NU di Tangan Kiai Sahal-Kang Said (bagian satu)

Aula utama Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan, sore itu, mendadak riuh. Euforia pecah seketika tatkala KH Hasyim Muzadi menyatakan tidak bersedia dicalonkan sebagai rais aam (pemimpin tertinggi) Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2010-2015. Ragam selebrasi tercurah sesaat setelah KH Sahal Mahfudz ditetapkan secara aklamasi sebagai Rais Aam ketiga kalinya. Ada semacam ekspresi kegirangan luar biasa di beberapa sudut arena Muktamar ke-32 itu. Seperti sebuah raihan kemenangan yang sudah begitu lama diimpikan.

Pertanda harapan baru bagi masa depan NU? Tak perlu buru-buru menjawabnya. Sebab, selebrasi dan ekspresi kegirangan itu (sepertinya) bukan karena Kiai Sahal terpilih kembali, melainkan lantaran Hasyim batal menduduki posisi tertinggi dan terhormat di organisasi itu. Perkara kesenioran, kesalehan, kealiman dan ketokohan serta kewibawaan Kiai Sahal, tak ada yang meragukan. Karena itulah, Pengasuh Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati, Jawa Tengah, tersebut dianggap paling pas menempati posisi rais aam—sebuah tradisi yang tak pernah berubah sejak organisasi itu didirikan pada 1926 silam.

Tapi, masalahnya, selama dua periode alias 10 tahun terakhir menjabat Rais Aam, ia nyaris absen dari aktivitas ke-Syuriyah-an. Alhasil, selama itu pula, Hasyim lebih mendominasi kepemimpinan di organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia itu. Hasyim layaknya pemain tunggal yang lepas dari kendali Kiai Sahal. Tudingan kerap membawa NU ke wilayah politik praktis, seolah telah menjadi predikat yang tak bisa dipisahkan dari diri Hasyim selama dua periode menjabat Ketua Umum Tanfidziyah PB NU.

Kevakuman lembaga Syuriyah sebagai akibat absennya Kiai Sahal selama dua periode itu barangkali merupakan imbas superioritas (almarhum) KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sepanjang tiga periode atau 15 tahun sebelumnya menjabat Ketua Umum Tanfidziyah. Pada masa itu, Syuriyah meredup. Peran dan fungsinya tergantikan sepenuhnya oleh Tanfidziyah di tangan Gus Dur. Kepemimpinan Gus Dur sangat dominan. KH Ali Yafie, yang menduduki posisi Rais Aam sepeninggal KH Ahmad Siddiq, rupanya tak mampu mengimbangi pengaruh Gus Dur yang sangat kuat.

Tapi, Gus Dur bukanlah Hasyim. Keduanya punya karakter pribadi dan karakter kepemimpinan yang jauh berbeda. Diakui atau tidak, Hasyim tak sekuat Gus Dur. Hasyim pun bukan tipe pribadi pemimpin yang ‘susah diatur’ seperti Gus Dur. Karena itu, Kiai Sahal semestinya bisa lebih leluasa menjalankan perannya. Upaya mengembalikan supremasi dan kewibawaan lembaga Syuriyah, sejak mula ia diduetkan dengan Hasyim dalam Muktamar ke-30 di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, pada 1999 lampau, bukanlah perkara yang teramat sulit. Namun, hal itu tidak terjadi hingga 10 tahun kemudian.

Sempat mengemuka wacana mengembalikan supremasi Syuriyah. Muncul kemudian gagasan tentang metode pemilihan secara khusus rais aam dan wakil rais aam oleh para muktamirin (peserta Muktamar). Lalu, kepengurusan lengkap Syuriyah memilih ketua umum Tanfidziyah dari sejumlah calon usul para muktamirin. Namun, gagasan tersebut tak sampai terwujud.

Seandainya pun gagasan tersebut terwujud, sepertinya bakal sia-sia saja. Sebab, dalam Anggaran Rumah Tangga NU telah ditegaskan bahwa Syuriyah adalah pimpinan, pengendali dan pengelola organisasi. Pada Pasal 21 ayat 3 dijelaskan: “Apabila keputusan suatu perangkat NU dinilai bertentangan dengan ketentuan jamiyah, terutama ajaran Islam, Syuriyah, atas keputusan rapatnya, dapat membatalkan keputusan atau pun langkah perangkat tersebut.”

Aturan tersebut sudah cukup memenuhi bagaimana seharusnya Syuriyah berperan. Syuriyah tampak berkuasa penuh atas Tanfdziyah. Namun, pada kenyataannya terlihat tidak terlalu efektif, baik sebagai pengendali atau pun pengelola organisasi. Syuriyah, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, tampak pasif. Akibatnya, langkah-langkah dan kebijakan Tanfidziyah terlihat tanpa kontrol Syuriyah. Tak salah jika ada candaan bahwa peran (pengurus) Syuriyah hanya bertugas sebagai ‘tukang doa’ pada setiap rapat maupun kegiatan-kegiatan organisasi. Seorang rais aam atau pun rais seolah sebatas simbol tanpa makna.

Keadaan yang demikian tentu tak boleh diulang pada lima tahun mendatang. Tiga kali sudah kesempatan diberikan pada Kiai Sahal. Tak ada alasan lagi bagi lembaga Syuriyah untuk terus berada pada posisi subordinat di bawah Tanfidziyah. Apalagi KH Said Aqil Siroj, yang dipercaya mengendalikan kemudi Tanfidziyah, dianggap bisa bekerja sama dengan Kiai Sahal. Kang Said—panggilan akrabnya, meski sedikit liberal, tapi ia tak punya karakter untuk memosisikan Tanfidziyah berhadap-hadapan dengan Syuriyah.

KH Wahab Hasbullah dapat dijadikan salah satu contoh figur ideal seorang Rais Aam. Bapak Pendiri NU setelah Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari itu, selain memiliki unsur kedalaman ilmu agama (dan ilmu pengetahuan lainnya), kesalehan dan ketokohan serta kewibawaan, juga terampil berorganisasi. Rekam jejaknya di dunia organisasi dapat dilihat, di antaranya, menjadi Panglima Laskar Hizbullah, mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkar, organisasi pemuda Islam bernama Nahdlatul Wathan, Ketua Tim Komite Hijaz, dan lain-lain.

Kiai Wahab juga seorang pencetus dasar-dasar kepemimpinan dalam organisasi NU dengan adanya dua badan: Syuriyah dan Tanfidziyah, sebagai usaha pemersatu kalangan tua dengan muda. Kecakapannya dalam urusan diplomasi pun diakui, terutama setelah berhasil membebaskan KH Hasyim Asy’ari dari penjara ketika ditahan pemerintah kolonial Jepang.

Namun demikian, Kiai Sahal pun tak bisa bekerja sendirian. Sebagai pimpinan tertinggi yang mengendalikan seluruh arah gerak organisasi, Rais Aam harus pula disokong awak yang kuat. Pasalnya, di masa mendatang, tantangan yang dihadapi NU makin kompleks. Organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Tanah Air ini harus mampu merespons secara cepat isu-isu kekinian yang menyangkut, misal, ekonomi, sosial, politik, hukum, budaya dan lain-lain. Karenanya, lembaga Syuriyah harus diisi para pakar dan cendekiawan yang mumpuni di bidangnya masing-masing. Singkatnya, Syuriyah, sebagai kepemimpinan kolektif ulama, harus diisi para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Harapannya, NU tak lagi gagap ketika harus merespons satu permasalahan yang menyangkut umat.

Kapasitas dan komposisi Syuriyah yang demikian tentu akan dengan sendirinya dapat mengatasi tugas-tugas utama lembaga itu, yang selama ini justru lebih banyak diperankan Tanfidziyah. Tanfidziyah pun akan memiliki lebih banyak waktu, tenaga dan pikiran untuk berkonsentrasi menjalankan tugas-tugas yang diamanatkan Muktamar. Tanfidziyah, sebagai lembaga pelaksana (eksekutif), harus mampu memainkan peran pengelolaan organisasi, membangun jam’iyah NU dengan program konkret dan terukur, baik program yang bersifat pencerahan, pemberdayaan maupun pembelaan.

Tidak mudah memang untuk mewujudkan obesesi seperti itu. Namun, hal demikian tetap harus dilakukan jika NU hendak menjadikan dirinya sebagai organisasi yang rapi dan modern. Ingat, puluhan juta warga NU yang tersebar di seantero Nusantara, tak mungkin bisa diurus dengan organisasi yang amburadul.

No Response to "NU di Tangan Kiai Sahal-Kang Said (bagian satu)"

Posting Komentar