Tak Perlu Otak Einstein untuk Gunakan Smartphone

Ilustrasi smartphone. (Sumber: Dreamstime.com)




Rabu petang, 3 Oktober 2012, barangkali menjadi petang tersibuk bagi pengguna smartphone (ponsel pintar) Blackberry di Indonesia. Gadget mereka diserang pesan-pesan bohong, yang masuk secara bertubi-tubi melalui fitur Blackberry Messenger, beberapa saat setelah layanan tersebut pulih dari error sejak siang.

Isi pesan yang mengatasnamakan RIM (produsen Blackberry) itu semua serupa, begini:

"Pesan ini untuk menginformasikan semua pengguna kami, bahwa server kami baru saja benar-benar penuh, jadi kami meminta bantuan Anda untuk memperbaiki masalah ini.

Kita perlu pengguna aktif kami untuk mengirim ulang pesan ini ke semua orang di daftar kontak Anda untuk mengkonfirmasi pengguna aktif kami yang menggunakan BlackBerry Messenger, jika Anda tidak mengirim pesan ini ke semua kontak BlackBerry Messenger Anda maka account Anda akan ditetapkan tidak aktif dengan konsekuensi dari kehilangan semua kontak Anda.

Simbol akan meng-update otomatis dalam BB Anda, ketika Anda menyiarkan pesan ini. Blackberry Anda akan diperbarui dalam waktu 24 jam itu akan memiliki baru lay out dan warna baru untuk chatting.

Dear Blackberry pengguna, Kita akan melakukan update untuk BBM dari 11:00 sampai 05:00 ini ke hari.

Anda jika Anda tidak mengirimkan ini ke semua kontak Anda memperbarui Anda akan dibatalkan dan Anda tidak akan diizinkan untuk chatting dengan kontak Anda sebagai Anda memiliki version.If pic lama tampilan Anda tidak akan berubah, itu karena 'Blackberry 'adalah memperbarui, silahkan kirim pesan ini ke semua kontak.


Bukan broadcast sembarangan Ini serius!! Bisa di cek"

Pesan tersebut tidak dikirim RIM pada para pengguna Blackberry melainkan oleh orang per orang melalui fasilitas broadcast message (mengirim pesan ke seluruh kontak Blackberry Messenger secara bersamaan). Dapat dibayangkan dengan mudah betapa peristiwa massal pada petang itu begitu masif. Jika seseorang memiliki 100 kontak Blackberry Messenger pada gadget-nya dan melakukan broadcast message ke semua, lalu masing-masing penerima melakukan hal yang sama, maka yang terjadi adalah semacam serangan wabah menular: satu terjangkit, menular ke yang lain, lalu menjangkiti yang lain, dan pada akhirnya menjadi epidemi.

Peristiwa sejenis bukan yang pertama. Sebelum-sebelumnya sudah pernah dan bahkan sering terjadi, dan tampaknya hanya pada pengguna Blackberry. Selain gratis (tidak dipungut biaya per pengiriman pesan), fitur Blackberry Messenger memang paling efektif untuk mengirimkan pesan ke banyak kontak dalam waktu bersamaan, yakni dengan fasilitas broadcast message itu.

Sayangnya, bagi sebagian orang, pesan-pesan semacam itu cukup mengganggu, dan bagi sebagian yang lain amat-sangat mengganggu. Situasinya tentu saja lebih dari sekadar mengganggu jika pesan-pesan berantai itu sudah diketahui tidak benar alias kabar bohong.

Memang, dibutuhkan waktu tidak lebih semenit untuk membaca atau sekadar memeriksa pesan tersebut, dan lalu segera memutuskan untuk diabaikan saja. Anggap saja setengah menit alias tiga puluh detik. Tapi, coba bayangkan jika ada 100 kontak yang mengirimkan pesan serupa, maka lima puluh menit sudah terbuang sia-sia hanya untuk itu. Bayangkan lagi jika ada 200 atau bahkan 500 kontak, dan seterusnya.

Sesungguhnya tak perlu menjadi pakar teknologi informasi atau telematika layaknya Roy Suryo, kalau hanya untuk memastikan kebenaran informasi dari pesan Blackberry Messenger seperti kasus massal pada Rabu petang itu. Langkah paling gampang dan sederhana serta hampir semua orang bisa melakukannya adalah memeriksa situs resmi sang produsen gadget. Kalau tak tahu alamatnya, cek di Google. Jika memang ada masalah, otoritas Blackberry pastilah merilis pengumuman resmi.

Langkah paling sederhana lagi ialah dengan mengecek perkembangan termutakhir di media-media online. Tidak lama setelah layanan Blackberry Messenger kembali normal, media-media online terkemuka di Tanah Air sudah menulis pernyataan resmi dari otoritas RIM di Indonesia, yang mengungkapkan bahwa memang sedang terjadi gangguan pada server Blackberry untuk kawasan Asia Pasifik. Malahan, sebelum itu pun otoritas pemerintah Indonesia, yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika, sudah membuat pernyataan seputar peristiwa error pada layanan Blackberry Messenger, meski ketika itu belum diketahui sebabnya.

Keberadaan media sosial (social media) semacam Facebook dan Twitter juga tak kalah penting perannya dalam memperbarui informasi-informasi terkini. Pengguna Facebook, dan terutama pengguna Twitter, selalu update, sehingga tak ada alasan untuk mengatakan buta informasi. Lagi pula, rasa-rasanya, tak ada pemakai perangkat Blackberry yang tak memiliki akun Facebook dan/atau Twitter. Masalahnya memang digunakan/dimanfaatkan atau tidak. Itu saja.

Bagi yang tidak dapat mengakses internet, bisa juga dengan menyimak berita-berita di televisi (sekurang-kurangnya pada running text, yang memang difungsikan untuk informasi-informasi sekilas) atau melalui radio. Pembaruan (update) berita-berita di televisi maupun radio memang sedikit lebih lama dibanding media online. Tetapi meng-update informasi melalui televisi maupun radio tentu tindakan yang lebih pintar ketimbang menyebarkan berita bohong melalui broadcast message.

Singkat dan sederhananya adalah, banyak --bahkan terlalu banyak-- saluran informasi yang dapat diakses kalau sekadar untuk memastikan kebenaran sebuah pesan, seperti pesan berantai seputar layanan Blackberry Messenger itu. Hampir tidak ada alasan pembenar jika ada yang mengaku panik begitu menerima pesan-pesan seperti itu, dan lalu melakukan broadcast message. Alasan yang dapat ditoleransi ialah sedang dalam keadaan mabuk atau pingsan.

(Tak) harus pintar

Teknologi, apa pun bentuknya, pada prinsipnya diciptakan untuk memudahkan aktivitas manusia. Begitu pula dengan smartphone, apa pun nama, merek dan jenisnya, dirancang untuk membantu memudahkan atau menunjang aktivitas penggunanya. Ia memang didesain sedemikian rupa agar bisa dioperasikan semudah mungkin oleh siapa pun. Bocah lima tahun pun bisa mengoperasikannya. Karenanya, tak perlu otak secerdas dan sepintar otak Albert Einstein, fisikawan termasyhur abad ke-20.

Tetapi, untuk menjadi pengguna smartphone yang baik, memang dibutuhkan pengetahuan yang memadai, terutama untuk memanfaatkan atau memaksimalkan fitur-fitur di dalamnya bagi aktivitas sehari-hari. Sebab, tidak sedikit pengguna yang memiliki smartphone demi gaya, sehingga tak memanfaatkan fitur-fitur bergunanya, bahkan fitur-fitur standar semacam push mail (layanan email), browser, note, maps, GPS, dan lain-lain.

Lebih penting dari itu, pengetahuan yang memadai juga amat berguna untuk menjaga dan melindungi keamanan serta privasi pengguna. Sebab, hasil riset Juniper Networks, perusahaan keamanan, sebagian besar pengguna smartphone sering teledor dalam melindungi keamanan jaringan dan privasi mereka.

Menurut Juniper, sebanyak 72 persen para pengguna smartphone sering berperilaku tidak pintar dan justru mendatangkan bahaya, seperti terkoneksi ke jaringan Wi-Fi publik. Banyak responden yang mengaku bahwa mereka tidak tahu perbedaan jaringan Wi-Fi yang aman atau tidak aman. Padahal, Wi-Fi publik itu rawan spyware (perangkat lunak untuk pencurian data).

Riset Juniper dilakukan di Amerika, Inggris, Jerman, Cina dan Jepang. Ditemukan fakta bahwa sebanyak 76 persen dari 4.037 responden yang dilibatkan, mengatakan telah mengakses data-data sensitif melalui ponsel pintarnya untuk online banking, informasi kesehatan pribadi, dan data pekerjaan, serta data-data serius lainnya. Mereka juga tidak merasa ada masalah atau tidak peduli pada keamanan data-data mereka.

Entah, sudah ada atau belum survei serupa di Indonesia. Tapi, tampaknya, perilaku pengguna smartphone di Indonesia dan di lima negara yang disurvei Juniper itu tak jauh beda, bahkan mungkin lebih parah. Kasus serangan massal di Rabu petang itu adalah contoh ketidakpedulian mereka pada benar atau salah atas pesan-pesan yang disebarkan. Apalagi pada tingkat keamanan jaringan dan privasi mereka.


Baca juga:

Google Merevolusi Cara Belajar
Modus Baru Operator Seluler Nyopet Pelanggan
Lemparkan Saja Batunya ke Hacker!
Koalisi Besar versus Monster Gratisan

Google Merevolusi Cara Belajar

Ilustrasi cara belajar ala Google. (Sumber: Educationnews.org)



Andai internet sudah ada sejak berabad-abad lampau, pasti tidak pernah ada sekolah. Andai Google sudah ada sejak jaman pithecanthropus erectus, manusia modern tak bakal pernah mengenal universitas atau perguruan tinggi. Sebabnya, Google sudah menyediakan hampir semua ilmu pengetahuan bagi umat manusia.

Bagi sebagian orang, internet digunakan sekadar untuk menjalin koneksi dengan orang lain, dan Google berfungsi sebatas laman pencarian. Tapi, bagi sebagian yang lain, internet dan Google dimanfaatkan untuk berbagi ilmu pengetahuan serta menggali ilmu pengetahuan baru.

Rangkaian kata tersebut melintas begitu saja di otak, sesaat setelah berhasil meng-install GIMP, aplikasi olah gambar/foto semacam Photoshop, dan kemudian sukses mengoperasikannya dengan menjajal memanipulasi sebuah foto hingga lebih menarik dari semula. Hasilnya memang tak sebagus sentuhan desainer grafis profesional, tapi itu sudah cukup membanggakan.

Sesungguhnya yang membanggakan bukan hasilnya tetapi prosesnya: proses belajar dari nol pengetahuan tentang desain grafis hingga bisa. Tak ada guru atau instruktur khusus yang mengajari. Semua dipandu Google: mulai dari cara mendapatkan/mengunduh file aplikasinya (termasuk menentukan/menyesuaikan jenis aplikasi dengan jenis sistem operasi yang digunakan: OSX/iOS, Windows, Linux, Unix, Android, dan sebagainya), meng-install, hingga cara mengoperasikan aplikasi gratis tersebut.

Caranya hanya dengan mengetikkan kata kunci "how to get/downlod GIMP…", "how to install GIMP…", "how to use GIMP…", "how to create/make…on/in GIMP...", dan seterusnya, pada kolom pencarian Google. Lalu, hanya dalam hitungan detik, bermunculanlah ratusan bahkan ribuan tutorial yang siap di-klik dan dipelajari. Beberapa laman/blog bahkan ada yang mengklasifikasikan tutorialnya berdasarkan tingkat kemampuan: beginner (pemula), intermediate (menengah), dan professional/expert (ahli).

Kendala bahasa tak lagi jadi soal karena Google sudah menyediakan Google Translate. Jika menemui tutorial bagus tapi berbahasa asing, cukup meng-copy dan paste teksnya pada halaman Google Translate, dan sesuaikan dengan terjemahan bahasa yang diinginkan. Hasil terjemahannya memang cenderung sekadar menerjemahkan kata per kata sehingga seringkali tidak sesuai konteks. Tetapi, hal itu sudah lumayan membantu.

Jika malas membaca instruksi-instruksi pada tutorial yang berbentuk teks, di Google juga tersedia tutorial dalam bentuk video (kebanyakan dari Youtube) yang menampilkan cara-cara pengoperasian, tahap demi tahap, dari awal hingga akhir. Tutorial yang begini lebih gampang diikuti karena tanpa teks dan suara pun masih bisa menyimak videonya.

Cara semacam itu tentu tidak hanya dapat diterapkan pada pengetahuan teknis semacam desain grafis, tetapi juga pada bidang lain. Misal, cara memasak, merawat tanaman atau hewan peliharaaan, membuat ramuan tradisional untuk mengobati penyakit tertentu, memodifikasi atau mengutak-atik mesin sepeda motor/mobil, trik atau tips bermain alat musik, teknik menendang bola, dan lain-lain.

Mensin pencarian paling populer sejagat itu juga menyediakan tutorial memperbaiki komputer/notebook/ponsel yang rusak, mengutak-atik tampilan web/blog melalui HTML, membuat pemancar radio/televisi/internet nirkabel, membuat film independen, merekam musik, mendesain rumah idaman, dan masih (sangat) banyak lagi.

Tak hanya itu. Belakangan, muncul tren "kuliah online" (istilah karangan penulis) dari para dosen, profesor ternama atau pakar di bidang tertentu dari seluruh dunia. Gratis dan boleh bolos suka-suka. Cukup mengetikkan kata-kata tertentu pada kolom pencarian Google. Misal, "Steve Jobs Stanford Commencement Speech", atau "Bill Gates Speech at Harvard", atau "Philosophy Lecture: Justice", atau "Kuliah Umum Menteri BUMN RI - Dahlan Iskan", atau "Kuliah Umum: Asal-usul Kecerdasan Manusia oleh Dr Daoed Joesoef", dan sejenisnya. Google akan segera menampilkan video-video kuliah umum yang diunggah di Youtube.

Sejumlah akademisi dari beragam disiplin ilmu pengetahuan, terutama di Amerika Serikat dan Eropa, sengaja merekam kuliah regulernya di ruang-ruang kelas di kampusnya, dan mengunggahnya di Youtube. Seluruh dunia dapat menyimak kuliah tersebut tanpa harus berada di kelas sang dosen.

Terobosan baru dilakukan Universitas Harvard, Amerika Serikat. Ia, bekerja sama dengan MIT, membuka kelas gratis di internet yang bisa dinikmati pelajar di seluruh penjuru dunia. Kursus yang ditawarkan melalui edx itu memberikan kuliah melalui video, kuis online, dan pemeriksaan real-time. Siswa akan menerima sertifikat keahlian berdasarkan hasil belajar mereka.

Di Indonesia, kuliah semacam itu (mengunggah video kuliah di Youtube atau kuliah online ala Harvard) belum (terlalu) populer. Sebab, selain membutuhkan jaringan internet yang memadai, juga memerlukan perangkat-perangkat lain serta keterampilan tertentu, seperti teknik pengambilan gambar atau penyuntingan video, dan sebagainya. Tapi, itu hanya soal waktu: cepat atau lambat.

Bukan mustahil dan hanya soal cepat atau lambat pula, kelak anak-anak sekolah dasar untuk belajar membaca dan menulis, belajar menghitung, belajar menyanyi, belajar menggambar dan lain-lain, tidak perlu lagi ke sekolah melainkan cukup mengakses Google. Cara belajar mereka tentu akan jauh lebih variatif karena gurunya adalah umat manusia di jagat ini. Mereka dapat berinteraksi: berbagi pengetahuan maupun bertanya, kepada siapa pun. Mereka juga tak akan lagi menggambar gunung dengan satu warna hijau saja, karena pasti akan lebih banyak referensi untuk menggambar gunung.

Nah, jika sudah begitu, sekolah akan kembali pada fungsi semula, yakni kegiatan di waktu luang bagi anak-anak di tengah-tengah kegiatan utama mereka: bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa kanak-kanak dan remaja. Sebab, kata sekolah yang berasal dari bahasa Latin: skhole, scola, scolae atau skhola, memiliki arti waktu luang atau waktu senggang. Dengan demikian, bersekolah akan menjadi aktivitas yang menyenangkan, sama seperti bermain.

Bukan hanya itu. Proses belajar, dalam konsep pendidikan yang membebaskan, seperti dikatakan Paulo Freire, bukan seperti sistem bank --sebagaimana terjadi sekarang-- yang menganggap peserta didik sebagai tabungan yang akan selalu menerima ilmu dari guru. Dalam proses ini, guru dianggap paling mengerti sedangkan siswa tidak tahu apa-apa. Ruang-ruang kelas membelenggu jiwa bebas dan pikiran mereka.

Freire menyatakan konsep pendidikan problem posing education (pendidikan hadap masalah), yakni guru berperan sebagai teman murid yang memotivasi untuk berpikir kritis. Hal yang demikian penting dalam sudut pandang pendidikan yang membebaskan, agar manusia menjadi tuan dalam pemikirannya sendiri, dengan berdiskusi tentang pikiran dan pandangannya tentang dunia dengan orang-orang di sekitarnya. Belajar ala Google sangat memungkinkan terjadinya hal itu, karena ia melibatkan interaksi seluruh manusia dari beragam bangsa dan negara.

Bagi orang dewasa pun, belajar akan lebih mengasyikkan sekaligus menantang. Tidak perlu ke kampus atau masuk ruang-ruang kelas untuk kuliah, aktivitas yang bagi para pekerja cukup menyita waktu. Sembari menjalankan pekerjaan, iseng-iseng berselancar di Google mencari tutorial mendesain interior rumah atau tutorial memperbaiki kompor gas yang rusak. Atau, bereksperimen membuat reaktor nuklir sederhana sebagai alternatif kebutuhan listrik di rumah. Bukan mustahil.


Baca juga:

Lemparkan Saja Batunya ke Hacker!
‘Koalisi Besar’ versus ‘Monster Gratisan’
Mengenal Tuhan Media
Modus Baru Operator Seluler Nyopet Pelanggan