RBT yang Memiskinkan (bagian satu)

Jika ada cara lain untuk menikmati musik selain melalui kaset, cakram digital (CD) atau pun perangkat MP3 player, ring back tone (nada sambung pribadi/RBT) jawabannya. Panggil saja telepon seluler (ponsel) teman atau rekan Anda, dan nikmatilah musik RBT-nya. Jika tak suka dengan musik yang terdengar, coba panggil ponsel teman lainnya.

Demikianlah fenomena terkini dunia musik di Tanah Air. Sejak kemunculan teknologi RBT yang dipelopori Telkomsel pada 2004 silam, (industri) musik di negeri ini bak jamur di musim hujan, tumbuh dan berkembang seakan tak terbendung. Para musikus pun terlihat makin bergairah menciptakan lagu. Musikus lama maupun pendatang baru layaknya mendapat angin segar untuk mengembangkan kreativitasnya.

Fenomena itu sepertinya berbanding lurus dengan tingginya tingkat penggunaan RBT. Menurut Asosiasi Rekaman Indonesia (Asiri), pada akhir 2009 lalu, diperkirakan 20 persen dari 170 juta pelanggan seluler di Indonesia menggunakan RBT. Dan, sekira 2 juta di antaranya terus aktif berlangganan RBT setiap bulannya dengan konsumen terbesar adalah kalangan muda.

Namun, tingginya penggunaan RBT itu tak serta merta menjadi kesimpulan bahwa publik musik Indonesia telah cukup apresiatif terhadap perkembangan (industri) musik karya anak negeri sendiri. Menikmati musik melalui RBT jelas berbeda dengan kaset, CD maupun MP3. Lagu pada RBT hanya sepenggal-sepanggal lantaran durasinya yang amat terbatas, tak lebih dari 30 detik. Penggalan-penggalan itu pun biasanya diambil dari bagian reff-nya saja. Sementara, umumnya sebuah lagu utuh berdurasi 3-5 menit. Sebuah perbedaan yang teramat menonjol.

Uniknya, seseorang yang menyewa atau berlangganan RBT justru bukan untuk dinikmati sendiri, melainkan oleh orang lain. “Coba miskol (missed call) HP guwe,” pinta seorang kawan bermaksud ingin menunjukkan lagu RBT yang baru disewanya. Si pelanggan tentu tak dapat menikmati musik RBT yang disewanya Rp 5.000-9.000 per bulan itu, kecuali jika ia memiliki satu ponsel lagi yang bisa digunakan untuk melakukan panggilan pada ponsel lainnya, yang telah didaftarkan pada salah satu operator seluler.

Tak ada yang salah memang pada cara menikmati musik seperti itu. Namun, akan terang sekali bedanya jika menikmati sebuah lagu/musik dengan mendengarkan secara utuh dari awal sampai akhir. Kualitas sebuah lagu bakal jelas untuk dinilai bila menikmati seluruhnya. Demikian pula, kemampuan sang artis meracik musik karyanya akan dengan mudah diukur. Bayangkan saja penilaian atas kualitas sebuah musik/lagu jika hanya lewat penggalan-penggalan yang jelas sekali tak bisa mewakili keseluruhan lagu.

Meski demikian, para musikus, produser musik dan perusahaan rekaman serta operator seluler penyedia layanan RBT tampak sangat menikmati kehadiran teknologi RBT itu. Musikus makin rajin membuat lagu. Produser musik tambah semangat mencari penyanyi atau grup band baru. Perusahaan rekaman pun kebanjiran job. Dan, operator seluler kipas-kipas dengan lembar-lembar rupiah hasil penjualan RBT-nya.

Sayangnya, produktivitas musikus dalam era RBT ini tampak tak berbanding lurus dengan kreativitas. Pasalnya, mereka tak lagi dituntut untuk membuat album penuh yang lazimnya terdiri dari 10-12 lagu. Mereka tampak lebih tertarik untuk membuat single (lagu tunggal tanpa album). Mereka tak perlu bersusah payah, banting tulang dan peras keringat untuk mempersiapkan sebuah album yang umumnya dikerjakan dalam waktu satu tahun. Cukup saja ngendon di studio rekaman sehari atau dua hari, jadilah single yang siap dilempar ke pasar.

Dewa 19, misalnya. Grup band senior yang dimotori Ahmad Dhani Manaf itu sudah hampir tiga tahun tak mengeluarkan album. Album (reguler) terakhir Dewa 19 adalah Kerajaan Cinta yang diluncurkan pada 2007 silam. Album itu pun hanya berisi dua lagu baru, selebihnya adalah lagu lama yang diaransemen ulang. Dhani justru lebih sibuk membuat single dan mengurus artis-artis yang berada di bawah naungan Republik Cinta Management—sebuah manajemen artis yang didirikannya pada 2007. Sebut saja, misal, lagu Perempuan Paling Cantik di Negeriku Indonesia, Madu Tiga, Mustafa Ibrahim, dan Selir Hati. Semua adalah single tanpa album (reguler).

Grup band atau penyanyi lain pun tak jauh berbeda. Mereka terlihat makin tak bernafsu membuat album. Mungkin, bagi mereka, cukup single saja, keuntungan (finansial) pun sudah di depan mata. Repot-repot amat bikin album. Modus baru mereka saat meluncurkan single untuk kepentingan RBT biasanya dengan berdalih “lihat respons pasar dulu”, baru kemudian meluncurkan album penuh. Namun, nyatanya sering kali justru album urung diluncurkan lantaran single yang sudah terlanjur dilempar ke pasar tak disukai masyarakat. Alhasil, album baru tak pernah terbit. Sebaliknya, single demi single bertebaran meski hanya bisa dinikmati sepenggal-sepenggal lewat RBT.

Cepat atau lambat, tren semacam itu bakal memiskinkan kreativitas para musikus sendiri. Kemampuan mereka mencipta, membuat dan mengaransemen lagu, yang merupakan bagian dari pakem seni bermusik, tak lagi dapat diukur dan diuji. Proses-proses pengerjaan album, misal, mencari inspirasi, utak-atik nada, mengeksplorasi instrumen, coba-coba sound ini sound itu, bersahabat karib dengan studio, dan lain-lain, tentu tak bakal banyak terjadi ketika dihadapkan pada kepentingan mencipta lagu untuk RBT. Sebab, tak akan banyak waktu untuk bongkar-pasang aransemen. Harus cepat, sebab pasar sudah menunggu.

Keadaan demikian diperparah tuntutan umumnya produser yang biasanya hanya mempertimbangkan selera atau tren pasar terkini, tanpa peduli nilai seninya. “Jangan (bikin lagu) yang ribet-ribet, yang easy listening (sekedar enak didengar) saja.” Konon, demikian perilaku produser pada sang musikus. Akibatnya, seperti yang terjadi sekarang, banyak grup band atau pun penyanyi solo bermunculan, namun musiknya seragam. Ada yang mengaku musiknya ber-genre modern rock, tapi nyatanya metal alias melayu total. Ada pula yang berupaya mencoba (sesungguhnya memaksa) mencipta sub-genre baru dengan menyebut musiknya dengan istilah pop kreatif—yang berarti grup band/penyanyi lain tak kreatif. Atau, malu-malu memainkan musik jazz dengan memperbanyak unsur pop agar lebih diterima pasar.

Bahkan, dalam sebuah kesempatan talk show pada satu stasiun televisi swasta, seorang personel grup band pendatang baru mengatakan bahwa musik di album kedua mereka berbeda dibanding di album pertama. “Di album pertama, kami sangat nge-jazz. Dan, di album kedua ini, kami lebih nge-pop, karena lagu-lagu di album pertama kurang diminati,” ujarnya. Entah, kalimat tersebut diungkapkannya dalam keadaan sadar atau tidak. Pastinya, mereka bermusik bukan untuk berkesenian atau berkreasi, melainkan untuk mencari keuntungan finansial semata melalui strategi mengikuti selera/tren pasar.

Bagaimana dengan operator seluler penyedia jasa RBT? Meski tak menyumbang satu not pun pada penciptaan sebuah lagu, justru mereka yang paling banyak menikmati keuntungan finansial. Menurut Pappri (Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia), 80 persen dari harga sebuah lagu RBT justru dinikmati operator seluler. Contoh, operator XL. Dengan harga RBT Rp 5.000, XL mengambil Rp 4.000 atau 80 persennya. Sedangkan untuk publisher dan pencipta lagu sebesar Rp 125 atau 2,5 persen. Lalu, untuk label serta CP Rp 750 atau 15 persen. Dan, sang artis hanya memperoleh Rp 125 atau 2,5 persen. Khusus pencipta lagu cukup dihargai Rp 63 atau 1,25 persen.

Mereka, operator seluler, boleh saja mengklaim diri sebagai faktor utama kebangkitan dan kejayaan (industri) musik Tanah Air, sebagai jalan keluar atas tak terbendungnya pembajakan (kaset dan CD). Namun, di saat yang sama, mereka pun turut menjadi faktor terpenting dalam dua proses pemiskinan terhadap para musikus: pemiskinan ekonomi dan (terutama) pemiskinan kreativitas.

5 Response to "RBT yang Memiskinkan (bagian satu)"

Nirmana mengatakan...

yang berlangganan RBT jadi tampak bodohnya yah,,, buang2 uang perbulan tapi ga menikmatinya.

musikku fals bang, kayaknya kalo si fals masih produktif bikin album deh.

@kopi kental : ada yang berubah juga disini,,,:D

Miss G mengatakan...

Nampaknya ya mas Arief, pola instan dan serba singkat sudah merasuk sampai ke kreativitas, hehe.. sekarang saja banyak yg tidak bisa dan tidak mau lagi membaca bacaan yang panjang2. Maunya semakin singkat dan singkat. Kayaknya lama2 kita mendiskon daya pikir kita sendiri. Juga kemampuan untuk "menunggu" yang semakin pendek, karena semua serba instan. Hmm.. payah juga. Kesabaran menghadapi sesuatu dan berproses akan semakin terkikis kalau begini terus.

MONOKROM mengatakan...

DARIPADA BUANG-BUANG UANG PERCUMA. MENDING BELI KASET ATAU DENGERIN MP 3. SELAIN LAGUNYA BISA DIDENGERIN SENDIRI, KITA BISA MENDENGARKANNYA SECARA UTUH (DARI AWAL SAMPAI AKHIR). DARIPADA UDAH BAYAR MAHAL-MAHAL, TAPI YANG DENGERIN ORANG LAIN DAN CUMA SEPENGGAL-SEPENGGAL.

Harry seenthing mengatakan...

met malam kang.....wakh lama juga yah kang....gimana kabarnya nih....semoga sehat dan sukses selalu ya kang

Anonim mengatakan...

anjing provider!!

Posting Komentar