NU di Tangan Kiai Sahal-Kang Said (bagian dua)

Pengamat Politik pada Universitas Indonesia, Arbi Sanit, mengaku khawatir, terpilihnya KH Said Aqil Siroj sebagai Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) akan membawa organisasi massa itu ke arah Islam yang lebih konservatif.

Penilaian tersebut sepertinya kurang tepat. Pasalnya, Kang Said—panggilan akrab KH Said Aqil Siroj—selama ini lebih dikenal sebagai tokoh NU dan intelektual muslim yang agak ‘liberal’, (mungkin) satu tingkat di bawah (almarhum) KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

KH Sahal Mahfudz, sang Rais Aam (Pemimpin Tertinggi) Syuriyah PB NU, yang menjadi tokoh sentral di NU saat ini, pun dikenal sangat moderat. Sikap dan pemikirannya selama ini jauh dari kesan konservatif. Kiai Sahal, sebagai tokoh puncak di organisasi massa terbesar di Tanah Air itu, tentu tak akan membiarkan jika ada upaya-upaya tertentu untuk mengarahkan NU pada konservativisme.

Tak hanya itu. Arus ledakan intelektual NU, terutama dari kalangan mudanya, yang terjadi selama ini, terlihat makin tak terbendung. Gerakan pemikiran mereka yang moderat atau pun yang cenderung liberal, sepertinya akan dengan sendirinya menjadi bantahan atas kekhawatiran Arbi. Dan, itu artinya, tak ada yang perlu dikhawatirkan. NU akan tetap menjadi organisasi kemasyarakatan Islam yang moderat.

Sekarang, bukan itu masalahnya. Kini, saatnya NU segera menyudahi pertentangan di kalangan nahdliyin (sebutan untuk warga NU): antara mereka yang cenderung liberal dengan mereka yang moderat. Demikian pula perdebatan yang berkepanjangan dan melelahkan seputar Khittah, dalam kaitannya dengan urusan politik praktis, sudah sepatutnya diakhiri. Sebab, hal tersebut sangat menguras energi organisasi dan sumberdayanya. Toh, kesimpulannya tetap begitu-begitu saja.

Sebagai bagian dari masyarakat sipil, NU harus mulai mengarahkan mayoritas tenaga dan pikirannya untuk kepentingan umat: nahdliyin dan masyarakat umum. Di bidang ekonomi, misal. Puluhan juta warga NU yang tersebar di seantero Nusantara, umumnya berada di perdesaan. Sebagian besar dari mereka adalah masyarakat miskin. Dan, selama ini, mereka tidak banyak disentuh oleh NU secara organisasi.

Fawaizul Umum dalam Ekonomika Pemberdayaan Warga Nahdliyyin, menulis, NU adalah peguyuban orang-orang yang disatukan nasibnya dan kemudian selalu diidentifikasi sebagai kaum kelas menengah ke bawah (miskin). Celakanya, baru-baru ini masyarakat Indonesia (termasuk warga NU di dalamnya) dikejutkan dengan pemberlakuan ACFTA (Asean-Cina Free Trade Agreement) per 1 Januari 2010. Usaha kecil menengah, yang tentu saja mayoritas pelakunya adalah masyarakat nahdliyin, bisa dipastikan akan tergencet perilaku pasar yang semakin bebas akibat masuknya barang-barang keluaran Cina, yang dikenal murah dan menjamur di mana-mana. Para petani NU di desa-desa, juga harus berjibaku dengan hasil panen petani dari Thailand, yang kualitasnya harus diakui sedikit lebih baik.

Rumusan-rumusan pemikiran serta program-program di bidang ekonomi yang baru dan konkret dalam rangka meningkatkan daya saing produk-produk warga NU di pasaran, harus secepatnya dibuat. Jika tidak, bukan tak mungkin potensi ekonomi NU yang amat besar itu, justru menjadi komoditas para pelaku pasar non-NU. NU tentu tidak menginginkan warganya terus menerus menjadi konsumen belaka. Maka, sangat mendesak kiranya, kepengurusan PB NU dengan duet Kiai Sahal-Kang Said, memberikan prioritas program yang lebih tinggi di sektor ini.

Pekerjaanrumah NU di bidang ekonomi itu berjalin kelindan dengan persoalan kesehatan warganya. Rendahnya tingkat kesejahteraan warga NU, membuat mereka mengalami kendala untuk mengakses layanan kesehatan. Gizi buruk, misal, merupakan persoalan tersendiri yang selama ini absen dari perhatian NU. Hal demikian ditambah kondisi sebaran kalangan nahdliyin yang sebagian besar hidup di perdesaan, yang terkadang tak terjangkau oleh institusi pelayanan kesehatan, milik pemerintah maupun swasta.

Sementara, seperti diakui mantan Wakil Rais Aam, KH Tolhah Hasan, NU belum optimal dalam pelayanan umat di bidang kesehatan. Ia menyebutkan, jumlah tempat-tempat pelayanan kesehatan, misalnya, rumah sakit yang dibangun dan dikelola NU, masih jauh dibanding rumah sakit yang dimiliki ormas Islam lainnya.

Menurut mantan Menteri Agama di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid itu, dibanding ormas Islam yang lebih kecil, misal, Al Irsyad, NU masih ketinggalan. Apalagi jika dibandingkan dengan rumah sakit yang didirikan dan dikelola ormas keagamaan (non-Islam) lainnya, misalnya, Kristen. Meski begitu, NU tak perlu terobsesi membikin rumah sakit berkelas internasional, sebab hal itu tetap tak mampu dijangkau warga NU yang merupakan kelompok kelas menengah ke bawah. NU cukup saja mendirikan klinik-klinik kesehatan di kawasan perdesaan, yang selama ini menjadi basis kalangan nahdliyin. Dengan demikian, manfaatnya dapat lebih bisa dirasakan.

Satu lagi garapan yang mesti mendapat perhatian cukup besar dari NU adalah bidang pendidikan. Slogan Kang Said: “Kembali ke Pesantren”, yang diusung sebagai bagian dari sosialisasi pencalonannya dalam Muktamar ke-32 NU di Makassar, Sulawesi Selatan, 22-28 Maret 2010, harus diterjemahkan dan dielaborasi ke dalam program-program konkret serta terukur.

Slogan itu tentu tidak terbatas dalam pengertian bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan berbasis agama Islam, yang menjadi pusat persemaian kader muslim di negeri ini. Tidak pula hanya sebagai bagian dari komunitas NU. Tetapi, pesantren, dalam hal ini, juga bagian terpenting dan tak terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional.

Diakui atau tidak, sedikitnya, dalam satu dekade terakhir, entitas pesantren telah terbawa masuk dalam hiruk pikuk panggung politik praktis. Hampir dalam setiap hajatan politik kekuasaan: pemilihan umum atau pun pemilihan kepala daerah, komunitas pesantren selalu terlibat (atau dilibatkan). Akibat itu, fungsinya sebagai lembaga pendidikan menjadi terabaikan. Fenomena tersebut tentu bukan kabar baik bagi NU, yang tak bisa dilepaskan dari komunitas pesantren.

Hal lain yang dihadapi pesantren saat ini dan harus mendapat perhatian serius dari NU adalah keberadaannya dalam kaitan dengan modernitas. Keberadaan pesantren sampai saat ini membuktikan keberhasilannya menjawab tantangan zaman. Namun, akselerasi modernitas yang begitu cepat, menuntut pesantren untuk tanggap secara cepat pula, sehingga eksistensinya tetap relevan dan penting. Masa depan pesantren ditentukan pada sejauhmana lembaga pendidikan tradisional itu dapat memformulasikan dirinya menjadi pesantren yang mampu menjawab tuntutan masa depan tanpa kehilangan jati diri.

Langkah ke arah tersebut tampaknya telah dilakukan pesantren melalui sikap akomodatifnya terhadap perkembangan teknologi modern dengan tetap menjadikan kajian agama sebagai rujukan segalanya. Kemampuan adaptatif pesantren atas perkembangan jaman justru memperkuat eksistensinya sekaligus menunjukkan keunggulannya.

Namun, di masa mendatang, di tengah makin kompleksnya tantangan jaman, pesantren tak bisa berperan sendirian. Di sinilah letak penting dan strategisnya peran NU sebagai organisasi; ormas yang memiliki (atau menaungi) banyak pesantren di negeri ini. Peran penting dan strategis itu tidak hanya dalam konteks memastikan bahwa pesantren tetap menjadi pusat pendidikan ke-Islam-an di Tanah Air. NU juga bertanggung jawab untuk memastikan bahwa negara tetap berkomitmen terhadap pengembangan pendidikan pesantren. Jika tidak, pesantren akan terus dianggap sebagai lembaga pendidikan kelas dua. Singkat kata, Kembali ke Pesantren berarti kembali memperhatikan, mengurus dan memberdayakan pesantren.

No Response to "NU di Tangan Kiai Sahal-Kang Said (bagian dua)"

Posting Komentar