Mengenal Tuhan Media (bagian 1)

Ilustrasi rating. (Sumber: Desktopedia.com)

Kata "tuhan" dalam judul artikel ini saya comot dari kutipan kalimat Djaduk Ferianto saat diwawancarai majalah Rolling Stone[1] pada 2011 silam, yang mengomentari perkembangan dunia musik di Tanah Air dalam kaitannya dengan industri televisi (juga industri musik dan hiburan). Kata pemimpin grup musik etnik Kua Etnika itu, "Tuhannya televisi itu rating, bukan kualitas musik." Kata tuhan dalam kalimat Djaduk maupun pada artikel ini tentu bukan dalam pengertian Tuhan yang sesungguhnya, melainkan semacam sesuatu yang amat diagung-agungkan, dihormati, dipatuhi, diikuti apa pun kemauannya.

Media massa --tidak hanya televisi, tetapi juga media cetak semacam koran, majalah, jurnal, maupun media daring (dalam jaringan/online)-- masing-masing memiliki tuhan yang berbeda-beda. Tuhan bagi media televisi, seperti disebut Djaduk, ialah rating (peringkat). Sedangkan tuhan bagi media cetak (koran/surat kabar, majalah, tabloid dan jurnal) adalah oplah. Nah, pada media jenis baru, yakni media daring (semacam portal berita, dan sejenisnya) --yang diramalkan bakal menggusur keberadaan media cetak, tuhannya adalah pageview.

Rating, oplah maupun pageview memiliki peran yang berbeda-beda bagi masing-masing jenis medianya. Tetapi, kesamaannya cuma satu: ketiganya sama-sama penentu keberlangsungan atau hidup-mati perusahaan pemilik media tersebut. Mereka merupakan alat ukur paling akurat bagi banyak atau sedikitnya iklan, yang artinya juga menentukan jumlah pendapatan atau uang yang masuk ke perusahaan. Kesejahteraan karyawan/pegawai/pekerja pun ditentukan faktor ini.

Media televisi

Bagi media televisi, hanya program tayangan yang rating-nya paling tinggilah yang akan menarik banyak pengiklan. Rating tinggi itu artinya banyak ditonton oleh masyarakat. Tidak sulit untuk menyebutnya, beberapa di antaranya adalah program tayangan gosip, sinetron, tayangan kekerasan atau tayangan bernuansa pornografi. Tayangan-tayangan musik 'alay' yang diramu dengan lelucon-lelucon konyol sang pembawa acara --biasanya tayang saat pagi hingga menjelang siang-- pun memiliki rating yang cukup tinggi.

Rating juga menentukan usia sebuah program tayangan. Makin tinggi rating dan tentu makin banyak iklan, maka jumlah episodenya pun terus bertambah. Tayangan yang semula diproduksi untuk, misal, 25 episode, lalu diperpanjang menjadi 50-100 episode, karena iklannya makin hari bertambah banyak. Sejumlah sinetron ternama bahkan dibikin hingga beberapa sekuel, yang masing-masing sekuel terdiri dari berartus-ratus episode. Sebut saja sebagai contoh, Cinta Fitri, Cinta Fitri season 2, Cinta Fitri season 3, hingga Cinta Fitri season 6.

Sayangnya, mahluk bernama rating itu sering kali tidak ada hubungannya dengan kualitas sebuah tayangan. Tayangan yang memiliki rating tinggi, tidak mesti itu adalah tayangan yang berkualitas baik atau bagus. Sebabnya adalah rating hanya diukur dari jumlah penonton pada sebuah tayangan; hanya kuantitas, bukan kualitas. Pokoknya: makin banyak penonton, ya, makin tinggi rating-nya. Itu saja.
Ilustrasi rating. (Sumber: Desktopedia.com)


Djaduk Ferianto menyebut "Tuhannya televisi itu rating, bukan kualitas musik", ya, maksudnya itu. Industri televisi (dan industri musik) belakangan dirasakan makin mengabaikan pertimbangan kualitas musik seorang penyanyi atau sebuah grup band untuk diundang tampil di acaranya. Hanya karena alasan seorang penyanyi atau sebuah grup band sedang tenar-tenarnya, maka ia sudah memenuhi kriteria untuk tampil. Bahkan, tidak jarang, hanya karena alasan sang peshohor sedang jadi sorotan pemberitaan media, maka diundanglah untuk tampil. Keterbatasan kemampuan sang bintang dalam hal olah vokal, bisa diakali dengan cara lipsync. Toh, tujuannya hanya untuk meningkatkan rating, meningkatkan jumlah orang yang menonton.

Nah, urusan rating-rating-an ini, AC Nielsen (atau Nielsen Audience Measurement, sebelumnya adalah AGB Nielsen Media Research) biangnya. Ia merupakan satu-satunya pemeringkat (rating) di Indonesia. Lembaga yang beroperasi di Indonesia sejak tahun 1976 itu mengklaim menyediakan informasi dan pelayanan untuk televisi/koran/majalah/radio ke para pemilik media dan industri periklanan. Kini, ia memfokuskan layanan surveinya pada TAM (survei kepemirsaan televisi) dan survei-survei lainnya yang berhubungan dengan televisi.

Dikutip dari Agbnielsen.net[2], panel TAM di Indonesia saat ini mengukur 2.423 rumahtangga yang memiliki pesawat televisi di 10 kota besar, yaitu: Jakarta dan sekitarnya (Bogor, Tangerang dan Bekasi), Surabaya dan sekitarnya (Gersik, Jombang, Kertosono, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan), Bandung, Semarang, Medan, Makassar, Yogyakarta dan sekitarnya (Sleman dan Bantul), Palembang, Denpasar dan Banjarmasin. Panel utama ini hanya mengukur kepemirsaan televisi terrestrial.

Sebetulnya, bagaimana cara kerja lembaga yang telah lama dikritik banyak pihak (terutama) karena monopolis dan konon tak pernah tersentuh audit itu? Sederhana tapi rumit. Disebut sederhana, karena metodenya hanya dengan menghubungkan alat yang disebut peoplemeter dengan pesawat televisi dan peralatan elektronik lain yang dihubungkan dengan televisi, misal, DVD player, Play Station, dan lain-lain, pada rumah-rumah tertentu yang telah ditentukan oleh pihak AC Nielsen. Panel tersebut dipantau secara elektronik oleh sistem peoplemeter. [3]

Masing-masing anggota rumahtangga pada rumah-rumah yang ditunjuk untuk menjadi bagian dari responden AC Nielsen itu diberikan sebuah tombol khusus pada handset peoplemeter (misal, tombol 1 untuk ayah, tombol 2 untuk ibu, dan sebagainya). Anggota rumahtangga diminta untuk menekan tombol handset pada saat menonton televisi, dan menekan kembali ketika selesai menonton.

Rumitnya pada metode pengambilan data. Ada dua cara pengambilan data survei tersebut, yakni online dan offline. Pada sistem online, data diambil setiap malam melalui sistem telepon yang telah diatur secara otomatis, dan dihubungkan dengan sistem pengolahan data pusat di kantor Nielsen. Cara ini dilakukan untuk penarikan data harian (daily rating) di kota Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Sedangkan rumah panel yang masih offline di kota lainnya akan didatangi petugas liaison officer untuk mengganti modul (alat perekam data) setiap hari Minggu untuk data kepemirsaan hari Minggu hingga Sabtu pada pekan sebelumnya.

Itu baru soal pengambilan data, belum soal kriteria rumahtangga seperti apa atau anggota keluarga yang bagaimana yang layak dijadikan responden (panel). Metode survei yang beragam --yang juga merupakan faktor penentu akurasi hasil survei-- pun soal yang lain.

Sederhana atau rumit cara kerjanya, ia tetap saja tidak mengukur kualitas program acara. Hasil survei hanya akan memberitahu tentang berapa banyak orang yang menyaksikan acara mereka, atau kuantitasnya. Karena itu, data-data survei atau hasil pemeringkatan oleh AC Nielsen tersebut sesungguhnya bukan satu-satunya ukuran, walau pun kenyataannya banyak programer, produser atau calon pengiklan menjadikannya parameter tunggal. Karena itu pulalah, rating, terutama rating dari AC Nielsen, seolah sangat diagung-agungkan.

Faktanya lagi, tidak sedikit program acara yang (awalnya) tidak peduli rating, tapi karena berkualitas (baik/bagus, edukatif dan menghibur), pelan-pelan disukai masyarakat, banyak penontonnya, dan tentu banyak pula iklannya. Misal, program tayangan Kick Andy di Metro TV yang mendapat penghargaan sebagai program talkshow terbaik pada 2008 [4]. Padahal, tayangan tersebut jauh dari unsur-unsur gosip, sinteron, kekerasan atau pun pornografi. Atau, tayangan Radio Show di TVOne yang diganjar penghargaan Editor's Choice Awards 2012 oleh majalah Rolling Stone Indonesia. [5] Padahal, acara musik plus bincang-bincang itu jauh dari unsur-unsur 'musik alay' dan selalu live (bukan lipsync). Waktu tayangnya pun bukan prime time (waktu paling baik bagi penayangan acara televisi, yakni pada pukul 19.30–21.00).

Tapi, apa pun itu, berkualitas atau tidak berkualitas sebuah tayangan, rating tetaplah jadi tuhan bagi media televisi, dan menjadi bahan jualannya kepada pengiklan. Pengiklan pun sangat berkepentingan pada kemampuan menjangkau jumlah pemirsa sebanyak mungkin terhadap materi iklannya yang disiarkan melalui acara TV, sehingga ongkos promosinya berpotensi kembali dengan jumlah jauh lebih tinggi.

Bersambung ke Mengenal Tuhan Media (bagian 2)

2 Response to "Mengenal Tuhan Media (bagian 1)"

Kenthippujakesuma mengatakan...

menarik sekali ulasan saudara, namun sebagai orang yang sedikit banyak menekuni dunia komunikasi, saya juga khawatir jika tuhan yang saudara maksud tersebut dapat menggeser nilai-nilai dan funsi dari media massa. seperti yang kita rasakan sekarang, nilai, norma dan aturan begitu mudah dibuang, demi ratting atau apapun itu yang disebut tuhan.

Arief mengatakan...

@Andika Prabowo, Saya juga punya kekhawatiran serupa, Mas. Saya malah lebih dari itu, yakni media hanya (akan) menjadi industri, komoditas dagangan, dan sejenisnya. Industrialisasi adalah fakta dan tidak dapat dihindari, tetapi jika menjadi semata industri/komoditas dagangan, maka jelas, nilai-nilai dan fungsi media sudah tergeser.

Posting Komentar