NU di Tangan Kiai Sahal-Kang Said (bagian tiga/habis)

Suatu hari, menjelang Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama (NU), digelar workshop terbatas. Tema utamanya tentang sistem ekonomi dan pemberdayaan ekonomi warga NU. Workshop terlihat serius, sampai-sampai mengundang narasumber seorang pakar ekonomi syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Singkat cerita, diperoleh kesimpulan bahwa sistem ekonomi dalam bentuk perbankan syariah dianggap paling tepat bagi usaha memberdayakan ekonomi warga NU.

Meski demikian, hingga Muktamar telah menetapkan KH Sahal Mahfudz dan KH Said Aqil Siroj sebagai nahkoda baru NU, tak ada satu pun rumusan konkret tentang model perbankan syariah yang bagaimana yang bakal dikembangkan untuk memberdayakan ekonomi warga NU itu. Tetapi, seandainya pun ada, sepertinya tak akan banyak membantu alias sia-sia saja. Sebab, permasalahan utama di bidang ekonomi yang dihadapi warga NU bukanlah (semata) perkara permodalan. Karena itu, jalan keluarnya pun bukan perbankan syariah atau pun perbankan konvensional (non-syariah).

Satu hal perlu dicatat dari besarnya jumlah warga NU yang (konon) mencapai 70-80 juta dari total populasi penduduk Indonesia adalah keberadaan mereka yang sebagian besar tinggal di perdesaan. Itu artinya, sebagian besar dari mereka mengandalkan hidupnya dari sektor pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan. Artinya pula, ketergantungan mereka terhadap lembaga keuangan perbankan (syariah atau pun non-syariah) tak terlalu besar. Bahkan, di sektor pertanian dan perkebunan, lembaga keuangan perbankan bisa dikata nyaris tak punya sumbangsih apa pun.

Sepanjang lima tahun terakhir, penyaluran kredit perbankan pada sektor pertanian tidak beranjak pada angka 6 persen dari total penyaluran kredit nasional. Dikutip dari Detikfinance.com, 29 Januari 2010, tahun ini, Bank Indonesia merilis portofolio kredit pertanian yang hanya 5,5 persen dari total kredit perbankan nasional. Itu artinya, 95,5 persen dari kredit perbankan secara nasional bukan dinikmati petani, yang sebagian besar dari mereka adalah nahdliyin (sebutan untuk warga NU) itu. Ada atau tidak ada kredit dari bank, mereka akan tetap bertani.

Keberadaan bank perkreditan rakyat (BPR) milik NU, yakni, BPR Nusumma pun dapat dijadikan contoh betapa sektor finansial bukanlah solusi utama bagi perekonomian warga NU. BPR yang didirikan pada 1990 silam itu gagal setelah 20 tahun beroperasi. Dari 16 BPR yang didirikan, kini hanya bertahan 9 unit. Dan, kabarnya, ke-9 unit itu pun bakal di-merger menjadi 4-5 unit. Kegagalan eksperimentasi tersebut bukan semata diakibatkan kekurang-cakapan sumber daya NU di bidang finansial, melainkan lebih karena persoalan rendahnya ketergantungan warga NU pada lembaga keuangan perbankan. Warga NU yang sebagian besar petani dan nelayan di perdesaan itu tetap akan bertani atau melaut meski tak ada kredit dari bank.

Nah, apa yang seharusnya dilakukan NU di tangan Kiai Sahal dan Kang Said bagi pemberdayaan ekonomi nahdliyin? Lupakan sistem perbankan syariah atau pun sistem perbankan konvensional, dan mulailah menyeriusi mengembangkan sistem ekonomi koperasi.

Gagasan ini bukan dimaksudkan sebagai sekedar jalan tengah bagi pilihan antara sistem perbankan syariah atau sistem perbankan konvensional. Tetapi, lebih pada tingkat kesesuaian sosio-kultur-ekonomi masyarakat nahdliyin yang sebagian besar adalah petani, peternak dan nelayan. Dan, seperti ditulis Noer Soetrisno dalam Koperasi Mewujudkan Kebersamaan dan Kesejahteraan: Menjawab Tantangan Global dan Regionalisme Baru, ternyata koperasi mampu menyumbang sepertiga pasar kredit mikro di Tanah Air yang sangat dibutuhkan masyarakat luas secara produktif dan kompetitif. Bahkan, koperasi masih mampu menjangkau pelayanan pada lebih dari 11 juta nasabah, jauh di atas kemampuan kepiawaian perbankan yang megah sekali pun.

Namun demikian, pilihan utama model koperasi itu tentu bukan hanya dalam bentuk koperasi jasa keuangan simpan-pinjam yang melulu menyalurkan kredit (mikro) atau terbatas pada sektor keuangan. Sebab, koperasi yang demikian, belakangan justru nyaris tak ada beda dengan bank: melulu keuangan/finansial. Padahal, seperti diurai sebelumnya, persoalan perekonomian warga NU bukan semata perkara keuangan.

Koperasi, ditulis Murni Irian Ningsih dalam Koperasi, merupakan badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan. Sederhananya, koperasi adalah badan usaha bersama sebagai suatu upaya untuk menolong diri sendiri secara bersama-sama.

Sebagai sebuah badan usaha bersama, koperasi terdiri dari koperasi kredit dan jasa keuangan atau koperasi simpan-pinjam; koperasi konsumen atau koperasi konsumsi; dan koperasi produsen atau koperasi yang bergerak di bidang produksi. Dan, sepanjang pengetahuan penulis, NU belum pernah mencoba mengembangkan jenis koperasi yang disebut terakhir. Umumnya, hanya terbatas pada koperasi simpan-pinjam.

NU dapat mencoba mengembangkan koperasi produsen yang bergerak di ragam sektor produksi, yang menjadi lahan utama penghidupan sebagian besar warganya. Misal, koperasi pertanian, koperasi perkebunan (karet, sawit, tebu, dan lain-lain), koperasi nelayan (nelayan tangkap atau nelayan budidaya), koperasi peternakan (sapi, kambing, dan lain-lain), dan sebagainya. Koperasi-koperasi tersebut tentu tidak dapat mengandalkan kegiatan produksi saja, melainkan juga pada bidang penyuluhan, penyediaan permodalan bagi anggota, hingga pemasaran hasil pertanian/perkebunan/peternakan.

Pengembangan koperasi di Korea Selatan bisa dijadikan contoh betapa badan usaha bersama itu mampu memberikan kontribusi yang tidak kecil terhadap pembangunan ekonomi dan masyarakat perdesaan di negara tersebut. National Agricultural Cooperative Federation (NACF), yang beranggotakan 1.200 koperasi dan 2 juta petani, berhasil menyumbangkan 40 persen dari total pasar pertanian dalam negeri Korea Selatan. Dalam bidang perbankan, total deposit di NACF telah mencapai 254 triliun won Korea (270 miliar dolar Amerika Serikat).

Koperasi di Indonesia, meski sering dicibir seolah sedang menegakkan benang basah, bukan berarti sama sekali tak memiliki peluang. Pemberlakuan Perdagangan Bebas ASEAN-Cina (ACFTA) justru menjadi peluang yang cukup besar bagi pengembangan produksi pertanian melalui koperasi. ACFTA, dengan berbagai kebebasannya, berarti membuka peluang pasar baru. Dengan demikian, akan memperluas pasar, yang pada gilirannya merupakan peluang untuk peningkatan produksi dan usaha bagi koperasi yang bersangkutan.

Bagaimana harus memulainya? NU tak perlu memasang target muluk-muluk hingga seperti koperasi di Korea Selatan. Sebab, mereka telah mengembangkannya sejak tahun 1961 silam. Kang Said, selaku pemegang kendali Tanfidziyah (pelaksana) Pengurus Besar NU, cukup membikin tiga atau lima koperasi (pertanian, perkebunan, nelayan, dan peternakan) di beberapa daerah yang menjadi kantong nahdliyin sebagai proyek percontohan. Proyek ‘kecil-kecilan’ ini harus ditargetkan berhasil, setidaknya hingga periode kepengurusannya berakhir pada 2015 nanti.

Sekarang, NU tak perlu ragu untuk memberdayakan ekonomi warganya melalui koperasi. Ingat, ada atau tidak ada kredit dari lembaga keuangan perbankan atau bantuan dari pemerintah, warga NU—yang sebagian besar petani itu—tetap akan bertani. Dan, selama ini, jumlah mereka yang amat besar itu cenderung hanya menjadi pasar bagi produk orang lain atau bangsa lain. Kiai Sahal dan Kang Said tentu tidak menginginkan warga NU selamanya menjadi konsumen belaka.

No Response to "NU di Tangan Kiai Sahal-Kang Said (bagian tiga/habis)"

Posting Komentar