Menimbang MUI

Majelis Ulama Indonesia atau biasa disingkat MUI. Debutnya dimulai pada 1975. Lembaga ini didirikan sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan muslim yang datang dari berbagai penjuru Tanah Air. Tujuan utamanya adalah membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia.

Lembaga yang menghimpun para ulama ini tak ada hubungannya dengan pemerintah, bukan pula lembaga negara semacam departemen, kementerian, komisi, mahkamah atau apa pun. Dengan demikian, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah, tak ada alokasi untuk MUI.

Ia adalah organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam layaknya Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah atau Persatuan Islam (Persatuan Islam). Kepengurusannya pun tersebar di seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Tanah Air. Bedanya, meski tergolong ormas, MUI tak punya massa. Dapat dibandingkan dengan ormas macam NU yang massanya lebih dari 70 juta.

Di awal pendiriannya, terdapat 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al Washliyah, Math’laul Anwar, dan lain-lain. Unsur-unsur itulah yang memunculkan kesan selama ini bahwa kedudukan MUI berada di atas ormas-ormas itu. Padahal, tidaklah demikian. Kedudukannya ”setara” (sebetulnya enggak setara, sih) dengan ormas Islam lainnya.

Tujuan pendiriannya pun tidak bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi organisasi suprastruktur yang membawahi ormas-ormas Islam lainnya, dan apalagi memosisikan dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili kemajemukan dan keragaman umat Islam.

Namun, kiprahnya yang kerap kontroversi itu menjadikan MUI cukup ”populer” di kalangan publik dan ”diperhitungkan”. Fatwa-fatwanya sering kali memicu reaksi pro dan kontra. Barangkali yang diingat publik tentang MUI adalah fatwa haramnya.

Namanya semakin ”bersinar” (setidaknya) sejak era reformasi, terutama saat MUI mulai gencar menyoroti maraknya sekte-sekte atau aliran keagamaan dalam Islam. Bahkan, Presiden ke-6 negeri ini pun sempat menunggu sikap MUI saat pemerintah hendak memutuskan status aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah pimpinan Ahmad Moshadeq pada November 2007 silam.

Peran MUI terasa semakin besar. Tidak saja mengeluarkan fatwa halal-haram sebuah produk, tapi juga menghakimi sebuah paham atau ajaran. Lembaga tersebut begitu mudah memutuskan dan mengeluarkan “fatwa sesat” terhadap sebuah aliran yang dinilai menyimpang. Ia seakan memiliki kewenangan untuk mengeluarkan veto sesat atau tidak sesat.

MUI tak sama dengan mufti di Arab Saudi yang statusnya sebagai majelis fatwa, bukan ormas. Tapi, mereka pun mengeluarkan satu fatwa setiap tahun. Berbeda dengan MUI yang bisa mengeluarkan belasan fatwa dalam satu tahun. Itu pun fatwanya haram semua.

Kini, lembaga tersebut menghakimi rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara ini. Fatwa itu, haram hukumnya, atau berdosa dan masuk nerakalah setiap warga negara Indonesia yang muslim yang golput atau tidak menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum. Jika sudah begini, batal sudah adagium yang menyatakan: ”Suara rakyat adalah suara Tuhan”. Yang ada saat ini adalah ”Suara MUI adalah suara Tuhan”.

Tirani Demokrasi

Tingkat golput atau jumlah masyarakat yang tidak menggunakan hak pilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 diperkirakan sangat tinggi. Demikian alasan Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga menetapkan hukum haram golput.

Barangkali kita dapat memahaminya sebagai jawaban atas kekhawatiran tingginya angka golput. Karena, jika kekhawatiran itu benar-benar terjadi, maka hasil pesta demokrasi berbiaya tinggi itu—para anggota DPR dan presiden dan wakil presiden—tentu tak akan mendapatkan legitimasi yang kuat dari rakyat.

Banyak tanda-tanda yang menjadi alasan kekhawatiran itu, di antaranya, rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam sejumlah pilkada (pemilihan kepala daerah) di Indonesia. Angka rata-ratanya mencapai 27 persen.

Namun, barangkali MUI tak menyadari bahwa rendahnya tingkat partisipasi masyarakat, sama sekali tak menggugurkan keabsahan apa pun hasil dari pemilu. Secara hukum, parlemen atau anggota DPR hasil pemilu tetap konstitusional.

Secara hukum pula, presiden dan wakil presiden hasil pemilu itu beserta para menterinya pun dapat bekerja bekerja sebagaimana mestinya. Hanya tidak mendapatkan legitimasi politis yang kuat dari rakyat.

Angka golput, seberapa pun tingginya, bukan tak akan melahirkan pemimpin negara. Presiden serta wakil presiden sebagai pemimpin bangsa dan negara tetap ada. Jadi, sesungguhnya, tak ada alasan bagi MUI untuk mengkhawatirkan tidak adanya pemimpin jika angka golput tinggi.

Kurangnya legitimasi terhadap pemerintahan sebagai akibat rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilu, tentu adalah sebuah masalah. Pemerintahan tak akan berjalan efektif jika tidak mendapat dukungan penuh dari seluruh rakyat. Presiden dan wakil presiden terpilih pun mesti akan merasa tak nyaman dalam bekerja.

Namun, mengatasinya bukan dengan cara memaksa rakyat untuk memilih. Sebab, fatwa haram tersebut sama halnya dengan memberikan satu pilihan saja kepada rakyat, yakni tidak boleh golput. Padahal, demokrasi yang diagung-agungkan itu sejatinya adalah kebebasan, termasuk kebebasan memilih, dipilih atau tidak memilih alias golput.

Jika rakyat sebagai pemegang kedaulatan itu tidak memiliki kebebasan memilih, dipilih atau bahkan tidak memilih, maka terjadi sebuah tirani baru, yakni tirani demokrasi. Artinya, mengaku menjalankan sistem demokrasi namun di saat yang sama justru memasung kebebasan rakyatnya.

Fatwa haram golput itu tampaknya juga didasari pemahaman bahwa demokrasi sebatas kuantitas dan formalitas. Demokrasi dimaknai sekedar 50 plus 1. Demokrasi diartikan hanya menang dan kalah dalam hal suara. MUI sepertinya tak mempertimbangkan bahwa kesadaran rakyat dalam berdemokrasi adalah hal yang jauh lebih penting.

Jika hanya demokrasi formalitas yang dipahami, maka bangsa ini pun sudah mengalaminya, terutama saat rezim Orde Baru. Bedanya, saat itu, tirani itu dilakukan oleh tangan negara. Pada masa itu, demokrasi dalam pengertian sebatas penyelenggaraan pemilu dilaksanakan. Namun, rakyat tak memahami sekaligus tak merasakan manfaatnya.

Jangan Malu Mengklaim!

Oktober tahun lalu, sebuah partai politik yang sedang naik daun di negeri ini, meluncurkan iklan politiknya di sejumlah televisi nasional. Protes bermunculan lantaran dalam iklan tersebut ditampilkan sosok ulama, pahlawan nasional, yang juga panutan sebagian kalangan muslim. Intinya, parpol pembuat iklan yang sarat muatan politis itu dinilai “mengklaim” sosok ulama tersebut adalah “miliknya”.

Belakangan, muncul iklan politik yang topik besarnya seputar klaim mengklaim. Pembuatnya adalah parpol penguasa. Dalam iklan politiknya, ditampilkan prestasi tokoh utama parpol tersebut yang berhasil dalam penyelesaian sejumlah konflik di Tanah Air. Konflik Ambon, Poso, Aceh (Gerakan Aceh Merdeka), semua selesai diklaim sebagai jasa tokoh utama parpol tersebut.

Parpol pemerintah lainnya juga tak mau kalah. Mereka, dalam iklan politiknya pula, mengklaim bahwa penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan prestasi tokoh utama parpolnya. Disebutkan bahwa sang tokoh yang kini menjadi orang nomor satu di Indonesia itu telah tiga kali menurunkan harga BBM. ”Diturunkan. Diturunkan. Diturunkan lagi.” Demikian diucapkan sang bintang iklan tersebut.

Memang, tak ada undang-undang atau peraturan yang melarang hal tersebut. Urusan klaim mengklaim dalam politik tak akan berisiko tinggi layaknya mengklaim sebuah hak cipta. Toh, sesuatu yang diklaim pun tak pernah dipatenkan milik seseorang atau kelompok tertentu. Momentum menjelang pemilihan umum seperti sekarang, semua hal bisa dan wajar jika dijadikan komoditas politik yang laku untuk diperdagangkan.

Tentu, bukan di situ masalahnya. Ini semata persoalan moral atau etika. Dan, hal itu sejatinya jauh lebih penting dari segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum. Saya dan Anda pun tak mungkin rela jika pekerjaan yang dikerjakan bersama-sama kemudian hasilnya diklaim sebagai hasil kerja orang lain. Seperti dalam banyak kasus, klaim mengklaim itu justru melemahkan ikatan kebersamaan. Akibatnya, tak ada lagi komitmen, tak ada lagi kerja sama, tak ada lagi tanggung jawab bersama.

Bangsa dan negara ini tidak didirikan di atas klaim satu kelompok atau golongan tertentu. Kemerdekaan diraih atas kerja sama dan persatuan semua komponen bangsa. Saya sangat tidak yakin Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa bertahan hingga kini jika, misal, kalangan muslim mengaku paling berjasa atas berdirinya negara ini. Saya pun sangat yakin, para pendiri negeri ini tak pernah mengajarkan untuk saling mengunggulkan diri maupun kelompoknya.

Mungkin, para elit politik itu telah mengambil pelajaran dari tingkah negeri tetangga yang telah mengklaim sebagian tradisi dan kebudayaan dari negeri ini. Klaim atas sebuah pulau yang dilakukan negeri tetangga yang serumpun itu pun jadi inspirasi. Pikir mereka, mengklaim sama sekali tak berisiko. Tak ada hukum yang dapat menjerat perbuatan klaim mengklaim terkait persoalan politik. Paling banter cuma diprotes, tidak lebih. Jadi, janganlah malu mengklaim!

Israel Negeri Rasis, Palestina Bangsa Pecah-Belah

Perang 22 hari itu telah berakhir (semoga untuk selamanya). Apa yang didapat? Banyak. Palestina (baca: Jalur Gaza) kehilangan lebih dari 1.300 warga, termasuk di antaranya adalah anak-anak dan perempuan. Dan, lebih dari 5.500 orang cedera, kebanyakan juga adalah perempuan dan anak-anak.

Perang tersebut lebih tepat disebut pembantaian etnis Palestina dibanding sebagai upaya menghancurkan kekuatan Hamas sampai ke akar-akarnya. Buktinya, serangan yang telah mengakibatkan kerugian material bagi Gaza senilai Rp 5 triliun itu tak mampu membungkam Hamas.

Mengklaim terbunuhnya salah satu petinggi Hamas, Nizar Rayan, dalam perang tersebut sebagai salah indikator keberhasilan? Boleh saja. Namun, Israel tentu sangat sadar bahwa Hamas bukanlah Nizar Rayan seorang.

Tampaknya, agresi bertajuk Operation Cast Lead itu memang merupakan bagian dari upaya menghabisi etnis Palestina di Tanah Air-nya. Operasi itu menjadi petunjuk yang selaras dengan cita-cita pendirian negara Israel yang ditancapkan gerakan Zionisme.

Sebagaimana diketahui bahwa Zionisme merupakan gerakan yang muncul pada abad ke-19. Tujuannya mendirikan sebuah negara Yahudi di tanah Palestina yang kala itu dikuasai Kekaisaran Ottoman (Khalifah Ustmaniah) Turki.

Dari tujuannya saja, Zionisme Israel yang tidak lain gerakan kaum Yahudi internasional itu sudah sangat rasis, sarat kepentingan diskriminasi ras. Bagaimana tidak dapat disebut seperti itu jika sebuah negara didirikan hanya untuk etnis atau penganut agama tertentu, dalam hal ini, Yahudi.

Yahudi, bagi para orang-orang Yahudi yang menjadi ideolog utama Zionisme, bukanlah agama, melainkan nama suatu ras. Mereka meyakini bahwa masyarakat Yahudi mewakili suatu ras tersendiri dan terpisah dari bangsa-bangsa Eropa. Karenanya, mustahil bagi orang Yahudi untuk hidup bersama mereka, sehingga bangsa Yahudi memerlukan Tanah Air tersendiri bagi mereka. Maka, dipilihlah tanah Palestina sebagai Tanah Air-nya.

Hingga saat kemunculan Zionisme di Timur Tengah, ideologi ini tidak mendatangkan apa pun selain pertikaian dan penderitaan. Dalam masa di antara dua Perang Dunia, berbagai kelompok teroris Zionis melakukan serangan berdarah terhadap masyarakat Arab dan Inggris. Pada 1948, menyusul didirikannya negara Israel, strategi perluasan wilayah Zionisme telah menyeret keseluruhan Timur Tengah ke dalam kekacauan.

Nah, bagaimana dengan Palestina? Negara dengan empat juta kelompok etnis itu di dalamnya terdapat dua faksi politik: Hamas dan Fatah. Sama-sama memperjuangkan Palestina merdeka, namun jalur yang ditempuh berbeda. Hamas meyakini bahwa melalui perjuangan bersenjatalah, kemerdekaan bangsanya dapat diraih. Sedangkan Fatah yang sebelumnya dipimpin Yasser Arafat lebih mengutamakan jalur diplomasi.

Keduanya tak pernah akur, ribut melulu. Sampai-sampai saya menganalogikannya serupa dengan barang pecah-belah. Gampang sekali pecah. Sudah berhati-hati pun, kalau yang namanya barang pecah-belah, tetap saja gampang pecah dan membelah.

Perseteruan Hamas dengan Fatah dimulai sejak 1993. Pada Agustus tahun itu, Arafat berunding dengan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin. Hasilnya adalah Deklarasi Oslo dengan penarikan seluruh militer Israel dari Tepi Barat dan Jalur Gaza serta pengakuaan Arafat terhadap negara Israel. Hamas tidak menyetujui perjanjian itu.

Pada 2006, Hamas memenangkan pemilu dengan meraih 76 dari 132 kursi dalam pemilihan anggota parlemen Palestina. Lalu, sejak awal Februari 2007, Hamas terlibat konflik dengan kelompok Fatah akibat kekalahan kelompok Fatah di pemilu parlemen. Pertikaian itu merupakan yang paling berdarah selama pertikaian terjadi.

Fatah dinilai Hamas terlalu kompromis dengan Israel dan disebut-sebut disokong Amerika Serikat. Fatah, di mata Hamas, telah dan selalu melakukan perundingan yang sia-sia dengan Israel. Sebaliknya, Fatah pun tidak akan mendukung Hamas karena pada sisi lain, Barat dan para donor memboikot mereka lantaran dianggap kelompok teroris. Lengkap sudah.

Persatuan negara-negara Arab untuk membantu perjuangan rakyat Palestina tentu tidak kecil artinya. Tapi, itu perkara kedua, ketiga atau keduapuluhtujuh. Urusan pertama yang harus diselesaikan Palestina adalah persatuan mereka sendiri. Bagaimana orang lain mau membantu kalau kerjaannya ribut melulu. Mengusir Israel dari tanahnya itu ”pekerjaan sambilan” setelah semua padu dalam satu kekuatan utuh.

Hamas, selain disebut kelompok militan, juga terlalu keras kepala dan antikompromi. Kekeraskepalaan itu dapat dilihat beberapa saat setelah Israel mengumumkan gencatan senjata (sepihak) di Gaza setelah agresi 22 hari tersebut. Sudah tahu bahwa lebih dari 1.300 rakyat Gaza tewas dan infrastrukturnya luluh lantak, masih saja menantang Israel.

Hamas sangat tahu bahwa rakyatnya begitu membutuhkan bantuan makanan dan obat-obatan, tapi masih saja menolak gencatan senjata—meski beberapa hari kemudian diterima juga. Gencatan senjata yang dilakukan Israel memang tetap tak menguntungkan Hamas, tapi mbok ya dipikirkan juga nasib 1 juta lebih rakyat Gaza yang masih hidup itu.

Harga BBM dan Tarif Kos-kosan

Akhir tahun lalu, pedagang gado-gado langganan saya memasang pengumuman pada selembar kertas di gerobak dagangannya, demikian: “Mulai 1 Januari (2009), harga Gado-Gado naik menjadi Rp 7000.” Harga tersebut berarti naik Rp 1000 dari harga sebelumnya, yakni, Rp 6000.

Siang tadi (13 Januari 2008), saya bertanya kepada sang pedagang perihal kenaikan harga Gado-Gado yang ditetapkannya dengan penurunan harga bahan-bakar minyak (BBM) yang dilakukan pemerintah mulai 15 Januari 2009.

Ah, enggak pengaruh, Mas. (harga) BBM memang turun, tapi harga yang lain enggak turun, kayak angkot (biaya transportasi atau tarif angkutan umum) dan bahan kebutuhan pokok lainnya,” jawab si Abang—begitu saya biasa memanggilnya.

Saya memilih tak mendebatnya. Pasalnya, pada kenyataannya memanglah demikian. Biaya transportasi dan sebagian harga kebutuhan bahan pokok di pasaran juga belum mengalami penurunan (secara signifikan)—meski penurunan harga BBM baru dua hari lagi.

Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta, misalnya. Ia masih bertahan dengan tarif lama. Alasannya, BBM hanya 1 komponen dari 12 komponen perhitungan tarif angkutan umum. Komponen lain yang menjadi pertimbangan adalah harga suku cadang.

Sederhananya (barangkali), Organda mau mengatakan bahwa jika pemerintah menggratiskan BBM pun, tarif angkutan umum tidak serta-merta turun atau bahkan gratis juga. Semua bergantung pada 12 komponen itu yang dua di antaranya adalah harga BBM dan harga suku cadang.

Konon, BBM berkontribusi 30-40 persen pada tarif angkutan. Pungli (pungutan liar) dan retribusi mencapai 15 persen. Sedangkan suku cadang sebesar 20-25 persen, belum termasuk suku cadang lain seperti ban.

Kalau pun harus turun, Organda menyatakan hanya bisa memperkirakan penurunan tarifnya sekira 5 persen. Lho, kok enak? Bukannya pemerintah memutuskan bahwa penurunan tarif angkutan sekitar 10 persen. 10 persen besaran penurunan tersebut juga berlaku untuk harga lainnya, seperti, daging sapi, minyak goreng, harga susu, dan obat-obatan.

Angka 10 persen itu, bagi saya, sebetulnya sudah merupakan angka yang sangat toleransi. Artinya, pemerintah pun tak ingin pengusaha jasa angkutan umum merugi akibat dituntut menurunkan tarifnya. Padahal, kalau dihitung-hitung, total penurunan harga premium sudah sebesar 25 persen. Harga premium per 15 Januari yang Rp 4.500 itu sudah kembali ke posisi harga sebelum Oktober 2005, yakni sebelum pemerintah menaikkan harga premium langsung ke Rp 6.000 per liter.

Dengan posisi harga baru premium, pemerintah telah menurunkan harga sebanyak dua kali, yakni dari Rp 6.000 per liter ke Rp 5.500 per liter pada 1 Desember 2008, dan kemudian diturunkan ke posisi Rp 5.000 per liter pada 15 Desember 2008, lalu terakhir menjadi Rp 4.500 pada 12 Januari 2009.

Sedangkan solar, penurunan harga kumulatifnya sejak 15 Desember 2008 telah mencapai 18,2 persen. Harga solar yang sebelumnya Rp 4.800 turun menjadi Rp4.500 atau turun 18,2 persen sejak 1 Desember 2008.

Nah, kalau Organda masih bertahan dengan tarif lama atau tarif baru dengan besaran penurunan maksimum 5 persen, maka sangat keterlaluan. Sebab, dalam dua kali (1 Desember 2008 dan 15 Desember 2008) penurunan harga BBM, Organda sama sekali tak melalukan hal serupa pada tarif angkutan umumnya.

Jangan menuntut masyarakat dapat memahami harga suku cadang yang saat ini entah naik, turun atau tetap. Sebab, Organda diam saja saat pemerintah dua kali (tiga kali saat 15 Januari nanti) menurunkan harga BBM. Hal yang ingin diketahui masyarakat adalah jika harga BBM turun, maka tarif angkutan umum pun turun.

Masyarakat hanya perlu tahu bahwa penurunan harga BBM (misal) sebesar Rp 500, akan diikuti penurunan tarif angkutan umum Rp 500 pula. Dengan demikian, dapat dipastikan pula bahwa harga beras, gula pasir, terigu, minyak goreng curah, daging sapi, susu, tomat, wortel, kentang, dan sayur-mayur lainnya serta harga obat-obatan, ikut turun juga. Termasuk di antaranya, saya juga bisa memastikan bahwa tarif sewa kamar kos (kos-kosan) per bulannya ikut turun, atau setidaknya tidak naiklah.

Pertempuran yang Tak Berimbang

Sungguh sebuah pertempuran yang tak berimbang. Begitu pikiran saya menyimpulkan sesaat setelah mengetahui kabar militer Israel melancarkan serangan besar-besaran ke wilayah Jalur Gaza, Palestina, pada Sabtu, 27 Desember 2008. Sejak itu hingga coretan ini di-posting, lebih dari 500 warga sipil Palestina tewas dan sekira 2500 terluka. Di pihak Israel, 4 warga terbunuh akibat serangan roket pejuang Hamas, dan lebih dari 30 orang lainnya terluka.

Seorang kawan, di blog-nya, melukiskan apa yang dihadapi bangsa Palestina, demikian: “Ia adalah sebuah entitas yang tengah kepayahan menggapai hak-haknya dengan jemari kurusnya.” Bangsa di negeri yang telah porak-poranda akibat “perseteruan abadinya” dengan Israel itu mencoba melawan dengan kekuatan seadanya.

Tidak berlebihan, memang, jika dikatakan bahwa musuh pejuang Hamas itu bukan lawan tanding yang seimbang. Sebab, kekuatan militer Israel disebut-sebut merupakan separuh dari kekuatan militer dan intelijen dunia. Negeri Zionis itu selama ini dikenal sebagai lima besar negara dengan belanja militer yang besar.

Data Kementerian Pertahanan Israel, kekuatan personel angkatan perang negaranya, termasuk senjata, jauh di atas kekuatan angkatan perang seluruh negara Arab. Israel memiliki 125 ribu pasukan angkatan darat reguler dengan cadangan dan wajib militer 450 ribu. Diperkuat tank jenis Merkava, Centurian, dan Tiran 3.650 unit, kendaraan lapis baja jenis Zelda, Halftrack, dan Nagmashot 12.500 unit, serta 5.200 unit artileri berat Jericho, SAM 1298, FIM-92-A.

Angkatan lautnya diperkuat 21 unit kapal perang Elat Sa’ar dan Hetz Sa’ar, 35 unit kapal patroli Super Drova, Dabur PFI. Di udara, Israel memiliki 630 unit pesawat tempur F-15, F-16, A4, RF-AE, dan 100 unit helikopter tempur Apache dan Hughes.

Israel juga mengembangkan sendiri pesawat tempur modifikasi dari pesawat yang sudah ada. Antara lain jenis Lavi yang setara dengan F-16 dan Nesher yang tak jauh beda dari F-21A. Keahlian Israel di bidang pembuatan senjata didukung industri persenjataan militer Elbit System Lmtd., Israel Aircaft Industries, dan RAFAEL, yang khusus mengembangkan senjata dan kendaraan tempur darat.

Seluruh piranti militer itu belum termasuk 100 hingga 200 hulu ledak nuklir yang diyakini dimiliki Israel. Ia merupakan satu-satunya negara di Timur Tengah yang memiliki senjata nuklir. Iran saja baru akan memiliki, bukan sudah memiliki. Dan, satu saja hulu ledak nuklir itu diluncurkan, seluruh wilayah Palestina dan seisinya pasti bakal segera tak tersisa.

Hal yang demikian itu adalah sesuatu yang mustahil dimiliki negara miskin macam Palestina, apalagi militan sekelas Hamas yang hanya sebuah kelompok gerilyawan, meski cukup terlatih. Jangankan mengembangkan senjata nuklir, memiliki pesawat tempur jenis F-15, F-16, A4, RF-AE, seperti halnya Israel, saya yakin, Hamas tak mampu membelinya.

Bandingkan saja dengan kekuatan militer Hamas dengan beberapa persenjataannya. Faksi radikal di Palestina itu memiliki, antara lain, Rudal Anti-Tank Al-Bana dan Al-Yassin, Rudal Anti-Tank Al-Batar, Rudal Al-Samoud, Rudal Anti-Pesawat, UAV, dan Helikopter, Rudal Hawkeye, Rudal Kafah dan Rudal Nasser

Rudal Anti-Tank Al-Bana dan Al-Yassin merupakan rudal jarak pendek yang radius tembaknya hanya sejauh 500 meter. Tapi daya ledaknya mampu meluluhlantakkan tank Merkava Israel. Rudal Anti-Tank Al-Batar adalah rudal antitank jarak jauh yang membawa hulu ledak seberat 3,5 kilogram. Radius tembaknya adalah sekira 3 kilometer atau 1,7 mil.

Rudal Al-Samoud adalah rudal 120mm darat ke darat. Memiliki radius tembak sejauh 8 kilometer. Lalu, rudal Anti-Pesawat, UAV, dan helikopter. Rudal ini berasal dari Rusia dengan nama SA-7 dan telah beberapa kali digunakan Hizbullah untuk merontokkan helikopter dan UAV Israel.

Rudal Hawkeye, memiliki jarak tembak sejauh 55 kilometer dan mampu membawa hulu ledak seberat 5 kilogram. Kemudian, Rudal Kafah. Pada Oktober 2005, Brigade Syuhada Al-Aqsha mengumumkan bahwa mereka telah memodifikasi rudal ini dan menamakannya Al-Aqsha 3. Rudal ini memiliki jarak tembak sejauh 17 kilometer.

Terakhir, Rudal Nasser yang memiliki beberapa klasifikasi, dari yang jarak pendek, menengah, hingga jarak jauh. Rudal yang sudah dimodifikasi Hamas ini memiliki daya ledak dua kali lebih kuat dari aslinya.

Dari segi personel, Hamas disebut-sebut sedang berupaya menambah jumlah menjadi 6.000 prajurit. Dapat dibandingkan dengan kekuatan personel Israel yang mencapai 125 ribu pasukan angkatan darat reguler dengan cadangan dan wajib militer 450 ribu. Hamas kemungkinan akan memiliki roket jenis Katyusha berdiameter 122 mm yang jangkauannya mencapai 40 km. Roket legendaris ini menjadi senjata andalan milisi Hizbullah dalam perang 30 hari melawan invasi Israel pada pertengahan 2006 silam.

Kekuatan Hamas tak bisa disamakan dengan kelompok Hizbullah pimpinan Hassan Nasrallah di Libanon. Senjata andalannya adalah roket Katyusha. Ia diyakini juga memiliki 150 rudal jarak jauh—termasuk Fajar-5—dengan daya tembak 45-200 kilometer. Diketahui juga mempunyai rudal antipesawat tempur C-802 dan berbagai jenis rudal Silkworm buatan Cina.

Hizbullah diyakini pula masih menyimpan setidaknya 13 ribu roket dengan daya jelajah 25 kilometer dan 500 roket dengan jangkauan 45-75 kilometer. Selain itu, Hizbullah mempunyai rudal Zelzal-2 buatan Iran dengan daya jelajah di atas 200 kilometer—bisa menjangkau Tel Aviv—dan memiliki hulu ledak seberat 400-600 kilogram.

Seorang pakar mengatakan, ketangguhan Hizbullah tak hanya terletak pada persenjataan mereka, tetapi juga pada para pejuangnya yang terlatih, jaringannya yang kuat, dan pengenalannya pada lingkungan. Timur Goksel, mantan juru bicara Pasukan Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Libanon, mengatakan, Hizbullah bermain sangat cerdas sebagai kelompok gerilyawan. Sementara, Jane's World Insurgency and Terrorism menggambarkan Hizbullah sebagai gerilyawan perlawanan Islam yang paling berdedikasi, paling bermotivasi, dan terlatih di Timur Tengah.

Dalam perang 30 itu, komentator militer Israel, Yoel Marcus, dengan keras mengritik pihak militer atas pukulan telak Hizbullah ini. ''Tentara kami yang termashur, salah satu yang tangguh di dunia, yang memiliki opsi senjata mulai dari nuklir, pesawat tempur yang mampu terbang ke Teheran, pesawat pengintai tak berawak hingga aneka rudal, ternyata telah dua kali terengah-engah dalam skenario yang tak pernah diramalkan sebelumnya,'' tulis Marcus dalam harian cetak Haaretz.

Tak hanya itu. Kepala Staff Angkatan Darat Israel, Letnan Jenderal Dan Halutz, mengakui di hadapan publik bahwa pasukannya telah gagal dalam perang melawan pejuang Hizbullah di Libanon.

Dalam perang melawan Hizbullah, militer Israel yang menggunakan persenjataan canggih kehilangan 116 tentaranya, 43 warga sipil tewas dan lebih dari 4.000 orang luka-luka. Sedangkan di pihak Libanon, 1.200 warga sipil tewas akibat serangan udara Israel yang dilakukan hampir setiap hari.

Satu lagi yang tak dimiliki Hamas, pejuang dan rakyat Palestina lainnya adalah tidak adanya persatuan. Hamas dan Fatah selalu gagal menjalin rekonsiliasi. Pemerintahan koalisi setelah Hamas memenangkan pemilu yang dibentuk pada 2006 silam, bubar. Dukungan negara-negara Arab dan Liga Arab pun nol. Konon, hanya Iran, Libya dan Suriah yang mendukungnya. Organisasi Konferensi Islam pun hanya bisa mengecam. Bisa dibandingkan dengan Israel. Selain kekuatan militer yang lebih dari memadai, dukungan Amerika Serikat dan Uni Eropa, jelas bukanlah sesuatu yang kecil maknanya. Sekali lagi, perang Palestina versus Israel bukanlah pertempuran yang berimbang.

Disarikan dari berbagai sumber, di antaranya, www.infopalestina.com dan www.wikipedia.org