PKB yang Nyaris Tak Terdengar

Kalau ada lembaga survei yang melakukan penelitian tentang kata apa yang paling populer beberapa pekan belakangan ini, hasilnya pasti kata “koalisi”. Tak salah. Media massa nasional—cetak, elektronik maupun online—selalu menempatkan topik seputar koalisi antarparpol sebagai salah satu laporan utamanya. Obrolan di warung kopi pun, sedikit atau banyak, mesti terselip topik serupa. Aktivitas partai politik (parpol) maupun mobilitas elitnya memang sedang tinggi-tingginya.

Tapi, tidak dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Adem-ayem, cool, dan nyaris tak terdengar. Kalimat itu kiranya tepat sekali untuk menggambarkan sikap politik PKB belakangan ini. Maklum saja, ia sudah mantab memutuskan untuk berkoalisi dengan Partai Demokrat (PD). Bahkan, sinyal untuk merapat ke parpol pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono itu sudah tampak sebelum Pemilu Legislatif (Pileg) digelar.

Keputusan koalisi terlihat tak dapat diganggu-gugat lagi setelah PD memenangi Pileg pada 9 April lalu. Tekad semakin bulat. Apalagi Yudhoyono yang juga Presiden RI masih disebut-sebut sebagai tokoh terkuat kandidat calon presiden (capres)—setidaknya oleh beberapa lembaga survei. Partai Keadilan Sejahtera, yang sempat mengancam bakal membatalkan rencana koalisinya dengan PD, sama sekali tak menggoyahkan pendirian PKB. Ia pun tetap bergeming menyusul “perceraian” PD dengan Partai Golkar (PG)

PKB seolah cuek dengan akrobat politik sejumlah elit parpol yang sibuk bersilaturrahim untuk menjajaki kemungkinan koalisi. Partai besutan mantan presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur itu pun seakan tak terpengaruh ribut-ribut di internal parpol lain, semacam PG, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan lain-lain.

Hal itu tentu dapat dipahami karena PKB sudah kenyang ribut-ribut. Bayangkan saja, sejak didirikannya pada 1998 silam, parpol berbasis massa pendukung kalangan nahdliyin (warga Nahdlatul Ulama/NU) itu tak pernah sepi dari keributan atau konflik internal. Konflik terakhir antara Ketua Umum Dewan Tanfidz-nya, Muhaimin Iskandar, dengan Ketua Umum Dewan Syura-nya, Gus Dur, baru mereda beberapa bulan menjelang Pileg.

Sebagai parpol yang cukup berpengalaman dalam hal konflik, PKB lebih memilih jalur aman. Nyaris tak ada manuver berisiko tinggi atau berbahaya. Dan, PKB tentu tak akan membiarkan kembali terjadi keributan di dalam di saat menjelang Pemilu Presiden (Pilpres) yang akan dihelat pada Juli 2009 nanti. Jika tidak demikian, partai tersebut pastinya bakal tak memperoleh apa pun usai Pemilu Presiden mendatang. Menjadi oposisi, pilihan yang jelas sangat dihindari PKB.

Selain itu, PKB juga tak lagi memiliki banyak modal untuk tawar menawar dengan parpol lainnya. Pasalnya, ia menempati urutan ketujuh dalam sepuluh besar perolehan suara nasional Pileg 2009. Perolehan suaranya anjlok. Hampir separuh suara yang didapatnya pada Pemilu 2004 hilang. Jatah kursinya di DPR RI pun turut berkurang banyak. Beruntung ia masih lolos parliamentary threshold (ambang keterwakilan sebuah partai politik di parlemen).

PKB juga sedang krisis figur yang ‘layak jual’. Gus Dur, yang masih menjadi panutan kalangan nahdliyin, terlihat tak lagi membutuhkan PKB sebagai kendaraan politik. Bahkan, belakangan ia bermanuver dengan merapat ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan serta menyatakan mendukung Megawati Soekarnoputri sebagai capres. Figur Muhaimin tentu tak dapat disejajarkan dengan nama besar Gus Dur. Sebelum Pemilu Legislatif, PKB sempat coba-coba menyandingkan nama Muhaimin dengan “Raja” Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono. Sayangnya, nyaris tidak ada respons dari masyarakat umum maupun konstituennya.

Tapi, langkah PKB untuk bergabung dengan PD dan parpol lainnya bukan berarti pilihan yang benar-benar aman. Apa sebab? Sekali lagi, PKB adalah partai yang cukup berpengalaman dalam hal konflik. Makna sesungguhnya ialah partai berlambang bola dunia yang dikelilingi sembilan bintang itu sangat rapuh dan gampang sekali terjadi konflik internal. Meski gejolak sudah reda, bukan tidak mungkin jika di tengah perjalanannya nanti konflik internal kembali pecah.

Perlu diingat, perseteruan antara Muhaimin dengan Gus Dur belum benar-benar selesai. Sesuai putusan Mahkamah Agung yang mengembalikan kepengurusan DPP PKB pada keputusan Maktamar PKB di Semarang, Jawa Tengah, pada 2005, Gus Dur masih tercatat secara sah sebagai Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB. Namun, perannya perlahan mengecil karena tak lagi terlihat dalam pengambilan keputusan partai. Bukan sesuatu yang mustahil hal itu akan dipersoalkan dalam muktamar partai nantinya dan kembali memicu konflik. Belum lagi permasalahan anjloknya suara partai.

Persoalan jalinan koalisi dengan PD beserta parpol lainnya juga menyimpan potensi masalah tersendiri bagi PKB. Diketahui bersama, di negeri ini tak pernah ada koalisi parpol yang benar-benar solid, entah itu koalisi parpol pemerintah atau koalisi parpol oposisi. Pasalnya, koalisi tidak pernah dibangun berdasarkan ideologi dan platform masing-masing parpol. Anggap saja koalisi PKB dengan PD nantinya menjadi koalisi parpol penguasa. Sementara PKB belum bisa menyelesaikan urusannya di dalam dan terus berkonflik, tentu hal itu adalah kondisi yang tidak menguntungkan bagi bangunan koalisi. Padahal, koalisi dibangun agar terbentuk mitra kerja yang solid dan penyokong utama setiap kebijakan pemerintah.

Hal terburuk bila yang terjadi justru sebaliknya, yakni PKB menjadi bagian dari koalisi oposisi karena kalah dalam Pilpres. Sudah pasti itu adalah bahan baru yang dapat jadi picu konflik. Pihak-pihak yang sebelumnya tersingkir dari kepengurusan, sudah barang tentu akan memanfaatkan isu tersebut untuk “balas dendam”. Jika itu terjadi, maka PKB cukup menghitung hari.

Namun, di luar perihal nantinya berhasil menjadi bagian dari koalisi pemerintah atau tidak, PKB harus secepatnya berbenah dan menata diri. Setidaknya mulai merancang dan membangun sistem organisasi partai yang rapi sekaligus memperkecil ruang konflik. Sebab, diakui atau tidak, konflik yang terjadi selama ini sangat menguras energi partai. Akibatnya, anjloknya suara partai menjadi tak terelakkan.

Perolehan suara nasional yang tidak menggembirakan sesungguhnya merupakan peringatan terakhir bagi PKB agar kembali ke cita-cita awal didirikannya, yakni memperjuangkan kepentingan nahdliyin pada khususnya. Partai sempalannya, Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), yang sebelumnya diharapkan menjadi jawaban atas keruwetan di PKB, dipastikan tidak lolos parliamentary threshold. Itu artinya PKNU tak bisa mengikuti Pemilu 2014, kecuali berganti nama.

No Response to "PKB yang Nyaris Tak Terdengar"

Posting Komentar