Sang Newsmaker

Kalangan wartawan menyebut Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai newsmaker (sosok yang selalu menjadi berita). Tidak hanya karena dia adalah mantan presiden. Tidak pula cuma karena dia pernah tiga periode menjabat ketua umum Pengurus Besar NU, sebagai Ketua Umum Dewan Syura PKB, ulama, intelektual, negarawan, tokoh demokrasi, atau apa pun predikat yang melekat padanya.

Ia disebut newsmaker lantaran bekas musuh penguasa Orde Baru itu adalah sosok yang teguh berpendirian. Berbagai sikap dan pernyataannya atas beragam persoalan bangsa, dikemukakan tanpa tedeng dan aling-aling, jelas, lugas, tak multitafsir. Sikap kontroversialnya yang kerap kali terkesan menentang arus, seperti mendapat ruang khusus bagi media massa.

Dalam ilmu jurnalistik, terdapat semacam kaidah tentang hal-hal yang dianggap memiliki nilai berita cukup tinggi. Artinya, sebuah berita dapat disajikan jika memuat nilai berita di dalamnya. Nilai berita itu mencakup beberapa hal, antara lain, (1) obyektif: berdasarkan fakta, tidak memihak; (2) aktual: terbaru, belum ‘basi’; (3) luar biasa: besar, aneh, janggal, tidak umum; (4) penting: berpengaruh atau berdampak bagi orang banyak; menyangkut orang penting/terkenal; dan (5) jarak: familiaritas, kedekatan (geografis, kultural, psikologis).

Dan, beragam sikap serta komentar Gus Dur, hampir selalu memenuhi lima kaidah itu—meski dalam beberapa kesempatan, kaidah ke-1 tak terpenuhi. Sebut saja satu per satu mulai kaidah ke-1, yakni, obyektivitas. Simak komentar sang Begawan tentang, misal, kasus skandal Bank Century. Dia mengatakan: “Semestinya Sri Mulyani (Menteri Keuangan) dan Boediono (Wakil Presiden) harus ditangkap.”

Dari sisi obyektivitas, pernyataan tersebut jelas berdasarkan fakta. Sri Mulyani dan Boediono memang merupakan pejabat negara (Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia) yang paling bertanggung jawab atas pengucuran dana talangan senilai Rp 6,7 triliun itu. Soal apakah nantinya terbukti bersalah atau tidak, itu perkara lain.

Pernyataan itu pun sekaligus sudah sangat memenuhi nilai berita karena diucapkan dengan kalimat yang lugas, bukan kalimat ‘bersayap’ yang berpotensi multitafsir. Dalam ilmu jurnalistik, sebuah berita harus menggunakan bahasa yang lugas dan jelas sehingga dapat dipahami atau dimengerti semua kalangan. Bandingkan dengan pernyataan, misal, “Setiap warga negara berkedudukan sama di depan hukum.”

Berikutnya, kaidah ke-2, yakni, aktualitas atau kebaruan. Selalu ada hal baru dari sosok panutan kaum nahdliyin (warga NU) itu. Simak saja ketika Gus Dur yang tiba-tiba mendatangi kantor KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk memberikan dukungan moral pada dua pimpinan nonaktif Komisi: Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah, yang ditahan Polisi pada akhir Oktober 2009 lalu. Padahal, sebelumnya Gus Dur cukup lama luput dari pemberitaan karena sedang menjalani perawatan kesehatan.

Hal baru dari Gus Dur tercipta saat itu juga. Sang Begawan, tanpa ragu menyatakan siap menjaminkan dirinya bagi pembebasan Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah. Bagi wartawan yang bertugas di kantor KPK, hari itu, sedikitnya dia sudah mempunyai satu berita ‘besar’ (cukup layak jadi headline), yakni, kedatangan sekaligus penjaminan diri seorang mantan kepala negara.

Kebaruan lainnya, sebut saja sebagai contoh, saat Ketua Umum Dewan Syura PKB itu tiba-tiba mencopot Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB pada 2008 silam, yang kemudian meledaklah skuel terbaru konflik di tubuh partai tersebut. Atau, ketika Gus Dur menerima tamu seorang biksu asal Myanmar untuk membicarakan krisis politik di negara yang dikendalikan junta militer itu. Dan, masih banyak contoh lain kebaruan dari seorang Gus Dur.

Kaidah ke-3: keluarbiasaan: keanehan atau ketidakumuman. Publik tentu masih ingat heboh berita terbitnya SKB (Surat Keputusan Bersama) Tiga Menteri terkait keberadaan Jamaah Ahmadiyah di Indonesia. Tak lama setelah SKB itu terbit, Gus Dur langsung pasang badan untuk membela Ahmadiyah.

Sikap terang-terangan sang Begawan, jelas bukan berita kecil atau remeh-temeh. Sebab, pertama, pemikiran arus utama umat Islam di negeri ini cenderung mendukung SKB itu; kedua, pemikiran arus utama di kalangan NU pun tak jauh berbeda. Artinya, Gus Dur bisa dikata seorang diri—di antara arus utama itu—yang siap menjadi bumper Ahmadiyah. Sebuah sikap yang luar biasa, sekaligus aneh dan jelas tidak umum terjadi. Dalam kasus itu, Gus Dur bisa disebut sekaligus menentang kebijakan negara.

Ketika Gus Dur menyerukan golput (‘golongan putih’) atau tidak menggunakan hak pilih kepada masyarakat dalam Pemilu 2009, tentu juga hal yang luar biasa, tidak umum dan sangat layak jadi berita besar. Golput memang menjadi hak setiap warga negara. Tapi, jika mengajak atau menyerukan banyak orang untuk golput, hal itu bisa disebut perbuatan makar, memberontak atau menolak berdaulat dengan negara ini. Dan, Gus Dur, yang merupakan bekas kepala negara sekaligus kepala pemerintahan di negeri ini, melakukan perbuatan yang sah untuk disebut ‘makar’.

Keluarbiasaan atau ketidakumuman dari sosok bersahaja itu pun banyak terjadi saat dia memimpin negara ini. Hal demikian dapat disimak, misal, saat Gus Dur mengizinkan masyarakat Papua (sebelumnya Irian Jaya) untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora. Terasa aneh jika ada wartawan tak berminat dengan berita semacam ini. Sebab, bendera Bintang Kejora adalah bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM). Mengibarkannya berarti tidak mengakui bendera Merah Putih sekaligus tindakan subversif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan, Gus Dur, yang saat itu menjadi Presiden, menganggap pengibaran bendera Bintang Kejora adalah hal ‘biasa’ (tidak melanggar konstitusi).

Kaidah ke-4: penting: berpengaruh atau berdampak bagi orang banyak; menyangkut orang penting/terkenal. Menurut kaidah ini, tak dapat dibantah lagi bahwa Gus Dur adalah orang penting: mantan presiden, orang yang mempunyai kedudukan tertinggi di PKB, panutan warga NU, negarawan, ulama, tokoh demokrasi dan pluralisme, dan sebagainya. Pernyataannya pun, sedikit-banyak, berpengaruh atau berdampak bagi banyak orang, setidaknya bagi konstituen PKB atau jutaan kalangan nahdliyin.

Pengaruh Gus Dur tentu tidak hanya pada konstituen PKB atau jutaan kalangan nahdliyin, melainkan juga bagi kalangan minoritas, baik minoritas agama (nonmuslim), minoritas etnis (Tionghoa dan etnis lain), minoritas kelompok (jamaah Ahmadiyah, simpatisan PKI yang menjadi korban rezim lalim Orde Baru, korban penggusuran, dan lain-lain).

Kaidah ke-5: jarak: familiaritas, kedekatan (geografis, kultural, psikologis). Gus Dur sendiri kerap mengaku bahwa dirinya memiliki hubungan kekerabatan/garis keturunan dengan orang atau etnis (terutama etnis minoritas). Misal, berulang kali secara eksplisit dia mengaku berdarah Tionghoa. Gus Dur menjelaskan bahwa ia adalah keturunan Tan Kim Han, seorang Tionghoa muslim yang menumbangkan Majapahit dan kemudian mendirikan Demak. Tan Kim Han kemudian diidentifikasi sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini.

Dari pengakuan itu plus kebijakannya saat menjadi presiden yang membolehkan warga Tionghoa merayakan Imlek, Gus Dur tak pernah absen dari amatan media massa, utamanya setiap hari raya Imlek. Dia selalu menjadi rujukan wartawan untuk dimintai pendapatnya setiap ada permasalahan yang berkaitan dengan etnis Tionghoa—dan tentu etnis minoritas lainnya. Kedekatan Gus Dur dengan kalangan nonmuslim atau kelompok ‘kiri’ pun menjadi salah satu referensi bagi para jurnalis.

Kini, sang Newsmaker telah tiada. Boleh jadi para jurnalis kehilangan salah satu narasumber andalannya. Tak ada lagi pernyataan-pernyataan spontan dan terkesan enteng dikemukakan, seperti: “Gitu aja kok repot”; “Biarin aja”; “Pusing-pusing amat mikirin itu”; atau: “Udah jelas melanggar, tapi enggak ditangkap juga, berarti presidennya yang pengecut”.

Huh. Tak pernah habis bahan untuk membicarakannya. Selamat jalan, Gus!