Banteng Moncong Putih Itu Muak di Luar Kandang Terus

Seorang pengamat politik mengaku muak melihat perilaku sejumlah elite politik belakangan ini. Tak jelas, mencla-mencle, tidak punya pendirian, mau ke sana, juga mau ke sini, terima tawaran dari sana, pun tak menolak tawaran dari sini. Kira-kira begitulah gambaran sederhananya.

Puncak kemuakan itu mungkin terjadi saat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mulai melakukan pendekatan terhadap Partai Demokrat (PD). Itu sebuah manuver yang tak disangka-sangka dan tak diduga sama sekali. Padahal, pemimpin masing-masing partai itu, Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono, ibarat air dan minyak. Susah disatukan.

Publik ingat betul bahwa sepanjang lima tahun terakhir, Banteng Moncong Putih itu tak pernah absen mengeritik kebijakan partai penguasa, yakni PD. Maklum, sang Banteng sedang berstatus sebagai partai oposisi. Megawati pun tak kurang galak melancarkan serangan terhadap Yudhoyono yang juga mantan rivalnya di Pemilu Presiden 2004 silam.

Saya ingat betul sebait kalimat yang lantang diucapkan Megawati di hadapan ribuan konstituennya di salah satu kota di Jawa Timur, beberapa waktu silam. “… Sekarang kalian bisa lihat, apakah si ‘Ganteng’ itu membuat perubahan di negeri ini? Tidak,” ujarnya. Tak ada media massa yang menulisnya. Tapi, saya paham, pernyataan itu sesungguhnya ditujukan pada Yudhoyono. Tak ada kesimpulan lain kecuali bahwa Yudhoyono, bagi Megawati, enggak banget.

Kini, Megawati “main mata” dengan Yudhoyono. Bahasa sederhananya, PDIP ingin bergabung dengan koalisi yang dimotori PD. Ia seakan lupa bahwa pada Jumat, 1 Mei lalu, dirinya telah menandatangani naskah kesepakatan Koalisi Besar bersama 7 parpol lainnya: Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Hanura, PKNU, PDS, PPNUI dan Partai Buruh. Padahal, tinta tandatangan itu belum juga kering. Ingatan publik pun masih segar.

Tak terang betul apa motifnya. Tapi, yang jelas, PDIP yang perolehan suaranya hanya 14,03 persen itu tak bisa mengajukan capres dan cawapres sendiri. Itu artinya, jalan bagi Megawati untuk menuju RI 1 mengalami kendala. Koalisi yang dijalin dengan Partai Gerindra untuk memperoleh tiket 20 persen syarat pengajuan capres-cawapres, mengalami jalan buntu.

Sang Banteng pun mulai berhitung. Tiket susah diraih. Koalisi tak ada kemajuan. Melawan Yudhoyono sepertinya bukan lagi ide cerdas. Kekalahan untuk kedua kalinya sudah tampak di depan mata. Sampailah pada kesimpulan bahwa tak mungkin lagi terus berada di luar kekuasaan menjadi oposisi yang tak mendapatkan apa-apa. Banteng Moncong Putih itu cukup muak terus berada di luar kandang selama lima tahun. Sementara, ia sangat tahu rumput di dalam kandang lebih hijau daripada di luar.

Sampai pula pada satu keputusan, ketua umumnya tak lagi jadi presiden, tak masalah, asalkan masih bisa menikmati kue kekuasaan. Konon, datanglah tawaran cukup menggiurkan bagi sang Banteng yang akan diberi 5-7 kursi menteri jika mau bergabung dengan PD. Alhasil, (terancam) buyarlah koalisi besar itu.

Adagium yang menyatakan bahwa dalam politik, tak ada kawan abadi, juga tak ada lawan abadi, tampaknya memang selalu terbukti. Sekarang menjadi kawan, esok bisa jadi lawan. Begitu juga sebaliknya. Benar pula ungkapan para elite itu bahwa sesuatu yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin saat bertemu pada satu kepentingan yang sama. Selama alasan 'demi kepentingan yang lebih besar' itu bukan barang haram, tak ada masalah jika mau mencla-mencle.

1 Response to "Banteng Moncong Putih Itu Muak di Luar Kandang Terus"

tikno mengatakan...

Alinea terakhir posting ini adalah yang paling tepat untuk menggambarkan dunia perpolitikan

Posting Komentar