akibat absennya Kiai Sahal selama dua periode itu barangkali merupakan imbas superioritas (almarhum) KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sepanjang tiga periode atau 15 tahun sebelumnya menjabat Ketua Umum Tanfidziyah. Pada masa itu, Syuriyah meredup. Peran dan fungsinya tergantikan sepenuhnya oleh Tanfidziyah di tangan Gus Dur. Kepemimpinan Gus Dur sangat dominan. KH Ali Yafie, yang menduduki posisi Rais Aam sepeninggal KH Ahmad Siddiq, rupanya tak mampu mengimbangi pengaruh Gus Dur yang sangat kuat.

Tapi, Gus Dur bukanlah Hasyim. Keduanya punya karakter pribadi dan karakter kepemimpinan yang jauh berbeda. Diakui atau tidak, Hasyim tak sekuat Gus Dur. Hasyim pun bukan tipe pribadi pemimpin yang ‘susah diatur’ seperti Gus Dur. Karena itu, Kiai Sahal semestinya bisa lebih leluasa menjalankan perannya. Upaya mengembalikan supremasi dan kewibawaan lembaga Syuriyah, sejak mula ia diduetkan dengan Hasyim dalam Muktamar ke-30 di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, pada 1999 lampau, bukanlah perkara yang teramat sulit. Namun, hal itu tidak terjadi hingga 10 tahun kemudian.

Sempat mengemuka wacana mengembalikan supremasi Syuriyah. Muncul kemudian gagasan tentang metode pemilihan secara khusus rais aam dan wakil rais aam oleh para muktamirin (peserta Muktamar). Lalu, kepengurusan lengkap Syuriyah memilih ketua umum Tanfidziyah dari sejumlah calon usul para muktamirin. Namun, gagasan tersebut tak sampai terwujud.

Seandainya pun gagasan tersebut terwujud, sepertinya bakal sia-sia saja. Sebab, dalam Anggaran Rumah Tangga NU telah ditegaskan bahwa Syuriyah adalah pimpinan, pengendali dan pengelola organisasi. Pada Pasal 21 ayat 3 dijelaskan: “Apabila keputusan suatu perangkat NU dinilai bertentangan dengan ketentuan jamiyah, terutama ajaran Islam, Syuriyah, atas keputusan rapatnya, dapat membatalkan keputusan atau pun langkah perangkat tersebut.”

Aturan tersebut sudah cukup memenuhi bagaimana seharusnya Syuriyah berperan. Syuriyah tampak berkuasa penuh atas Tanfdziyah. Namun, pada kenyataannya terlihat tidak terlalu efektif, baik sebagai pengendali atau pun pengelola organisasi. Syuriyah, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, tampak pasif. Akibatnya, langkah-langkah dan kebijakan Tanfidziyah terlihat tanpa kontrol Syuriyah. Tak salah jika ada candaan bahwa peran (pengurus) Syuriyah hanya bertugas sebagai ‘tukang doa’ pada setiap rapat maupun kegiatan-kegiatan organisasi. Seorang rais aam atau pun rais seolah sebatas simbol tanpa makna.

Keadaan yang demikian tentu tak boleh diulang pada lima tahun mendatang. Tiga kali sudah kesempatan diberikan pada Kiai Sahal. Tak ada alasan lagi bagi lembaga Syuriyah untuk terus berada pada posisi subordinat di bawah Tanfidziyah. Apalagi KH Said Aqil Siroj, yang dipercaya mengendalikan kemudi Tanfidziyah, dianggap bisa bekerja sama dengan Kiai Sahal. Kang Said—panggilan akrabnya, meski sedikit liberal, tapi ia tak punya karakter untuk memosisikan Tanfidziyah berhadap-hadapan dengan Syuriyah.

KH Wahab Hasbullah dapat dijadikan salah satu contoh figur ideal seorang Rais Aam. Bapak Pendiri NU setelah Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari itu, selain memiliki unsur kedalaman ilmu agama (dan ilmu pengetahuan lainnya), kesalehan dan ketokohan serta kewibawaan, juga terampil berorganisasi. Rekam jejaknya di dunia organisasi dapat dilihat, di antaranya, menjadi Panglima Laskar Hizbullah, mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkar, organisasi pemuda Islam bernama Nahdlatul Wathan, Ketua Tim Komite Hijaz, dan lain-lain.

Kiai Wahab juga seorang pencetus dasar-dasar kepemimpinan dalam organisasi NU dengan adanya dua badan: Syuriyah dan Tanfidziyah, sebagai usaha pemersatu kalangan tua dengan muda. Kecakapannya dalam urusan diplomasi pun diakui, terutama setelah berhasil membebaskan KH Hasyim Asy’ari dari penjara ketika ditahan pemerintah kolonial Jepang.

Namun demikian, Kiai Sahal pun tak bisa bekerja sendirian. Sebagai pimpinan tertinggi yang mengendalikan seluruh arah gerak organisasi, Rais Aam harus pula disokong awak yang kuat. Pasalnya, di masa mendatang, tantangan yang dihadapi NU makin kompleks. Organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Tanah Air ini harus mampu merespons secara cepat isu-isu kekinian yang menyangkut, misal, ekonomi, sosial, politik, hukum, budaya dan lain-lain. Karenanya, lembaga Syuriyah harus diisi para pakar dan cendekiawan yang mumpuni di bidangnya masing-masing. Singkatnya, Syuriyah, sebagai kepemimpinan kolektif ulama, harus diisi para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Harapannya, NU tak lagi gagap ketika harus merespons satu permasalahan yang menyangkut umat.

Kapasitas dan komposisi Syuriyah yang demikian tentu akan dengan sendirinya dapat mengatasi tugas-tugas utama lembaga itu, yang selama ini justru lebih banyak diperankan Tanfidziyah. Tanfidziyah pun akan memiliki lebih banyak waktu, tenaga dan pikiran untuk berkonsentrasi menjalankan tugas-tugas yang diamanatkan Muktamar. Tanfidziyah, sebagai lembaga pelaksana (eksekutif), harus mampu memainkan peran pengelolaan organisasi, membangun jam’iyah NU dengan program konkret dan terukur, baik program yang bersifat pencerahan, pemberdayaan maupun pembelaan.

Tidak mudah memang untuk mewujudkan obesesi seperti itu. Namun, hal demikian tetap harus dilakukan jika NU hendak menjadikan dirinya sebagai organisasi yang rapi dan modern. Ingat, puluhan juta warga NU yang tersebar di seantero Nusantara, tak mungkin bisa diurus dengan organisasi yang amburadul.

Playback, Panggung Kepura-puraan

Saya bukan penonton tayangan-tayangan musik di televisi seperti Inbox atau Dahsyat. Tapi, jika Anda penonton setia tayangan-tayangan semacam itu, Anda tentu sudah sadar betul bahwa sebagian besar artis yang tampil pada acara itu tidak bermain secara live (langsung). Umumnya, mereka tampil pura-pura live atau playback alias menirukan musik yang keluar dari rekaman yang diputar. Itulah alasan mengapa saya tak begitu minat menonton tayangan-tayangan semacam Inbox, Dahsyat dan lain-lain.

Fenomena seperti itu sesungguhnya bukan barang baru. Namun, saya baru tersadar bahwa fenomena playback atau tampil pura-pura live itu makin tren, terutama di televisi. Seperti sesuatu yang lumrah jika melihat sang pesohor ‘menipu’ penggemarnya dengan pura-pura bernyanyi padahal ia sedang membisu. Atau, seorang drummer pura-pura beraksi menggebuk drumm padahal suara yang keluar bukan dari perangkatnya, melainkan bersumber dari sound system yang sudah ditata sedemikian rupa.

Sebagian artis tampak cukup menikmati konsep manggung seperti itu. Sebab, mereka tak perlu repot-repot latihan berjam-jam di studio agar bisa tampil sempurna di atas panggung nantinya. Pun tak perlu khawatir bakal salah menggunakan chord atau suara fals saat di atas pentas, lantaran semua urusan telah dipasrahkan pada mesin yang memutar rekaman. Dan, honor manggung pun sudah di depan mata. Sangat sederhana. Mungkin akan sedikit ribet saat mereka harus memilih kostum agar terlihat makin keren di mata penonton atau pun penggemarnya.

Ari Lasso mengistilahkan konsep manggung semacam itu sebagai sebuah sikap fleksibilitas agar bisa bertahan di industri musik. “Tentunya (saya) lebih suka (tampil) live, tapi begitu banyak hal di industri musik Indonesia ini yang membuat saya dan teman-teman harus bisa fleksibel tanpa mengorbankan sisi kejujurannya,” ujar bekas vokalis Dewa 19 itu, dikutip dari Detikhot.com, 12 April 2010.

Fleksibel? Sepertinya terdengar klise. Apalagi ditambah kalimat “agar bisa bertahan…”. Entah apa yang ada di benak Ari atas sikap ke-fleksibel-annya itu. Saya hanya menduga (kuat), pelantun tembang Rahasia Ilahi itu belum siap jika harus kehilangan popularitasnya sehingga bersedia tampil pura-pura. Bisa jadi pula, alasan “agar bisa bertahan…” itu maknanya adalah bertahan hidup di tengah kerasnya persaingan di industri musik. Peduli amat dengan kreativitas berkesenian yang menuntut kejujuran, menipu publik (musik) dengan kepura-puraan pun tak jadi soal.

Tapi, tak semua musikus punya sikap serupa Ari. Grup band Padi menolak mentah-mentah tawaran tampil playback di televisi. Bahkan, grup band asal Surabaya itu lebih memilih bubar jika harus dipaksa bermain playback. Bagi mereka, hal itu sama saja dengan menipu. Dan, bermain live adalah pembuktian kejujuran mereka dalam bermusik. Hal itu tak bisa ditawar sekedar untuk memeriahkan acara musik yang tengah menjamur di televisi. (sumber: Detikhot.com, 25 Maret 2010)

Sikap Padi cukup bisa dipahami. Totalitas dalam bermusik, salah satu ukurannya adalah berani tampil live, bahkan jika dituntut spontan atau tanpa persiapan sekali pun. Kemungkinan tampil tak sempurna, misal, salah menggunakan chord, suara sang vokalis fals, mikrofon mati, suara gitar tak terdengar, atau pun ‘kecelakaan-kecelakaan’ lain, pasti ada. Itu bagian dari risiko yang justru merupakan tantangan tersendiri. Terkadang, musikus pun akan merasa lebih bebas bereksplorasi dan mencipta inovasi-inovasi baru justru saat mereka di atas panggung.

Keberadaan pertunjukan konser bukan semata merupakan sarana promosi, melainkan juga menjadi media yang efektif untuk menunjukkan kapasitas dan kualitas bermusik sang artis. Seorang penyanyi atau grup band yang berani bermain live dalam sebuah konser, berarti telah siap dengan risiko dilempar botol atau pun sandal saat mereka tampil mengecewakan. Dan, jika mereka mampu mengatasi risiko itu, bukan hanya acungan jempol, berbagai penghargaan pun sudah siap menanti.

Meski demikian, sikap seperti yang ditunjukkan Padi itu tak serta-merta diamini para musikus lainnya. Tidak sedikit di antara para seniman musik di negeri ini yang lebih memilih cara gampang-gampangan itu, sekedar demi popularitas atau pun alasan finansial. Ari Lasso saja menyebut sikap Padi itu sebagai ‘pahlawan kesiangan’. Hegemoni industri musik yang begitu kuat, rupanya telah membikin para musikus tak punya banyak pilihan.

Stasiun televisi yang merupakan bagian tak terpisahkan dari industri musik, tak salah kalau disebut biang kerok dalam perkara ini. Merekalah yang mula-mula memelopori pertunjukan panggung kepura-puraan itu. Alasan yang selalu menjadi andalan mereka adalah masalah teknis dan terbatasnya anggaran.

Alasan pertama yang dimaksud adalah tingkat kerepotan yang cukup tinggi untuk bisa menampilkan sekian banyak band/penyanyi dengan durasi yang terbatas, seperti halnya pada tayangan Inbox (SCTV), Dahsyat (RCTI), Kissvaganza (Indosiar) atau Derings (Trans TV). Sementara, persiapan sebuah band untuk menata sound system-nya, atau dikenal dengan istilah sound check, lazimnya bisa memakan waktu 2-3 jam. Maka, solusi satu-satunya adalah playback. Alasan ini bisa dimaklumi lantaran urusan memang menjadi cukup ribet jika mesti sound check untuk 3-4 grup band/penyanyi per episode.

Namun demikian, kerumitan itu bukan berarti harus menutup sepenuhnya peluang bagi artis yang akan tampil untuk bermain secara live. Hal yang terjadi justru seolah tak ada pilihan kecuali: mau tampil pura-pura atau tidak sama sekali.

Alasan kedua sangat klasik. Anggaran produksi, yang konon rendah, juga membuat pihak stasiun televisi tidak bisa menyediakan secara rinci dan lengkap peralatan sound system untuk setiap grup band/penyanyi. Artinya, channel yang diperlukan juga banyak, berarti membutuhkan mixer yang besar. Singkat kata, biaya produksi pun bertambah. Tim produksi yang diperlukan juga bertambah, yang berarti tambah biaya pula.

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa alasan anggaran atau biaya itu adalah alasan yang tak masuk akal atau pun sebaliknya. Begini. Sumber utama pendapatan televisi adalah iklan. Dan, tayangan televisi di pagi hari yang paling sukses menggaet iklan adalah tayangan musik semacam Inbox, Dahsyat, Kissvaganza atau Derings itu. Tarif iklan pada masing-masing stasiun televisi berbeda-beda. Namun, rata-rata pada kisaran Rp 10-13 juta per slot (satu slot rata-rata 30 detik). Sebagai perbandingan saja, Dahsyat bisa mengantongi 80 slot per episode. (sumber: majalah Kontan edisi Minggu II, Februari 2009)

Anggap saja Dahsyat mematok harga iklan per slot Rp 10 juta. Itu artinya, Rp 800 juta sudah dikantongi Dahsyat per episodenya. Sementara, biaya produksi per episode, konon, berkisar pada angka Rp 30-50 juta. Lumayan juga untungnya. Hitungan gampang-gampangan itu kalau tarif iklannya Rp 10 juta per slot x 80 slot per episode. Nah, kalau lebih dari itu, tentu lebih lumayan lagi keuntungannya. Masih mau memakai alasan anggaran yang terbatas? Pikir lagi!

Tapi, sudahlah! Berapa pun tarif iklan atau keuntungan yang didapat pihak stasiun televisi, hal yang pasti adalah publik musik Tanah Air telah cukup lama disuguhi pertunjukan palsu alias panggung musik pura-pura. Di saat yang sama, masyarakat juga telah diperdaya operator seluler melalui produk RBT (ring back tone) yang menyesatkan itu. Kuping masyarakat di negeri ini pun telah sedemikian rupa dipaksa mendengarkan musik yang seragam serta cinta-cinta melulu.

Bagaimana dengan para musikus? Sudah sepatutnya mereka berpikir ulang jika masih berminat berpura-pura, membohongi dan menipu publik atau pun penonton dan penggemarnya melalui aksi playback. Sebab, mereka tak sekedar punya hak untuk berkreasi secara bebas, tetapi juga memiliki kewajiban moral mendidik masyarakat lewat sajian musik yang jujur dan tentu berkualitas.