Manuver “Supir Bajaj”

“Gus Dur Beri Dukungan kepada Megawati.” Begitu ditulis sebuah media online pada Kamis, 23 April 2009. Setengah kaget—meski setengahnya lagi biasa-biasa saja—saat membaca beritanya. Setengah kaget karena Megawati, bagi Gus Dur, bukan orang asing. Gus Dur pernah “mesra”, juga “sakit hati” saat Megawati bersedia menggantikan posisinya sebagai presiden melalui Sidang Istimewa MPR pada Juli 2001.

Dalam beberapa kesempatan, Abdurrahman Wahid atau lebih populer disapa Gus Dur itu mengaku tak pernah melupakan peristiwa lepasnya kedudukannya sebagai presiden beberapa tahun silam. Megawati yang juga Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu disebut-sebutnya turut “membantu” kelengseran dirinya dari kursi kepresidenan—selain juga Amien Rais.

Tapi, memang, bukan Gus Dur namanya kalau tidak kontroversi. Bukan sekali ini Gus Dur menyatakan dukungannya pada seseorang sebagai calon presiden (capres) sepanjang rangkaian penyelenggaraan Pemilu 2009. Belum sepekan merapat ke Megawati, Gus Dur juga mengaku mendukung Susilo Bambang Yudhoyono. Dukungannya pada Ketua Umum Dewan Pembinan Partai Demokrat itu bersyarat, yakni Yudhoyono harus bersedia berdampingan dengan dr Emir Soendoro sebagai wakil presiden. Emir sendiri adalah dokter spesialis bedah tulang (ortopedi) pada Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang juga menantu ekonom Wijoyo Nitisastro dan dikenal sebagai pejuang buruh.

Pada masa kampanye Pemilu Legislatif lalu, tokoh panutan warga Nahdlatul Ulama (NU) itu sempat bergabung dan menjadi juru kampanye Partai Gerakan Indonesia Raya pimpinan Prabowo Subianto. Kendaraan politik besutannya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), pun ditinggalkannya. Selama masa kampanye, PKB nyaris tak disentuhnya sama sekali meski ia masih tercatat sebagai Ketua Umum Dewan Syura.

Hanya itu yang didukung Gus Dur? Tidak. Nama-nama seperti, Ketua Umum DPP Partai Hati Nurani Rakyat, Wiranto; Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional, Sutrisno Bachir; Ketua Majelis Syura Partai Bulan Bintang, Yusril Ihza Mahendra dan mantan Menteri Koordinator Perekonomian, Rizal Ramli, pun pernah mendapat dukungan Gus Dur untuk menjadi capres.

Bagi sebagian orang, manuver itu dianggap sebagai langkah inkonsistensi, tak punya pendirian. Tapi, bagi saya, itu tak penting. Toh, dari dulu ia memang dikenal kerap bermanuver di luar pakem atau di luar kelaziman, hingga kemudian muncul istilah “Jurus Mabuk” untuk menyebut langkah-langkah kontroversinya itu. Hal yang lebih penting daripada sekedar soal konsistensi atau inkonsistensi itu adalah apa yang diinginkannya. Mari kita cari tahu!

Saya yakin, Gus Dur sangat paham kondisi terkini di lingkungan NU berikut partai-partai berbasis massa pendukung warga NU, misal, PKB, Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ia sadar betul bahwa Pemilu 2009 ini bukan lagi arena permainan bagi NU. PKB dan PPP tak lagi memiliki posisi tawar yang kuat di arena politik nasional menyusul anjloknya perolehan suara keduanya pada Pemilu Legislatif lalu. PKNU, partai baru sempalan PKB itu, pun terancam tak lolos parliamentary threshold (ambang keterwakilan sebuah partai politik di parlemen).

Tokoh-tokoh NU pun tak lagi dilirik untuk turut meramaikan bursa capres atau cawapres. Hal tersebut berbeda jauh dengan kondisi pada Pemilu 2004. Saat itu, PKB meraih 10,57 persen dan menempatkan 52 wakilnya di DPR RI. Sementara, PPP meraih 8,2 persen suara dengan jumlah kursi di DPR RI sebanyak 58 kursi. Terdapat sedikitnya tiga tokoh NU yang bersaing pada Pemilu Presiden 2004—meski semuanya gagal, antara lain, Hasyim Muzadi (cawapres Megawati Soekarnoputri), Solahuddin Wahid (cawapres Wiranto) dan Hamzah Haz (capres yang berdampingan dengan Agum Gumelar). Gus Dur pun sempat mencalonkan, namun tak memenuhi persyaratan.

Pilihannya, NU mau jadi penonton atau tetap bermain? Bagi Gus Dur, tak ada istilah jadi penonton. NU harus tetap bermain meski kemampuan yang dimiliki terbatas, bahkan sangat terbatas. “Partai-partai NU” mau memilih jadi penonton aktif dalam pengertian oposisi, jelas bukan posisi yang menguntungkan karena memang tak lagi mempunyai posisi tawar yang kuat. Apalagi menjadi penonton pasif yang memang cukup menonton saja. Jauh sebelum Pemilu digelar, Gus Dur menyatakan bakal maju sebagai capres. Ia sadar betul bahwa jalan menuju itu sudah tertutup baginya. Sikap politik tersebut lebih pada upaya menaikkan posisi tawar dirinya dan kekuatan NU secara keseluruhan.

Ia seperti punya seribu cara untuk terus bermain. Gus Dur pun memainkan isu seruan untuk golput atau tidak menggunakan hak pilih pada Pemilu kali ini. Penyelenggara pemilu juga ditudingnya tak siap melaksanakan pesta demokrasi itu sehingga harus diundur. Kasus dugaan kecurangan dalam Pilkada Jatim pada akhir 2008, menjadi salah satu alasannya. Suaranya ternyata masih didengar, bahkan ajakannya juga masih diikuti. Sebagian kalangan, terutama kalangan nonparpol, menyambut isu yang dimainkannya.

Gus Dur tak lagi punya kendaraan politik. PKB sudah ditinggalkannya. Di struktural NU pun ia tak jadi apa-apa. Tapi, alhasil, kini hanya dia tokoh NU yang dilirik sejumlah parpol maupun beberapa elit parpol, tak ada lagi selain dia. Semua tiarap atau setidaknya memilih diam. Memang bukan untuk menjadi capres atau cawapres, tapi setidaknya turut menentukan jalannya Pemilu Presiden nanti. Perkembangan terkini, sejumlah pihak yang selama ini berseberangan dengan penguasa, mengikutsertakannya dalam kelompok yang disebut kelompok Teuku Umar. Bahkan, menyusul “perceraian” Partai Demokrat dengan Partai Golkar, PDIP merasa harus melibatkan Gus Dur dalam rapat internalnya. Padahal, Gus Dur jelas sekali bukan bagian dari PDIP.

Babak baru dari manuver Gus Dur dimulai lagi. Saat menyatakan dukungannya pada Megawati, Gus Dur pun mengaku tak golput dan tak pernah golput meski publik mengetahui ia baru saja menjalani perawatan kesehatan selama beberapa pekan di Bangkok, Thailand. Pernyataannya tersebut sama sekali bertolak belakang dengan seruan golputnya beberapa bulan lalu. Seruan golputnya yang terdahulu seolah-olah tak pernah ada. Ya, begitulah Gus Dur. Publik sudah paham betul dan tak heran lagi akan manuver-manuver jurus mabuknya yang seringkali keluar dari jalur kelaziman. Seorang kawan punya istilah baru untuk itu. Sang Begawan itu ibarat supir bajaj. Tak ada yang tahu kapan sebuah bajaj hendak belok ke kanan, ke kiri atau bahkan berhenti. Tak ada yang bisa memprediksi langkah-langkah politik Gus Dur. Hal itu juga mungkin bagian dari rahasia Tuhan.

1 Response to "Manuver “Supir Bajaj”"

suryaden mengatakan...

setuju saya, juga move Sang Begawan itu tidak lain juga untuk warga nahdliyin yang juga beragam, bukan itu saja peta kekuatan politik saat ini dalam hitungan detik sudah berubah-ubah, dan sang Begawan masih menunjukkan bahwa dirinya masih bisa mengikuti dan mengambil sikap, bagi lawan politik memang hal seperti itu perlu dicermati dan berusaha melawan dengan memberikan statemen yang negatif kepadanya

Posting Komentar