Mengenal Tuhan Media (bagian 2)

Ilustrasi oplah/tiras. (Sumber: Cohn.files.wordpress.com)

Media cetak

Salah satu pelajaran dasar dalam jurnalistik adalah membuat kalimat judul. Judul yang bagus --selain sesuai dengan kaidah bahasa (Indonesia) yang baik dan benar-- adalah yang provokatif dan bombastis. Bentuknya ada dua macam: judul yang (amat) singkat (tidak lebih dari lima/tujuh kata) dan judul yang cukup panjang (bisa lebih dari sepuluh kata). Untuk hal ini, bisa dilihat sebagai contoh, majalah Tempo dan koran harian Pos Kota.

Provokatif dan bombastis (singkat atau pun panjang) sebuah judul itu sesungguhnya merupakan tujuan antara agar menarik orang untuk membaca isinya. Ia ibarat etalase pada sebuah toko, yang memberikan gambaran isi di dalamnya. Isi atau konten berita/artikel dan pilihan foto/gambar di dalamnya tentu tidak kalah penting daripada sekadar judul. Pokoknya, tujuan sebenarnya ialah agar koran/majalah/tabloid/jurnal tersebut laku dibeli orang.

Karena itu, judul pun turut menentukan (walau pun bukan satu-satunya) oplah (jumlah copy/eksemplar surat kabar atau majalah yang dijual) sebuah media cetak, yang kemudian ikut menentukan pula banyak atau sedikitnya iklan, besar atau kecilnya uang yang masuk ke perusahaan. Sama seperti rating pada media televisi, oplah (disebut juga tiras) juga menentukan keberlangsungan atau hidup-mati sebuah perusahaan media cetak.

Jika di media televisi, bahan jualannya adalah program tayangan/acara, maka di media cetak adalah rubrik. Keberlangsungan rubrik-rubrik tertentu di tiap-tiap halaman pada media cetak juga bagian dari perhitungan oplah. Artinya, makin banyak sebuah halaman dibaca atau diminati pembaca, makin banyak pula iklan terpampang di dalamnya. Misal, koran A membuat rubrik kuliner. Mula-mula, ia akan terlebih dahulu melihat banyak atau sedikit pembacanya, yang hal tersebut akan menentukan harga iklan yang dibanderol. Kalau rubrik tersebut tidak diminati pembaca, maka awak redaksi harus berpikir ulang untuk menggantinya dengan rubrik lain, yang dianggap bakal disukai orang, dan tentu menarik pengiklan.

Oplah atau tiras itulah yang disebut tuhan dalam industri media cetak. Redaksi pasti akan menempatkan kriteria oplah pada urutan teratas dalam mempertimbangkan isi atau konten media cetaknya. Cara berpikirnya begini: kira-kira berita/artikel ini, atau rubrik/halaman ini, bakal menaikkan jumlah oplah atau tidak. Kira-kira berita perselingkuhan artis itu, kalau dijadikan headline (laporan utama) bakal menaikkan angka tiras atau sebaliknya.

Begitu juga pengiklan. Mereka pertama-tama tentu akan melihat angka oplah ketika akan memasang iklan pada media cetak tertentu. Pengiklan pun sangat berkepentingan pada kemampuan si media dalam menjangkau jumlah pembaca sebanyak mungkin terhadap materi iklannya yang ditampilkan di media itu, sehingga ongkos promosinya berpotensi kembali dengan jumlah jauh lebih tinggi.

Koran Kompas (bukan versi digital), misal, yang pada 2011 memiliki sirkulasi oplah rata-rata 500.000 eksemplar per hari, dengan rata-rata jumlah pembaca mencapai 1.850.000 orang per hari yang terdistribusi ke seluruh wilayah Indonesia. [1] Jika jumlah oplah dan pembacanya sebanyak itu, apalagi jangkauan distribusi atau wilayah edarnya se-Indonesia, maka pengiklan tidak ragu untuk memasang iklan. Artinya pula, keberlangsungan media tersebut bakal lebih lama.

Tetapi, seperti rating pada media televisi, perihal oplah atau tiras bukan tanpa masalah. Spesies bernama oplah atau tiras itu, yang tahu wujud aslinya hanya dua: si institusi media tersebut dan perusahaan percetakan yang mencetaknya. Itu artinya, angka oplah berpotensi direkayasa demi menggaet sebanyak-banyaknya iklan. Sayangnya, sebagian besar (atau barangkali nyaris semua) pengiklan percaya begitu saja angka oplah yang disodorkan si media (atau biro iklan).

Cerita seorang kawan yang pernah mengobrol seputar iklan dan oplah media cetak dengan seorang pengusaha, mungkin bisa dijadikan pertimbangan. Satu saat, si pengusaha berniat memasang iklan pada sebuah koran A, namun ia tidak yakin dengan angka oplah yang diklaim pihak media tersebut dan biro iklan. Lalu, ia berinisiatif mencari tahu oplah koran lainnya, sebut saja koran B. Angkanya sama. Setelah ditelusuri agak dalam, ternyata koran A dan koran B mencetak korannya di satu perusahaan percetakan yang sama. Di perusahaan percetakan tersebut, rupanya ada beberapa koran lain yang juga mencetak medianya di situ. Masing-masing mengklaim angka yang tidak jauh berbeda dengan koran A dan koran B.

Sederhananya, sebut saja ada empat koran: A, B, C dan C yang mencetak di perusahaan tersebut. Masing-masing mengklaim memiliki oplah 1000 eksemplar per hari, yang artinya percetakan tersebut mencetak 4000 eksemplar setiap hari. Setelah ditelusuri lagi, Setelah ditelusuri lagi, mesin percetakaan itu ternyata tidak memiliki kemampuan mencetak sebanyak 4000 eksemplar per harinya.


Ilustrasi oplah/tiras. (Sumber: Journalism.co.uk)

Itu artinya, pengiklan sesungguhnya tidak pernah tahu persis angka oplah sesungguhnya dari sebuah media cetak. Klaim dari media bersangkutan barangkali sedikit dapat dipercaya jika ia tersentuh lembaga audit, seperti Kompas, yang menggunakan jasa ABC (Audit Bureau of Circulations) untuk melakukan audit atas akuntabilitas distribusinya semenjak tahun 1976. [2]

AC Nielsen (Nielsen Audience Measurement), lembaga pemeringkat tayangan televisi, pernah memiliki layanan mensurvei jumlah pembaca media cetak semacam koran dan majalah. Hasil surveinya dipublikasikan secara periodik setiap tahun. Namun, seperti disebutkan dalam laman resminya, Agbnielsen.net, lembaga tersebut kini lebih "memfokuskan layanan surveinya pada TAM (survei kepemirsaan televisi) dan survei-survei lainnya yang berhubungan dengan televisi." [3]

Dua hal tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya tidak ada (kecuali Kompas, dan barangkali media cetak lain, kalau ada) lembaga independen yang mengetahui secara persis angka oplah media cetak sekaligus dipublikasikan secara terbuka. Sama seperti angka rating pada media televisi yang ditutup rapat-rapat oleh Nielsen Audience Measurement. Barangkali sudah ada lembaga lain yang menjadi alternatif Nielsen, tapi tampaknya tetap saja datanya bersifat rahasia dan tidak untuk diketahui masyarakat luas. Meski ada kabar bahwa pemerintah, Kementerian Komunikasi dan Informatika, akan membuat lembaga pemeringkat televisi sebagai alternatif atas Nielsen [4], tapi tidak disebutkan kapan persisnya lembaga tersebut akan dibentuk.

Masalah oplah bukan perkara remeh. Sebab, model bisnis media cetak sejatinya adalah penjualan dua produk utama, yaitu isi berita yang dibaca oleh pembacanya, dan akses ke pembaca itu, yang dijual kepada pengiklan. Keberadaan dua jenis konsumen ini sangat menentukan kelangsungan hidup institusi media. Karenanya, untuk memaksimalkan keuntungan, pengelola media selau berorientasi pada kepentingan pembaca dan pengiklan.

Hal tersebut juga tentu berlaku bagi bisnis media televisi, yang menjual dua produk utamanya, yaitu isi tayangan yang ditonton oleh pemirsa, dan akses ke pemirsa, yang dijual kepada pengiklan. Itulah sebabnya, selera kebanyakan konsumen akan menjadi tolok ukur utama proses produksi media. Kriteria semacam ini menyebabkan media seringkali dituduh menanggalkan prinsip-prinsip kualitas.

Tetapi, apa pun itu, sekali lagi, itulah tuhan mereka. Oplah (dan rating) selalu menempati posisi paling agung dalam industri media. Ketergantungan paling tinggi terhadap iklan memang ada pada media televisi, karena institusi televisi tidak memungut uang sepeser pun dari pemirsa alias gratis (kecuali perangkat pesawat televisinya). Karenanya, sumber pendapatan satu-satunya, ya, iklan.


Namun, media cetak --yang masih mengandalkan sebagian pendapatannya dari hasil penjualan-- pun belakangan mulai bergantung pada iklan. Di tengah persaingan memperebutkan pangsa kue iklan dengan media elektronik, koran di Indonesia menempati peringkat kedua setelah televisi dalam perolehan iklan. [5]

Bersambung ke Mengenal Tuhan Media (bagian 3)

No Response to "Mengenal Tuhan Media (bagian 2)"

Posting Komentar