Silaturrahim Sandiwara

Silaturrahmi atau silaturrahim, sih? Entahlah, saya tak begitu ahli dalam urusan bahasa Arab itu meski saya lebih menyukai menggunakan istilah kedua. Hal yang saya tahu, kata itu seringkali disebut atau digunakan saat Lebaran dan ketika menjelang pemilihan umum (pemilu). Bedanya, silaturrahmi (atau silaturrahim) saat Lebaran terjadi sekali dalam setahun. Dan, ketika menjelang pemilu, terjadi sekali dalam lima tahun.

Bagi orang kampung, tradisi bersilaturrahim saat Lebaran berarti berkunjung atau bertamu ke sanak saudara, tetangga, rekan kerja, dan lain-lain. Tujuan utamanya adalah bersalaman dan saling memohon maaf atas segala kesalahan yang telah diperbuat, sengaja atau tidak sengaja. Pada saat itu, seseorang bisa bersilaturrahim ke lebih dari dua orang dalam sehari.

Agak berbeda dengan tradisi silaturrahim saat menjelang pemilu. Sama-sama saling berkunjung dan bertamu, namun tujuannya bukan untuk maaf-memaafkan, melainkan membicarakan seputar kekuasaan mana yang dapat direbut. Silaturrahim model ini tentu hanya bisa dilakukan para politikus atau pimpinan partai politik.

Persamaannya, saat itu, seorang politikus bisa bersilaturrahim ke lebih dari dua politikus lainnya dalam sehari. Hari ini, seorang pimpinan parpol A bersilaturrahim dengan pimpinan parpol B, parpol C dan parpol D. Esoknya, petinggi parpol D membalas silaturrahim pimpinan parpol A dengan mengajak ketua umum parpol B dan parpol C.

Di tempat berbeda dan di hari yang sama, ketua dewan syura parpol anu bersilaturrahim dengan ketua dewan penasihat parpol itu. Ikut serta dalam silaturrahim itu sejumlah pejabat teras parpol ini itu. Sesekali, tokoh parpol abal-abal menemui ulama atau pimpinan pesantren anu. Ketua umum ormas angin ribut pun tak lupa dikunjungi si tokoh.

Tak terang betul apa yang mereka bicarakan. Lazimnya, usai pertemuan, para petinggi parpol tersebut mengatakan kepada pers: “Ini hanya silaturrahim (atau silaturrahmi) rutin biasa.” Atau kalimat klise semacam: “Kita mempunyai visi-misi yang sama untuk membangun dan menyejahterakan rakyat, untuk nasib bangsa ke depan.”

Mendekati hari pelaksanaan pesta demokrasi itu, frekuensi silaturrahim makin diintensifkan. Terkadang, partai anu yang sebelumnya ikut serta karena dinilai satu visi-misi, belakangan tak lagi diajak lantaran dianggap sudah berbeda visi-misi. Hal yang disampaikan kepada para jurnalis pun sedikit lebih maju meski kerapkali juga masih terdengar klise. “Kita sepakat untuk bekerja sama dalam satu koalisi demi kesejahteraan rakyat.” Atau kata-kata klise lain seperti: “Kami sama-sama menginginkan perubahan di negeri ini.”

Rakyat memang tak lagi bodoh untuk sekedar menebak apa maksud sebenarnya dari silaturrahim antar-petinggi parpol atau jalinan koalisi antar-parpol itu. Rakyat bisa mengira-kira, pastinya tak jauh-jauh dari urusan kekuasaan; bagaimana caranya meloloskan pasangan capres-cawapres ini sekaligus menghadang manuver pasangan capres-cawapres itu; kami dapat jatah menteri ini itu dan kalian dikasih pos menteri itu ini. Namun, di sisi lain, rakyat masih tidak terlalu paham bahwa jalinan koalisi itu mestinya juga menghasilkan kesepakatan tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana cara mewujudkannya.

Mewujudkan kesejahteraan rakyat? Ah, tak usah diungkapkan. Rakyat sudah tahu bahwa kekuatan politik dan kekuasaan politik yang diperebutkan parpol-parpol itu semestinya memang untuk menyejahterakan rakyat. Perubahan ke arah yang lebih baik? Pastinya, rakyat tak menghendaki sebaliknya.

Rakyat memang harus sejahtera. Tapi, bagaimana merealisasikannya, butuh langkah-langkah strategis dan kebijakan-kebijakan yang mengena. Di situlah letak tugas dan peran parpol atau koalisi parpol melalui kader-kadernya di pemerintahan atau di parlemen. Satu parpol yang tak punya dukungan mayoritas rakyat mesti membutuhkan rekan kerja. Maka itu, dibuatlah jalinan kerja sama dalam sebuah koalisi. Tapi, koalisi itu pun harus jelas program kerja atau program yang akan dikerjakan. Jika tidak, berarti itu koalisi omong kosong yang memang murni hanya untuk bagi-bagi jatah kekuasaan.

Parpol mungkin merasa beruntung karena rakyat tak menuntut lebih dari jalinan koalisi yang dibangun itu. Namun, cepat atau lambat, parpol model begini pasti akan ditinggalkan pendukungnya. Cepat atau lambat juga rakyat pasti paham bahwa silaturrahim menjelang pemilu itu adalah silaturrahim sandiwara semata. Rakyat pun akan mengerti bahwa para elit politik itu sejatinya tak pernah sungguh-sungguh memikirkan nasib mereka.

2 Response to "Silaturrahim Sandiwara"

suryaden mengatakan...

sandiwara memang istilah yang pas, meskipun mereka mungkin juga dalam kepanikan dan kebingungan mau apa dengan kondisi seperti ini... hahahaha...

suwe gak ketok mas, piye kabarmu?

Ullyanov mengatakan...

Syukur, baik2 aja. Suwe ga ketok, habis ada proyek kecil2an. Dan sedikit males nulis juga belakangan ini. Sekarang semangat nulis itu udah muncul lagi. Mudah2an ga kambuh penyakit malesnya.

Posting Komentar