Menanti Uluran Tangan NU di Sahara Barat

Konflik di Sahara Barat boleh dikata nyaris lepas dari amatan publik Tanah Air. Isunya terlihat tenggelam oleh konflik di beberapa negara atau negeri muslim macam Irak, Palestina, Afganistan , Lebanon , Sudan , dan lain-lain. Padahal, Sahara Barat, negeri bagi 200 ribu warga muslim itu merupakan satu-satunya negara di Afrika yang belum menikmati sepenuhnya kemerdekaan, meski telah menjadi anggota penuh Uni Afrika. Sahara Barat masih terbelenggu penjajahan Maroko, yang juga negara muslim.

Masih banyak penduduk asli Saharawi yang merana di kamp-kamp pengungsian dan hanya bisa memimpikan kemerdekaan. Penderitaan tersebut dialami bangsa Sahara Barat sejak negara itu diduduki Maroko tahun 1975 lampau. Muhamed Burhi, Kepala Perwakilan Polisario—organisasi pembebasan Sahara Barat—untuk Indonesia dan Asia Tenggara, menggambarkan derita bangsanya, demikian: orang Saharawi yang tetap tinggal di Tanah Air mereka senantiasa ditahan, dipenjara, menghadapi kematian, dan ‘hilang’ di tangan angkatan pendudukan Maroko. Mereka yang ingin melarikan diri, dihalangi tembok sepanjang 2.700 kilometer yang membelah Sahara Barat dalam zona pesisir yang diduduki Maroko dan bagian dalam yang dikuasai Republik Saharawi. Selain itu, ditanam lebih dari 3 juta ranjau darat dan 120.000 tentara, ungkapnya dalam sebuah diskusi di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Sabtu, 24 April 2010.

Nahdlatul Ulama (NU) sesungguhnya pernah mencoba memfasilitasi upaya penyelesaian konflik di Sahara Barat melalui Konferensi bertajuk Peace Building and Conflict Prevention in the Muslim World pada Agustus 2008 silam. Namun, upaya tersebut tak ada tindak lanjutnya. Sebagian kalangan NU mengusulkan agar sengketa di negara itu dibahas dalam Muktamar ke-32 NU di Makassar , Sulawesi Selatan, akhir Maret 2010. Entah, barangkali karena banyaknya agenda yang harus dibahas, sehingga Sahara Barat tak mendapat perhatian para peserta Muktamar. Mungkin pula berkaitan dengan kebijakan pemerintah Indonesia yang lebih mendukung otonomi khusus oleh Maroko terhadap Sahara Barat ketimbang pengakuan kemerdekaan atas negeri kaya fosfat dan bijih besi itu.

Namun, apa pun sikap pemerintah Indonesia , NU tetap memiliki peran besar bagi penyelesaian konflik di negara itu. NU dapat memainkan peran diplomasi di luar jalur pemerintah (second track diplomacy). Alasannya, pertama, NU merupakan organisasi kemasyarakatan Islam Sunni. Demikian pula masyarakat di Maroko maupun Sahara Barat yang sebagian besar merupakan muslim Sunni. Kesamaan tersebut tentu menjadi modal utama bagi NU untuk melakukan pendekatan-pendekatan pada tokoh agama atau ulama kedua pihak yang bersengketa. Setidaknya, pada tahap ini, tak ada lagi sekat-sekat yang bersifat sektarian untuk memulai membicarakan upaya perdamaian.

NU selama ini, terutama di masa kepemimpinan KH Hasyim Muzadi, juga sedikit atau banyak turut berperan dalam upaya penyelesaian konflik di sejumlah negara muslim yang sealiran atau berbeda paham dengan NU. Jejak organisasi massa ini dalam membantu penyelesaian konflik bernuansa agama di beberapa negara nonmuslim terlihat pula, misal, di Filipina dan Thailand Selatan. Semua dilakukan melalui diplomasi di luar jalur pemerintah.

Kedua, berbagai upaya melalui jalur diplomasi pemerintah—yang diperantarai Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau pun tidak—selalu menemui jalan buntu. Pada dekade 1990-an, Maroko sudah menyetujui referendum untuk Sahara Barat. Namun, solusi tersebut tak pernah terwujud, bahkan hingga 20 tahun kemudian. Otonomi khusus sebagai tawaran konsep baru dari Maroko untuk Sahara Barat pada April 2007, tak pernah disetujui Polisario.

Perkembangan terakhir adalah kegagalan perundingan antara Maroko dengan Polisario yang difasilitasi PBB pada Februari 2010. Perundingan tidak resmi selama dua hari kembali gagal mempertemukan kepentingan politik kedua pihak. Utusan pribadi Sekretaris Jenderal PBB untuk Sahara Barat, Christopher Ross, mengatakan, dalam sebuah pernyataan di akhir pembicaraan itu bahwa “tidak ada pihak yang mau menerima usul pihak lainnya sebagai dasar bagi berlanjutnya pembicaraan di masa mendatang”.

Mohammed Khadad, seorang pejabat senior Polisario, yang menghadiri perundingan tersebut, menjelaskan berbagai pihak yang terlibat, memusatkan perhatian pada masalah hak asasi manusia dan langkah-langkah untuk membangun kepercayaan. (Antaranews, 12 Februari 2010). Padahal perundingan itu sebagai prakondisi menuju perundingan resmi Putaran Kelima antara Maroko dengan Polisario. Sebelumnya, perundingan Putaran Empat yang berlangsung di Manhasest, New York, pada Juni 2007, gagal memecahkan perselisihan.

Kegagalan demi kegagalan itu dapat dipahami betapa jalur diplomasi politik-pemerintah sering kali menemui banyak hambatan. Kepentingan politik kedua pihak yang susah ditemukan tak jarang justru mempertajam perbedaan dan berpotensi meningkatkan konflik pada tahap yang lebih tinggi. Selain itu, dalam sejumlah kasus, birokrasi yang sangat prosedural mengakibatkan proses perundingan berjalan tidak luwes alias kaku. Kondisi demikian tentu justru makin mempersulit proses penyelesaian konflik.

Masalah kenegaraan kedua pihak tak serta merta dapat diselesaikan jika harus melibatkan bantuan pemerintah negara lain, apalagi kerja sama antarpemerintah negara, seperti yang dilakukan pada konflik Palestina-Israel. Negara, meski berperan strategis dalam penyelesaian konflik, negara pula yang sebenarnya menjadi sumber konflik. Negara kadang tidak mampu menembus batas psikologis-historis masalah konflik di suatu negara lain. Sebab, dalam negara itu berkumpul segudang kepentingan ekonomi dan politik.

Max Weber menulis, meski negara merupakan manifestasi tertinggi otoritas, tetapi otoritas adalah masalah relasi sosial yang bukan hanya melibatkan hubungan politis karena masyarakat di luar negara memiliki mekanisme distribusi otoritasnya sendiri. Jadi, otoritas dalam ruang sosial apa pun diperlukan untuk menjaga tertib sosial. Masyarakat biasanya lebih mendengarkan suara para pemimpin yang secara tradisional memiliki pengaruh.

Maka, perlu dilakukan terobosan lain untuk menyelesaikan konflik di negara-negara muslim, seperti halnya antara Maroko dan Sahara Barat. Prakarsa perdamaian tidak hanya dipusatkan pada kekuatan negara, tetapi juga diarahkan pada kekuatan masyarakat secara kultural. Dan, seperti telah diurai sebelumnya, di sinilah letak peran strategis NU sebagai kekuatan masyarakat sipil berbasis agama. NU, dengan moderatisme dan fleksibilitasnya sebagai lembaga nonpemerintah, berpeluang mengatasi sekat-sekat yang tak bisa ditembus negara itu.

Harapan ini bukan hanya karena NU baru memiliki pemimpin baru, melainkan juga lantaran organisasi itu telah mendirikan pondasi bagi bangunan perdamaian dunia saat kepemimpinan KH Hasyim Muzadi. KH Said Aqil Siradj, sebagai pengendali baru kemudi Tanfidziyah Pengurus Besar NU, tentu tak perlu repot-repot mendirikan pondasi lagi. Keberadaan As’ad Said Ali sebagai Wakil Ketua Umum Tanfidziyah pasti bermanfaat besar bagi tambahan ‘amunisi’ NU. Sebab, seperti diungkapkan Kang Said—panggilan akrab KH Said Aqil Siradj, Wakil Kepala Badan Intelijen Negara itu merupakan tokoh NU yang memiliki pengalaman luas dalam hubungan internasional, khususnya dengan negara-negara di Timur Tengah.

4 Response to "Menanti Uluran Tangan NU di Sahara Barat"

itempoeti mengatakan...

saya berkeyakinan KH Said Aqil Siradj bisa membawa NU kembali ke jalan yang benar...

TRIMATRA mengatakan...

sahara barat membutuhkan uluran tangan umat islam,,,termasuk bantuan dari warga NU.(bintang sembilan)

fai mengatakan...

apa kabar? sudah lama tak berkunjung kemari.

Toko Gundam Online mengatakan...

hidup NU.. hehe

Posting Komentar