‘Koalisi Besar’ versus ‘Monster Gratisan’

Google akan membatasi konten berita. Begitu ditulis sejumlah media massa (setidaknya di empat media online nasional yang saya baca: Detikinet.com [sub domain Detik.com], Okezone.com, Kompas.com, dan Antaranews.com) bebeberapa hari belakangan.

Berita seputar itu tentu bukan kabar menggembirakan bagi siapa pun yang selama ini lebih memilih media online untuk mengakses beragam informasi melalui dunia maya. Apa pasal? Situs mesin pencari terpopuler sejagat itu nantinya tak bakal menggratiskan semua konten berita yang ditemukan. Sederhananya, membaca informasi/berita di situs berita yang ditemukan melalui Google, harus membayar.

Kebijakan tersebut diambil Google setelah raksasa internet itu dituduh mengambil keuntungan dengan mengindeks konten berita dari sejumlah media online atau koran dan majalah yang juga memiliki layanan internet.

Raja media massa, Rupert Murdoch-lah yang memelopori ‘gerakan anti-gratisan’ membaca berita di internet, terutama melalui Google. Murdoch yang merupakan pemilik kerajaan media massa: News Corporation, mengatakan, ''Konsumen harus tahu. Dan, kita harus memberi tahu mereka, bahwa berita dan informasi yang berkualitas itu tidak bisa gratis. Jurnalisme yang berkualitas adalah komoditas mahal.''

Dia mengatakan hal itu pada forum yang diselenggarakan Komisi Perdagangan Federal Amerika Serikat (AS) di Washington DC, Selasa, 1 Desember 2009.

Google pun keder, terutama setelah Murdoch mengancam akan memblokir Google dari seluruh media massa yang berada di bawah kekuasaan kerajaannya. Selanjutnya, Google akan menyediakan mekanisme agar para pembuat konten (situs berita) bisa menetapkan jumlah batasan berapa kali artikelnya bisa dibaca secara gratis melalui mesin telusur Google.

Mekanisme itu disebut Google sebagai program First Click Free. Pembuat konten bisa membatasi akses pembaca bukan pelanggan, terhadap konten berita berlangganan mereka. Pembaca yang mengklik berita lebih dari lima artikel dalam sehari, akan segera diarahkan ke laman registrasi pembayaran atau berlangganan.

Ini bukan sekedar persoalan perlindungan terhadap hak cipta, seperti yang disebut Murdoch sebagai upaya tidak menghargai "…berita-berita yang kami peroleh secara mahal dari para jurnalis ternama yang mencurahkan waktu selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan untuk menulis artikel-artikel mereka.” Tapi, lebih dari itu adalah perkara bisnis semata.

Murdoch boleh saja berdalih atas dasar undang-undang tentang hak cipta, Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Propertyrights - TRIPs), atau Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra (Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works).

Toh, tak semua orang sependapat dengan keberadaan hak cipta. Kritikan-kritikan terhadap hak cipta juga tak pernah sepi. Sedikitnya, kritik atas hak cipta secara umum dibedakan menjadi dua sisi, yaitu sisi yang berpendapat bahwa konsep hak cipta tidak pernah menguntungkan masyarakat serta selalu memperkaya beberapa pihak dengan mengorbankan kreativitas; dan, sisi lain yang berpendapat bahwa konsep hak cipta sekarang harus diperbaiki agar sesuai dengan kondisi sekarang, yaitu adanya masyarakat informasi baru (the ‘new information society’).

Keberhasilan proyek perangkat lunak bebas seperti Linux, Mozilla Firefox, dan Server HTTP Apache telah menunjukkan bahwa ciptaan bermutu dapat dibuat tanpa adanya sistem sewa bersifat monopoli berlandaskan hak cipta. Produk-produk tersebut menggunakan hak cipta untuk memperkuat persyaratan lisensinya, yang dirancang untuk memastikan kebebasan ciptaan dan tidak menerapkan hak eksklusif yang bermotif uang; lisensi semacam itu disebut copyleft (lawan dari copyright) atau lisensi perangkat lunak bebas.

Maka, sikap Murdoch dan kawan-kawan pengusaha media massa lainnya—terutama media cetak—sejatinya lantaran mereka merasakan keuntungan finansial dari bisnisnya mulai menurun seiring kemajuan pesat dunia internet. Dan, Google yang lebih siap menghadapi kemajuan itu, dianggap monster yang berpotensi menghabisi imperium media Murdoch. Intinya dan yang paling utama adalah persaingan bisnis. Itu saja.

Ini bukan analisis tanpa dasar. Sebab, belakangan, Murdoch, juga koran dan surat kabar, memang mulai mencari cara baru untuk menghasilkan uang melalui konten online. Hal itu utamanya seiring dengan merosotnya sirkulasi dan keuntungan dari pengiklan.

Bahkan, Murdoch dikabarkan juga menggandeng perusahaan piranti lunak (software) terbesar di dunia, Microsoft, yang dimiliki Bill Gates. Murdoch akan meng-indeks-kan informasi/berita/artikel apa pun dari media yang berada di bawah kekuasaannya pada mesin telusur besutan Microsoft: Bing. Untuk mengaksesnya (melalui Bing), tentu para pembaca harus membayar alias tidak gratis. Sebagai konsekuensinya, Murdoch akan memblokir alias menghilangkan index link informasi apa pun dari medianya di Google. Atau, Google juga harus melakukan hal serupa seperti yang dilakukan media-media Murdoch dengan Bing.

Selain itu, dikutip dari Vivanews.com, salah satu publisher website yang didekati Microsoft, mengatakan bahwa Microsoft menawarkan sebuah opsi di mana Microsoft bisa memberikan 'harga yang tinggi' bila mereka bersedia untuk meng-indeks-kan link-link konten mereka ke Yahoo. "Ini dilakukan Yahoo untuk memotong margin Google," kata sumber publisher itu. Padahal, Yahoo pernah mempermalukan Gates karena menolak tawaran akuisisi oleh Microsoft.

Jika terwujud, kerja sama Microsoft (pemilik Bing) dengan News Corporation (induk perusahan media milik Murdoch) itu tentu akan menjadi ‘koalisi besar’ menghadapi ‘monster gratisan’. Sebab, Microsoft—meski tetap menjadi pemain utama (dan terbesar) di bidang piranti lunak—belakangan mulai disibukkan menghadapi pesaing potensial. Pesaing itu bukan datang dari perusahaan piranti lunak berbayar (serupa Microsoft atau Macintosh), melainkan dari perusahaan piranti lunak sumber terbuka (open source) alias gratisan, semacam Linux atau Mozilla Firefox.

Maka, jelas sekali bahwa yang dianggap biang keroknya adalah segala sesuatu yang gratisan. Kalau bagi Murdoch: “tak ada berita gratis”, maka, bagi Gates: “software gratisan? Ke laut aje!”

Bagi Gates atau Murdoch, pesaing sekecil apa pun, tetap menjadi ancaman bagi eksistensi kerajaan bisnisnya. Apalagi pesaing itu besar atau setidaknya berpotensi besar, tentu tak boleh dibiarkan hidup atau berkembang.

Sampai di sini, sangat benar teori Karl Marx tentang komoditas yang dicetuskan lebih dari satu abad lalu. Menurut Marx, komoditas (atau barang/produk yang diperjual-belikan), dalam sistem ekonomi kapitalisme, sejatinya bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat/manusia, melainkan murni untuk menghasilkan keuntungan ekonomis: uang. Sederhananya, seseorang memproduksi komoditas bukan karena masyarakat/manusia butuh, melainkan agar komoditas tersebut menghasilkan uang melalui proses jual-beli.

Perilaku ekonomi masyarakat kapitalisme semacam itulah, yang disebut Marx sebagai “keadaan sosial yang menentukan kesadaran sosial”. Keadaan sosial, dalam pengertian sistem ekonomi yang berlaku dalam sebuah masyarakat, merupakan faktor yang memengaruhi kesadaran sosial masyarakat itu.

Masyarakat—terutama masyarakat modern—memang sangat membutuhkan informasi. Tapi, bagi Murdoch (dan tentu pengusaha/kapitalis lainnya), masyarakat itu adalah pihak yang dapat menghasilkan keuntungan: uang, sehingga dibuatlah beragam media massa.

Maka, omong kosong dan peduli setan dengan hak cipta. Andai tak ada undang-undang atau konvensi tentang hak cipta pun, tentu bukan masalah, asalkan sebuah komoditas tetap bisa menghasilkan untung. Semisal tak ada undang-undang atau konvensi tentang hak cipta, Murdoch pasti tak keberatan jika Google menampilkan secara gratis berita yang dihasilkan dari kelompok media News Corporation, sepanjang tetap bisa dapat uang. Kakek 78 tahun yang telah menikah tiga kali; dua di antaranya berakhir dengan perceraian itu pun tak bakal peduli dengan urusan copy-paste selama sirkulasi dan keuntungan dari pengiklan pada medianya tak merosot.