PKB yang Nyaris Tak Terdengar

Kalau ada lembaga survei yang melakukan penelitian tentang kata apa yang paling populer beberapa pekan belakangan ini, hasilnya pasti kata “koalisi”. Tak salah. Media massa nasional—cetak, elektronik maupun online—selalu menempatkan topik seputar koalisi antarparpol sebagai salah satu laporan utamanya. Obrolan di warung kopi pun, sedikit atau banyak, mesti terselip topik serupa. Aktivitas partai politik (parpol) maupun mobilitas elitnya memang sedang tinggi-tingginya.

Tapi, tidak dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Adem-ayem, cool, dan nyaris tak terdengar. Kalimat itu kiranya tepat sekali untuk menggambarkan sikap politik PKB belakangan ini. Maklum saja, ia sudah mantab memutuskan untuk berkoalisi dengan Partai Demokrat (PD). Bahkan, sinyal untuk merapat ke parpol pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono itu sudah tampak sebelum Pemilu Legislatif (Pileg) digelar.

Keputusan koalisi terlihat tak dapat diganggu-gugat lagi setelah PD memenangi Pileg pada 9 April lalu. Tekad semakin bulat. Apalagi Yudhoyono yang juga Presiden RI masih disebut-sebut sebagai tokoh terkuat kandidat calon presiden (capres)—setidaknya oleh beberapa lembaga survei. Partai Keadilan Sejahtera, yang sempat mengancam bakal membatalkan rencana koalisinya dengan PD, sama sekali tak menggoyahkan pendirian PKB. Ia pun tetap bergeming menyusul “perceraian” PD dengan Partai Golkar (PG)

PKB seolah cuek dengan akrobat politik sejumlah elit parpol yang sibuk bersilaturrahim untuk menjajaki kemungkinan koalisi. Partai besutan mantan presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur itu pun seakan tak terpengaruh ribut-ribut di internal parpol lain, semacam PG, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan lain-lain.

Hal itu tentu dapat dipahami karena PKB sudah kenyang ribut-ribut. Bayangkan saja, sejak didirikannya pada 1998 silam, parpol berbasis massa pendukung kalangan nahdliyin (warga Nahdlatul Ulama/NU) itu tak pernah sepi dari keributan atau konflik internal. Konflik terakhir antara Ketua Umum Dewan Tanfidz-nya, Muhaimin Iskandar, dengan Ketua Umum Dewan Syura-nya, Gus Dur, baru mereda beberapa bulan menjelang Pileg.

Sebagai parpol yang cukup berpengalaman dalam hal konflik, PKB lebih memilih jalur aman. Nyaris tak ada manuver berisiko tinggi atau berbahaya. Dan, PKB tentu tak akan membiarkan kembali terjadi keributan di dalam di saat menjelang Pemilu Presiden (Pilpres) yang akan dihelat pada Juli 2009 nanti. Jika tidak demikian, partai tersebut pastinya bakal tak memperoleh apa pun usai Pemilu Presiden mendatang. Menjadi oposisi, pilihan yang jelas sangat dihindari PKB.

Selain itu, PKB juga tak lagi memiliki banyak modal untuk tawar menawar dengan parpol lainnya. Pasalnya, ia menempati urutan ketujuh dalam sepuluh besar perolehan suara nasional Pileg 2009. Perolehan suaranya anjlok. Hampir separuh suara yang didapatnya pada Pemilu 2004 hilang. Jatah kursinya di DPR RI pun turut berkurang banyak. Beruntung ia masih lolos parliamentary threshold (ambang keterwakilan sebuah partai politik di parlemen).

PKB juga sedang krisis figur yang ‘layak jual’. Gus Dur, yang masih menjadi panutan kalangan nahdliyin, terlihat tak lagi membutuhkan PKB sebagai kendaraan politik. Bahkan, belakangan ia bermanuver dengan merapat ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan serta menyatakan mendukung Megawati Soekarnoputri sebagai capres. Figur Muhaimin tentu tak dapat disejajarkan dengan nama besar Gus Dur. Sebelum Pemilu Legislatif, PKB sempat coba-coba menyandingkan nama Muhaimin dengan “Raja” Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono. Sayangnya, nyaris tidak ada respons dari masyarakat umum maupun konstituennya.

Tapi, langkah PKB untuk bergabung dengan PD dan parpol lainnya bukan berarti pilihan yang benar-benar aman. Apa sebab? Sekali lagi, PKB adalah partai yang cukup berpengalaman dalam hal konflik. Makna sesungguhnya ialah partai berlambang bola dunia yang dikelilingi sembilan bintang itu sangat rapuh dan gampang sekali terjadi konflik internal. Meski gejolak sudah reda, bukan tidak mungkin jika di tengah perjalanannya nanti konflik internal kembali pecah.

Perlu diingat, perseteruan antara Muhaimin dengan Gus Dur belum benar-benar selesai. Sesuai putusan Mahkamah Agung yang mengembalikan kepengurusan DPP PKB pada keputusan Maktamar PKB di Semarang, Jawa Tengah, pada 2005, Gus Dur masih tercatat secara sah sebagai Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB. Namun, perannya perlahan mengecil karena tak lagi terlihat dalam pengambilan keputusan partai. Bukan sesuatu yang mustahil hal itu akan dipersoalkan dalam muktamar partai nantinya dan kembali memicu konflik. Belum lagi permasalahan anjloknya suara partai.

Persoalan jalinan koalisi dengan PD beserta parpol lainnya juga menyimpan potensi masalah tersendiri bagi PKB. Diketahui bersama, di negeri ini tak pernah ada koalisi parpol yang benar-benar solid, entah itu koalisi parpol pemerintah atau koalisi parpol oposisi. Pasalnya, koalisi tidak pernah dibangun berdasarkan ideologi dan platform masing-masing parpol. Anggap saja koalisi PKB dengan PD nantinya menjadi koalisi parpol penguasa. Sementara PKB belum bisa menyelesaikan urusannya di dalam dan terus berkonflik, tentu hal itu adalah kondisi yang tidak menguntungkan bagi bangunan koalisi. Padahal, koalisi dibangun agar terbentuk mitra kerja yang solid dan penyokong utama setiap kebijakan pemerintah.

Hal terburuk bila yang terjadi justru sebaliknya, yakni PKB menjadi bagian dari koalisi oposisi karena kalah dalam Pilpres. Sudah pasti itu adalah bahan baru yang dapat jadi picu konflik. Pihak-pihak yang sebelumnya tersingkir dari kepengurusan, sudah barang tentu akan memanfaatkan isu tersebut untuk “balas dendam”. Jika itu terjadi, maka PKB cukup menghitung hari.

Namun, di luar perihal nantinya berhasil menjadi bagian dari koalisi pemerintah atau tidak, PKB harus secepatnya berbenah dan menata diri. Setidaknya mulai merancang dan membangun sistem organisasi partai yang rapi sekaligus memperkecil ruang konflik. Sebab, diakui atau tidak, konflik yang terjadi selama ini sangat menguras energi partai. Akibatnya, anjloknya suara partai menjadi tak terelakkan.

Perolehan suara nasional yang tidak menggembirakan sesungguhnya merupakan peringatan terakhir bagi PKB agar kembali ke cita-cita awal didirikannya, yakni memperjuangkan kepentingan nahdliyin pada khususnya. Partai sempalannya, Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), yang sebelumnya diharapkan menjadi jawaban atas keruwetan di PKB, dipastikan tidak lolos parliamentary threshold. Itu artinya PKNU tak bisa mengikuti Pemilu 2014, kecuali berganti nama.

Lemparkan Saja Batunya ke Hacker!

Seorang kawan berkomentar sewot pada kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam hal tabulasi suara nasional Pemilu Legislatif 2009 yang menggunakan Teknologi Informasi (TI). Menurut dia, anggaran pengadaan komputer server tabulasi sebesar Rp 1,8 miliar itu terlampau mahal.

Hal yang membuatnya semakin kesal lantaran KPU mengatakan bahwa anggaran sebesar itu sesungguhnya masih kurang. “Kalau beli di Mangga Dua atau Glodok (keduanya adalah pusat jual-beli alat elektronik, komputer dan laptop di Jakarta), duit segitu itu masih sisa banyak, KPU masih dapat kembalian, lagi,” katanya.

Tapi, KPU punya dalih lain. Lembaga penyelenggara pesta demokrasi itu beralasan, pihaknya tak membeli unit server baru, melainkan membeli beberapa sukucadang untuk digunakan pada server bekas yang dipakai pada Pemilu 2004. Hal itu dikarenakan KPU memiliki regulasi yang tidak memungkinkan pembelian server baru.

Celakanya, dalih KPU, beberapa sukucadang yang dimaksud sudah langka di pasaran sehingga harganya menjadi mahal, bahkan ada beberapa yang harganya dua kali lipat dari harga baru. Celakanya lagi, barang yang dimaksud tak ada di Mangga Dua maupun Glodok, tapi harus didatangkan dari Singapura. Busyet. Disebutkan, KPU harus membeli sukucadang server yang harganya dua kali lipat itu, di antaranya, untuk ProLiant DL360R03 x3.06/533 512 1G/RPS A/P dan ProLiant DL360R03 x2.8/400 512 A/P sudah langka di Indonesia. Sukucadang itu semuanya bermerek Hewlett-Packard (HP).

Iseng-iseng saya mengeceknya di situs resmi HP. Benar memang, sukucadang yang dimaksud sudah tak ada, sudah tidak diproduksi lagi. Namun, HP memproduksi server tipe sejenis dengan keluaran terbaru, yakni HP ProLiant DL300 Servers. Harganya $899.00 atau sekira Rp 9.800.000. Rp 10 juta kurang sedikitlah.

Tak diketahui berapa harga “dua kali lipat” yang disebutkan KPU tersebut. Tapi, dapat dibayangkan seumpama uang Rp 1,8 miliar itu seluruhnya dibelikan sever baru dengan jenis ProLiant DL300 yang seharga Rp 10 juta kurang sedikit itu.

Jangan! Terlalu banyak uang sebesar itu kalau hanya untuk dibelikan server seluruhnya. Anggap saja dibelikan 50 unit server—meski KPU sendiri sesungguhnya membutuhkan tak lebih dari 10 server karena server bekas Pemilu 2004 hanya sebanyak 6 unit. Itu artinya, KPU harus mengeluarkan uang sekira Rp 500 juta. Nah, ternyata benar komentar sewot kawan saya tadi, KPU masih memiliki sisa, yakni Rp 1,3 miliar.

Sayangnya, lembaga yang dipimpin Abdul Hafiz Anshari itu memang tak menganggarkan dananya untuk pembelian server baru. Hafiz lebih memilih menggunakan server bekas Pemilu 2004 walaupun harus mengganti beberapa sukucadang yang dianggap perlu.

Bagaimana hasilnya? Beberapa jam setelah diluncurkan, Situs Tabulasi Nasional KPU yang beralamat di tnp.kpu.go.id langsung ngadat. Konon, biang kerok ke-ngadat-an itu karena situs diakses 70.000 pengakses sekaligus. Sederhananya, server tak mampu melayani pengakses dengan jumlah sebesar itu dalam waktu bersamaan. Padahal, kapasitas bandwidth (lebar jalur data) yang dimiliki mencapai 20 Mbps.

Masalah dapat teratasi setelah KPU meminjam 6 server lebih canggih milik Telkom serta 5 server lagi milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Itu artinya, KPU menggunakan total 17 server. Sudah menggunakan 17 server, masih juga bermasalah. Proses tabulasi dinilai sangat lamban. Target tabulasi suara nasional hingga dua pekan setelah Pemilu digelar pun tak terpenuhi.

Penggunaan teknologi Intelligent Character Recognition (ICR) disebut-sebut salah satu penyebabnya. ICR merupakan perangkat lunak (software) yang digunakan KPU untuk tabulasi Pemilu Legislatif. Dengan teknologi ini, hasil pemindaian (scanning) formulir C1-IT yang merupakan rekapitulasi perolehan suara di TPS ditafsirkan ke dalam bentuk angka dan huruf, kemudian dikirim ke pusat dan ditayangkan di tabulasi. Hasil pemindaian berbentuk image. Masalahnya, akurasi pemindahan dari gambar ke angka dan huruf belum teruji. Angka 7 di gambar bisa teridentifikasi sebagai angka 1, angka 6 bisa jadi 0, dan sebagainya. Demikian juga huruf dari a hingga z, bisa berubah dari aslinya karena form C1-TI ditulis tangan.

Satu lagi yang disebut-sebut biang keladi kekacauan tabulasi dengan sistem TI itu, yakni serangan peretas (hacker). Komisi tersebut merilis bahwa situs tabulasinya diserang puluhan peretas dalam negeri. Mereka, kabarnya, mencoba mengacaukan tampilan perhitungan suara. Para peretas itu, konon, berupaya mengosongkan data tabulasi yang telah dimasukkan.

Bagi saya, hal tersebut merupakan langkah paling gampang dan paling jitu untuk mencari sumber masalah. Pasalnya, agak susah untuk membuktikannya meski sudah ada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Apalagi peretas yang dimaksud baru sebatas mencoba, bukan sudah berhasil mengacaukan. Seumpama sudah berhasil mengacaukan, publik bisa melihat bukti ulah para peretas yang dituding itu.

Ibarat kata, “Lempar batu sembunyi tangan.” Lemparkan batunya ke hacker, lalu sembunyikan tangan pelemparnya. Atau, arahkan tuduhan kesalahan pada para peretas itu, lalu sembunyikan biang kerok sesungguhnya. Masalah selesai.

Tapi… Ah, sudahlah, saya tak paham betul apa benar para peretas itu berusaha mengusili KPU atau sebaliknya. Tak ada kemampuan pula untuk mencari tahu kebenarannya. Urusan jenis dan harga mesin server serta keruwetan pada teknologi ICR pun saya tidak mengerti benar. Hal yang saya ketahui pasti adalah Antasari Azhar sudah mengincar Abdul Hafiz Anshari dan kawan-kawan.

Manuver “Supir Bajaj”

“Gus Dur Beri Dukungan kepada Megawati.” Begitu ditulis sebuah media online pada Kamis, 23 April 2009. Setengah kaget—meski setengahnya lagi biasa-biasa saja—saat membaca beritanya. Setengah kaget karena Megawati, bagi Gus Dur, bukan orang asing. Gus Dur pernah “mesra”, juga “sakit hati” saat Megawati bersedia menggantikan posisinya sebagai presiden melalui Sidang Istimewa MPR pada Juli 2001.

Dalam beberapa kesempatan, Abdurrahman Wahid atau lebih populer disapa Gus Dur itu mengaku tak pernah melupakan peristiwa lepasnya kedudukannya sebagai presiden beberapa tahun silam. Megawati yang juga Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu disebut-sebutnya turut “membantu” kelengseran dirinya dari kursi kepresidenan—selain juga Amien Rais.

Tapi, memang, bukan Gus Dur namanya kalau tidak kontroversi. Bukan sekali ini Gus Dur menyatakan dukungannya pada seseorang sebagai calon presiden (capres) sepanjang rangkaian penyelenggaraan Pemilu 2009. Belum sepekan merapat ke Megawati, Gus Dur juga mengaku mendukung Susilo Bambang Yudhoyono. Dukungannya pada Ketua Umum Dewan Pembinan Partai Demokrat itu bersyarat, yakni Yudhoyono harus bersedia berdampingan dengan dr Emir Soendoro sebagai wakil presiden. Emir sendiri adalah dokter spesialis bedah tulang (ortopedi) pada Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang juga menantu ekonom Wijoyo Nitisastro dan dikenal sebagai pejuang buruh.

Pada masa kampanye Pemilu Legislatif lalu, tokoh panutan warga Nahdlatul Ulama (NU) itu sempat bergabung dan menjadi juru kampanye Partai Gerakan Indonesia Raya pimpinan Prabowo Subianto. Kendaraan politik besutannya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), pun ditinggalkannya. Selama masa kampanye, PKB nyaris tak disentuhnya sama sekali meski ia masih tercatat sebagai Ketua Umum Dewan Syura.

Hanya itu yang didukung Gus Dur? Tidak. Nama-nama seperti, Ketua Umum DPP Partai Hati Nurani Rakyat, Wiranto; Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional, Sutrisno Bachir; Ketua Majelis Syura Partai Bulan Bintang, Yusril Ihza Mahendra dan mantan Menteri Koordinator Perekonomian, Rizal Ramli, pun pernah mendapat dukungan Gus Dur untuk menjadi capres.

Bagi sebagian orang, manuver itu dianggap sebagai langkah inkonsistensi, tak punya pendirian. Tapi, bagi saya, itu tak penting. Toh, dari dulu ia memang dikenal kerap bermanuver di luar pakem atau di luar kelaziman, hingga kemudian muncul istilah “Jurus Mabuk” untuk menyebut langkah-langkah kontroversinya itu. Hal yang lebih penting daripada sekedar soal konsistensi atau inkonsistensi itu adalah apa yang diinginkannya. Mari kita cari tahu!

Saya yakin, Gus Dur sangat paham kondisi terkini di lingkungan NU berikut partai-partai berbasis massa pendukung warga NU, misal, PKB, Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ia sadar betul bahwa Pemilu 2009 ini bukan lagi arena permainan bagi NU. PKB dan PPP tak lagi memiliki posisi tawar yang kuat di arena politik nasional menyusul anjloknya perolehan suara keduanya pada Pemilu Legislatif lalu. PKNU, partai baru sempalan PKB itu, pun terancam tak lolos parliamentary threshold (ambang keterwakilan sebuah partai politik di parlemen).

Tokoh-tokoh NU pun tak lagi dilirik untuk turut meramaikan bursa capres atau cawapres. Hal tersebut berbeda jauh dengan kondisi pada Pemilu 2004. Saat itu, PKB meraih 10,57 persen dan menempatkan 52 wakilnya di DPR RI. Sementara, PPP meraih 8,2 persen suara dengan jumlah kursi di DPR RI sebanyak 58 kursi. Terdapat sedikitnya tiga tokoh NU yang bersaing pada Pemilu Presiden 2004—meski semuanya gagal, antara lain, Hasyim Muzadi (cawapres Megawati Soekarnoputri), Solahuddin Wahid (cawapres Wiranto) dan Hamzah Haz (capres yang berdampingan dengan Agum Gumelar). Gus Dur pun sempat mencalonkan, namun tak memenuhi persyaratan.

Pilihannya, NU mau jadi penonton atau tetap bermain? Bagi Gus Dur, tak ada istilah jadi penonton. NU harus tetap bermain meski kemampuan yang dimiliki terbatas, bahkan sangat terbatas. “Partai-partai NU” mau memilih jadi penonton aktif dalam pengertian oposisi, jelas bukan posisi yang menguntungkan karena memang tak lagi mempunyai posisi tawar yang kuat. Apalagi menjadi penonton pasif yang memang cukup menonton saja. Jauh sebelum Pemilu digelar, Gus Dur menyatakan bakal maju sebagai capres. Ia sadar betul bahwa jalan menuju itu sudah tertutup baginya. Sikap politik tersebut lebih pada upaya menaikkan posisi tawar dirinya dan kekuatan NU secara keseluruhan.

Ia seperti punya seribu cara untuk terus bermain. Gus Dur pun memainkan isu seruan untuk golput atau tidak menggunakan hak pilih pada Pemilu kali ini. Penyelenggara pemilu juga ditudingnya tak siap melaksanakan pesta demokrasi itu sehingga harus diundur. Kasus dugaan kecurangan dalam Pilkada Jatim pada akhir 2008, menjadi salah satu alasannya. Suaranya ternyata masih didengar, bahkan ajakannya juga masih diikuti. Sebagian kalangan, terutama kalangan nonparpol, menyambut isu yang dimainkannya.

Gus Dur tak lagi punya kendaraan politik. PKB sudah ditinggalkannya. Di struktural NU pun ia tak jadi apa-apa. Tapi, alhasil, kini hanya dia tokoh NU yang dilirik sejumlah parpol maupun beberapa elit parpol, tak ada lagi selain dia. Semua tiarap atau setidaknya memilih diam. Memang bukan untuk menjadi capres atau cawapres, tapi setidaknya turut menentukan jalannya Pemilu Presiden nanti. Perkembangan terkini, sejumlah pihak yang selama ini berseberangan dengan penguasa, mengikutsertakannya dalam kelompok yang disebut kelompok Teuku Umar. Bahkan, menyusul “perceraian” Partai Demokrat dengan Partai Golkar, PDIP merasa harus melibatkan Gus Dur dalam rapat internalnya. Padahal, Gus Dur jelas sekali bukan bagian dari PDIP.

Babak baru dari manuver Gus Dur dimulai lagi. Saat menyatakan dukungannya pada Megawati, Gus Dur pun mengaku tak golput dan tak pernah golput meski publik mengetahui ia baru saja menjalani perawatan kesehatan selama beberapa pekan di Bangkok, Thailand. Pernyataannya tersebut sama sekali bertolak belakang dengan seruan golputnya beberapa bulan lalu. Seruan golputnya yang terdahulu seolah-olah tak pernah ada. Ya, begitulah Gus Dur. Publik sudah paham betul dan tak heran lagi akan manuver-manuver jurus mabuknya yang seringkali keluar dari jalur kelaziman. Seorang kawan punya istilah baru untuk itu. Sang Begawan itu ibarat supir bajaj. Tak ada yang tahu kapan sebuah bajaj hendak belok ke kanan, ke kiri atau bahkan berhenti. Tak ada yang bisa memprediksi langkah-langkah politik Gus Dur. Hal itu juga mungkin bagian dari rahasia Tuhan.

Silaturrahim Sandiwara

Silaturrahmi atau silaturrahim, sih? Entahlah, saya tak begitu ahli dalam urusan bahasa Arab itu meski saya lebih menyukai menggunakan istilah kedua. Hal yang saya tahu, kata itu seringkali disebut atau digunakan saat Lebaran dan ketika menjelang pemilihan umum (pemilu). Bedanya, silaturrahmi (atau silaturrahim) saat Lebaran terjadi sekali dalam setahun. Dan, ketika menjelang pemilu, terjadi sekali dalam lima tahun.

Bagi orang kampung, tradisi bersilaturrahim saat Lebaran berarti berkunjung atau bertamu ke sanak saudara, tetangga, rekan kerja, dan lain-lain. Tujuan utamanya adalah bersalaman dan saling memohon maaf atas segala kesalahan yang telah diperbuat, sengaja atau tidak sengaja. Pada saat itu, seseorang bisa bersilaturrahim ke lebih dari dua orang dalam sehari.

Agak berbeda dengan tradisi silaturrahim saat menjelang pemilu. Sama-sama saling berkunjung dan bertamu, namun tujuannya bukan untuk maaf-memaafkan, melainkan membicarakan seputar kekuasaan mana yang dapat direbut. Silaturrahim model ini tentu hanya bisa dilakukan para politikus atau pimpinan partai politik.

Persamaannya, saat itu, seorang politikus bisa bersilaturrahim ke lebih dari dua politikus lainnya dalam sehari. Hari ini, seorang pimpinan parpol A bersilaturrahim dengan pimpinan parpol B, parpol C dan parpol D. Esoknya, petinggi parpol D membalas silaturrahim pimpinan parpol A dengan mengajak ketua umum parpol B dan parpol C.

Di tempat berbeda dan di hari yang sama, ketua dewan syura parpol anu bersilaturrahim dengan ketua dewan penasihat parpol itu. Ikut serta dalam silaturrahim itu sejumlah pejabat teras parpol ini itu. Sesekali, tokoh parpol abal-abal menemui ulama atau pimpinan pesantren anu. Ketua umum ormas angin ribut pun tak lupa dikunjungi si tokoh.

Tak terang betul apa yang mereka bicarakan. Lazimnya, usai pertemuan, para petinggi parpol tersebut mengatakan kepada pers: “Ini hanya silaturrahim (atau silaturrahmi) rutin biasa.” Atau kalimat klise semacam: “Kita mempunyai visi-misi yang sama untuk membangun dan menyejahterakan rakyat, untuk nasib bangsa ke depan.”

Mendekati hari pelaksanaan pesta demokrasi itu, frekuensi silaturrahim makin diintensifkan. Terkadang, partai anu yang sebelumnya ikut serta karena dinilai satu visi-misi, belakangan tak lagi diajak lantaran dianggap sudah berbeda visi-misi. Hal yang disampaikan kepada para jurnalis pun sedikit lebih maju meski kerapkali juga masih terdengar klise. “Kita sepakat untuk bekerja sama dalam satu koalisi demi kesejahteraan rakyat.” Atau kata-kata klise lain seperti: “Kami sama-sama menginginkan perubahan di negeri ini.”

Rakyat memang tak lagi bodoh untuk sekedar menebak apa maksud sebenarnya dari silaturrahim antar-petinggi parpol atau jalinan koalisi antar-parpol itu. Rakyat bisa mengira-kira, pastinya tak jauh-jauh dari urusan kekuasaan; bagaimana caranya meloloskan pasangan capres-cawapres ini sekaligus menghadang manuver pasangan capres-cawapres itu; kami dapat jatah menteri ini itu dan kalian dikasih pos menteri itu ini. Namun, di sisi lain, rakyat masih tidak terlalu paham bahwa jalinan koalisi itu mestinya juga menghasilkan kesepakatan tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana cara mewujudkannya.

Mewujudkan kesejahteraan rakyat? Ah, tak usah diungkapkan. Rakyat sudah tahu bahwa kekuatan politik dan kekuasaan politik yang diperebutkan parpol-parpol itu semestinya memang untuk menyejahterakan rakyat. Perubahan ke arah yang lebih baik? Pastinya, rakyat tak menghendaki sebaliknya.

Rakyat memang harus sejahtera. Tapi, bagaimana merealisasikannya, butuh langkah-langkah strategis dan kebijakan-kebijakan yang mengena. Di situlah letak tugas dan peran parpol atau koalisi parpol melalui kader-kadernya di pemerintahan atau di parlemen. Satu parpol yang tak punya dukungan mayoritas rakyat mesti membutuhkan rekan kerja. Maka itu, dibuatlah jalinan kerja sama dalam sebuah koalisi. Tapi, koalisi itu pun harus jelas program kerja atau program yang akan dikerjakan. Jika tidak, berarti itu koalisi omong kosong yang memang murni hanya untuk bagi-bagi jatah kekuasaan.

Parpol mungkin merasa beruntung karena rakyat tak menuntut lebih dari jalinan koalisi yang dibangun itu. Namun, cepat atau lambat, parpol model begini pasti akan ditinggalkan pendukungnya. Cepat atau lambat juga rakyat pasti paham bahwa silaturrahim menjelang pemilu itu adalah silaturrahim sandiwara semata. Rakyat pun akan mengerti bahwa para elit politik itu sejatinya tak pernah sungguh-sungguh memikirkan nasib mereka.