Arogansi Satpam atau Jurnalis?

Jika saja penduduk miskin Indonesia yang mencapai 40 persen dari total populasi itu berprofesi sebagai jurnalis/wartawan, saya yakin mereka bisa dengan gampang menggerakkan revolusi di negeri ini. Solidaritas di antara mereka sangat tinggi dibanding jenis profesi lainnya, sebut saja sebagai contoh, petani atau buruh. Satu di antara mereka menghadapi masalah, tanpa diminta, kawan-kawannya membantu. Seperti halnya yang terlihat pada kasus “penganiayaan” oleh petugas keamanan (satpam) di gedung Bank Indonesia terhadap seorang wartawan SCTV, Rabu (13/5).

Tak lama setelah kejadian itu, sebagai bentuk solidaritas, puluhan wartawan dari berbagai media massa berunjuk rasa di depan gedung BI. Esoknya, unjuk rasa serupa terjadi di Medan (Sumatera Utara) dan Makassar (Sulawesi Selatan). Lembaga Bantuan Hukum Pers pun mengecam. Mereka menyebutkan bahwa kejadian itu menunjukkan belum adanya kesadaran semua pihak untuk menghormati profesi jurnalis dalam mengemban tugas untuk mewartakan berita kepada masyarakat.

Sebetulnya hanya karena kesalahpahaman. Si wartawan hendak mewawancarai Gubernur BI, Boediono, yang saat itu disebut-sebut bakal menjadi cawapres. Masalah bermula saat satpam gedung BI yang kabarnya dengan arogan menanyai kepentingan si wartawan. Tak hanya itu. Satpam juga meminta si wartawan meninggalkan kartu identitas diri di pos jaga. Si wartawan menolak dan beralasan bahwa prosedur itu tak pernah ada. Adu mulut tak terelakkan. Lalu, beberapa satpam yang lain mendorong dan menyundulnya hingga menyebabkan luka di bagian pelipisnya.

Si wartawan mengaku kecewa atas tindakan yang dialaminya. Ia berujar, baru kali itu diperlakukan begitu. Bahkan, katanya, selama lima tahun melakukan liputan di Istana Wakil Presiden, hal serupa tak pernah dialaminya. "Saya 5 tahun liputan di sana, yang jaga Paspampres, tidak pernah memperlakukan seperti ini," katanya. (Detik.com, 13/5/2009)

Kasus tersebut mengingatkan pengalaman seorang kawan saat menjadi panitia sebuah konferensi internasional di Jakarta beberapa tahun lalu. Pengamanan sudah disiapkan. Prosedur bagi para jurnalis yang akan meliput pun sudah ditetapkan, salah satunya dengan menerbitkan kartu tanda pengenal khusus.

Namun, beberapa saat menjelang pembukaan yang dihadiri presiden, serombongan wartawan yang mengaku wartawan Istana (baca: wartawan yang biasa meliput kegiatan di Istana Negara) seenaknya masuk tanpa kartu tanda pengenal dari panitia. Memang, tak sampai terjadi keributan atau penganiayaan seperti yang terjadi di gedung BI. Tapi, panitia tak dapat berbuat banyak saat para jurnalis Istana itu menunjukkan “kartu sakti”-nya, yakni kartu tanda pengenal yang diterbitkan pihak Istana.

Panitia barangkali tak mau dikenakan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang berbunyi: “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.” Sebab, jika “…dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 …ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00.- (Lima ratus juta rupiah)”.

Kasus jurnalis versus satpam BI itu pemicunya adalah perkara sikap arogansi, meski tak terang betul siapa yang sesungguhnya arogan, satpam atau justru jurnalisnya. Jurnalis bilang, satpamnya yang arogan, tak menghargai profesi jurnalis. Juga menerapkan prosedur yang tak biasanya. Tapi, bisa jadi satpamnya juga punya pendapat sebaliknya. Alasannya, si wartawan dianggap tak mau mematuhi aturan yang ditetapkan.

Kalau saja petugas keamanan itu diperkenankan melakukan pembelaan, barangkali mereka akan mengatakan: “Jangan mentang-mentang wartawan, lalu bisa bebas masuk seenaknya.” Bagaimana pun, mereka para petugas keamanan itu sedang menjalankan tugas untuk memberikan jaminan keamanan gedung serta isinya. Mereka tak mau ambil risiko terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Apalagi mereka bertanggung jawab terhadap keamanan gedung bank sentral negara. Mereka pun berharap pekerjaannya dihormati.

Kebebasan atau kemerdekaan pers memang harus dihormati. Ia sebuah keniscayaan di alam demokrasi. Sebab, ia juga merupakan salah satu pilar tegaknya demokrasi. Namun, kebebasan pers bukan berarti pekerja jurnalistik itu diberikan status khusus yang kebal terhadap hukum atau peraturan apa pun. Mereka tidak diperkenankan menyalahgunakan profesi seperti disebutkan dalam Pasal 6 pada UU yang sama. Pada Pasal 2 juga dikatakan: “Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.”

Pasal yang mengatur tentang tindakan “menghambat atau menghalangi” seperti ditulis di atas terkadang dijadikan dasar untuk bebas dari hukum atau aturan tertentu. Cukup menunjukkan kartu identitas wartawan, masalah lewat. Tapi, tak semua aparat hukum membiarkannya. Seperti yang dialami seorang kawan yang berprofesi wartawan. Ia tak dapat menghindar dari hukum saat aparat kepolisian melakukan razia sepeda motor. “Kartu sakti”-nya saat itu tak lagi sakti meski ia sudah menunjukkannya pada sang polisi. “Memangnya kalau rumah kamu kemalingan, kamu bisa minta bantuan sama kartu pers itu,” ujar Pak Polisi seperti diceritakan kawan itu.

Banteng Moncong Putih Itu Muak di Luar Kandang Terus

Seorang pengamat politik mengaku muak melihat perilaku sejumlah elite politik belakangan ini. Tak jelas, mencla-mencle, tidak punya pendirian, mau ke sana, juga mau ke sini, terima tawaran dari sana, pun tak menolak tawaran dari sini. Kira-kira begitulah gambaran sederhananya.

Puncak kemuakan itu mungkin terjadi saat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mulai melakukan pendekatan terhadap Partai Demokrat (PD). Itu sebuah manuver yang tak disangka-sangka dan tak diduga sama sekali. Padahal, pemimpin masing-masing partai itu, Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono, ibarat air dan minyak. Susah disatukan.

Publik ingat betul bahwa sepanjang lima tahun terakhir, Banteng Moncong Putih itu tak pernah absen mengeritik kebijakan partai penguasa, yakni PD. Maklum, sang Banteng sedang berstatus sebagai partai oposisi. Megawati pun tak kurang galak melancarkan serangan terhadap Yudhoyono yang juga mantan rivalnya di Pemilu Presiden 2004 silam.

Saya ingat betul sebait kalimat yang lantang diucapkan Megawati di hadapan ribuan konstituennya di salah satu kota di Jawa Timur, beberapa waktu silam. “… Sekarang kalian bisa lihat, apakah si ‘Ganteng’ itu membuat perubahan di negeri ini? Tidak,” ujarnya. Tak ada media massa yang menulisnya. Tapi, saya paham, pernyataan itu sesungguhnya ditujukan pada Yudhoyono. Tak ada kesimpulan lain kecuali bahwa Yudhoyono, bagi Megawati, enggak banget.

Kini, Megawati “main mata” dengan Yudhoyono. Bahasa sederhananya, PDIP ingin bergabung dengan koalisi yang dimotori PD. Ia seakan lupa bahwa pada Jumat, 1 Mei lalu, dirinya telah menandatangani naskah kesepakatan Koalisi Besar bersama 7 parpol lainnya: Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Hanura, PKNU, PDS, PPNUI dan Partai Buruh. Padahal, tinta tandatangan itu belum juga kering. Ingatan publik pun masih segar.

Tak terang betul apa motifnya. Tapi, yang jelas, PDIP yang perolehan suaranya hanya 14,03 persen itu tak bisa mengajukan capres dan cawapres sendiri. Itu artinya, jalan bagi Megawati untuk menuju RI 1 mengalami kendala. Koalisi yang dijalin dengan Partai Gerindra untuk memperoleh tiket 20 persen syarat pengajuan capres-cawapres, mengalami jalan buntu.

Sang Banteng pun mulai berhitung. Tiket susah diraih. Koalisi tak ada kemajuan. Melawan Yudhoyono sepertinya bukan lagi ide cerdas. Kekalahan untuk kedua kalinya sudah tampak di depan mata. Sampailah pada kesimpulan bahwa tak mungkin lagi terus berada di luar kekuasaan menjadi oposisi yang tak mendapatkan apa-apa. Banteng Moncong Putih itu cukup muak terus berada di luar kandang selama lima tahun. Sementara, ia sangat tahu rumput di dalam kandang lebih hijau daripada di luar.

Sampai pula pada satu keputusan, ketua umumnya tak lagi jadi presiden, tak masalah, asalkan masih bisa menikmati kue kekuasaan. Konon, datanglah tawaran cukup menggiurkan bagi sang Banteng yang akan diberi 5-7 kursi menteri jika mau bergabung dengan PD. Alhasil, (terancam) buyarlah koalisi besar itu.

Adagium yang menyatakan bahwa dalam politik, tak ada kawan abadi, juga tak ada lawan abadi, tampaknya memang selalu terbukti. Sekarang menjadi kawan, esok bisa jadi lawan. Begitu juga sebaliknya. Benar pula ungkapan para elite itu bahwa sesuatu yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin saat bertemu pada satu kepentingan yang sama. Selama alasan 'demi kepentingan yang lebih besar' itu bukan barang haram, tak ada masalah jika mau mencla-mencle.

Ideologi Tak Pernah Mati

Media Indonesia edisi Selasa, 28 April 2009, menurunkan editorialnya tentang kecenderungan tamatnya ideologi. Fenomena koalisi antar-parpol menjelang Pemilu Presiden yang dijalin tak berdasarkan kesamaan ideologi disebut merupakan bukti paling nyata. Hal serupa terlihat pada Pemilu Legislatif yang digelar pada 9 April lalu.

“Gejala umum yang muncul ke permukaan adalah pengelompokan parpol-parpol dalam koalisi tidak lagi terikat kepada kesamaan ideologi. Partai-partai atau tokoh-tokoh yang berbeda secara ideologis ternyata tidak memiliki hambatan berkoalisi untuk mengusung kepentingan yang sama.” Demikian ditulis Media Indonesia. Kesimpulan atas editorial tersebut mungkin terilhami tesis "The End of Ideology" yang dikemukakan Sosiolog terkemuka dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, Daniel Bell, tahun 1962. Tesis itu menjelaskan realitas bahwa ideologi mati karena keinginan orang-orang untuk mencapai titik ekstrem kebesaran ideologi ternyata tidak tercapai.

Sebagian kalangan memercayai tesis tersebut. Dalam beberapa kesempatan diskusi, tak jarang pula diperbincangkan fenomena minimnya peran ideologi dalam proses politik di Tanah Air, terutama sekali dalam Pemilu. Pemilih yang menggunakan hak pilihnya disinyalir tak lagi mendasarkan pilihannya menurut ideologi yang diyakini. Demikian pula sebaliknya. Partai politik (parpol) terlihat tak lagi “menjual” ideologi untuk menggaet simpati pemilih. Tapi, benarkah fenomena tersebut dapat dikatakan bahwa ideologi telah mati?

Sebelum ditemukan jawabannya, sebaiknya diketahui terlebih dahulu pengertian ideologi itu. Raymond William (1985) bertutur, tak ada batasan pasti tentang istilah ideologi. Bahkan, katanya, dalam tradisi marxis—sebuah tradisi yang paling kaya mengenai ideologi—kata ideologi memiliki tiga pengertian umum: sistem khas keyakinan-keyakinan suatu kelompok atau kelas tertentu; sistem keyakinan ilusif—gagasan-gagasan atau kesadaran palsu yang dikontraskan dengan pengetahuan ilmiah, proses umum produksi makna dan gagasan.

Namun demikian, melihat pengertian ideologi seperti diungkapkan beberapa tokoh, kiranya cukup membantu. Ada banyak pengertian ideologi. Beberapa di antaranya, diungkapkan Gregory Brossman. Menurut dia, ideologi adalah kumpulan ide yang merupakan: (1) refleksi atas kondisi sosial tertentu; (2) cita-cita sosial yang hendak diperjuangkan atau dipertahankan.

Ali Syariati menulis lain. Ideologi, katanya, mengacu pada keyakinan yang dipeluk oleh kelompok atau kelas sosial tertentu dengan latar sosial dan kultural tertentu. Faktor yang paling menentukan seseorang memeluk ideologi, tulis dia, adalah keyakinan. Keyakinan merupakan faktor yang paling pokok.

Penulis lebih menyukai menggunakan pengertian pertama. Jika digunakan pada konteks perpolitikan nasional, pengertian tersebut dapat dimaknai bahwa ideologi adalah hasil refleksi atas situasi sosial dan politik. Ia berbentuk seperangkat keinginan atau cita-cita yang hendak diperjuangkan atau harus dipertahankan.

Dari pengertian tersebut, dapat dipahami cukup jelas bahwa tak mungkin ada suatu bangsa, masyarakat atau kelompok tertentu yang tak memiliki ideologi yang merupakan cita-cita yang hendak diperjuangkan atau harus dipertahankan itu. Demikian pula halnya dengan parpol. Tampak atau tidak tampak, sedikit atau banyak, ia mesti memiliki ideologi. Sebab, hanya dengan ideologi itu, ia bisa memperjuangkan atau bahkan mempertahankan visi dan misinya.

Ideologi ada karena ada cita-cita atau keinginan. Cita-cita atau keinginan itu ada karena ada manusia yang memikirkan tentang sesuatu diidealkan menurut dia. Jika dikatakan ideologi telah mati atau tamat riwayatnya, maka di saat yang sama, tamat pula riwayat manusia. Jika ada parpol yang disebut tak berideologi, maka saat itu pula parpol tersebut telah mengalami kematian. Meski demikian, ideologi itu sendiri tak pernah mati karena manusia selalu berusaha merefleksikan situasi sosialnya untuk kemudian dia wujudkan hasil refleksi itu dalam sebuah cita-cita yang harus diperjuangkan atau dipertahankan keberadaannya.

Bagaimana dengan fenomena parpol yang cair yang berkoalisi tanpa didasarkan pada kesamaan ideologis? Bagi penulis, hal itu adalah fenomena sesaat tak mungkin berlangsung selamanya. Kenyataan tersebut tentu tak dapat dikatakan sebagai fenomena tamatnya riwayat atau kematian ideologi. Kepentingan pragmatis lebih mengemuka pada Pemilu kali ini, yakni tidak lebih dari sekedar proses bagi-bagi kekuasaan. Dapat pula dikatakan bahwa hal itu merupakan strategi gabungan beberapa parpol satu untuk melawan atau menyaingi gabungan parpol lainnya.

Di kubu koalisi Partai Demokrat (PD), misal. Koalisi yang mengusung Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon presiden (capres) itu diisi Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Bulan Bintang dan Partai Damai Sejahtera—belakangan disebut-sebut juga Partai Persatuan Pembangunan bakal segera bergabung. Empat parpol pertama, sama-sama berbasis massa Islam, namun berbeda ideologi. Parpol yang disebut keempat, sangat jauh berbeda karena ia merupakan parpol berbasis massa Kristen. Penulis sangat yakin bahwa cerita koalisinya pasti sangat berbeda jika PD tak mencapreskan Yudhoyono yang merupakan Presiden RI dan sejak awal disebut-sebut tokoh paling populer dibanding tokoh lainnya.

Fenomena cairnya ideologi parpol juga tidak terlepas dari pengaruh ketokohan yang sangat dominan. Akibatnya, ideologi menjadi dikesampingkan—setidaknya untuk sementara waktu. Sebut saja sebagai contoh: Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, Wiranto, Prabowo Subianto. Mereka merupakan tokoh partai yang perannya sangat dominan di dalam partainya masing-masing. Beberapa ada pula yang nama tokohnya jauh lebih dikenal dibanding partainya.

Tak hanya itu. Perkembangan politik nasional beberapa tahun belakangan menunjukkan bahwa telah terbangun jarak yang cukup jauh antara parpol dengan rakyat atau bahkan dengan konstituennya sendiri. Dapat dikata, parpol bekerja hanya lima tahun sekali, tepatnya menjelang dan saat Pemilu. Ingatan rakyat atau konstituen parpol, terbangun hanya saat Pemilu. Akibatnya, proses identifikasi diri mereka (rakyat) pada parpol yang dipercaya dapat memperjuangkan nasibnya, terjadi hanya saat itu, selebihnya mereka lupa. Akibatnya pula, mereka melupakan ideologi itu dan lebih mengingat tokoh.

Namun, sekali lagi, fenomena tersebut adalah fenomena sesaat dan tak akan berlangsung selamanya. Pada titik tertentu, parpol akan kembali melihat betapa pentingnya ideologi itu. Pada titik tertentu pula, mereka akan kembali merefleksikan situasi sosialnya untuk dirumuskan dalam sebuah ideologi. Ideologi itu, pada akhirnya nanti, akan menjadi ruh yang menggerakkan parpol.

Pada saat itu, seperti dikatakan Syariati, ideologi akan menjadi praksis yang mencakup strategi, taktik, tahapan-tahapan, metode-metode gerakan untuk mengubah realitas sosial sesuai cita-cita ideologisnya. Di saat yang sama, ideologi memberi energi, inspirasi, keyakinan, dorongan, cita-cita penganutnya sebagai dasar perubahan dan kemajuan kondisi sosial yang diharapkannya.