Tirani Demokrasi

Tingkat golput atau jumlah masyarakat yang tidak menggunakan hak pilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 diperkirakan sangat tinggi. Demikian alasan Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga menetapkan hukum haram golput.

Barangkali kita dapat memahaminya sebagai jawaban atas kekhawatiran tingginya angka golput. Karena, jika kekhawatiran itu benar-benar terjadi, maka hasil pesta demokrasi berbiaya tinggi itu—para anggota DPR dan presiden dan wakil presiden—tentu tak akan mendapatkan legitimasi yang kuat dari rakyat.

Banyak tanda-tanda yang menjadi alasan kekhawatiran itu, di antaranya, rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam sejumlah pilkada (pemilihan kepala daerah) di Indonesia. Angka rata-ratanya mencapai 27 persen.

Namun, barangkali MUI tak menyadari bahwa rendahnya tingkat partisipasi masyarakat, sama sekali tak menggugurkan keabsahan apa pun hasil dari pemilu. Secara hukum, parlemen atau anggota DPR hasil pemilu tetap konstitusional.

Secara hukum pula, presiden dan wakil presiden hasil pemilu itu beserta para menterinya pun dapat bekerja bekerja sebagaimana mestinya. Hanya tidak mendapatkan legitimasi politis yang kuat dari rakyat.

Angka golput, seberapa pun tingginya, bukan tak akan melahirkan pemimpin negara. Presiden serta wakil presiden sebagai pemimpin bangsa dan negara tetap ada. Jadi, sesungguhnya, tak ada alasan bagi MUI untuk mengkhawatirkan tidak adanya pemimpin jika angka golput tinggi.

Kurangnya legitimasi terhadap pemerintahan sebagai akibat rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilu, tentu adalah sebuah masalah. Pemerintahan tak akan berjalan efektif jika tidak mendapat dukungan penuh dari seluruh rakyat. Presiden dan wakil presiden terpilih pun mesti akan merasa tak nyaman dalam bekerja.

Namun, mengatasinya bukan dengan cara memaksa rakyat untuk memilih. Sebab, fatwa haram tersebut sama halnya dengan memberikan satu pilihan saja kepada rakyat, yakni tidak boleh golput. Padahal, demokrasi yang diagung-agungkan itu sejatinya adalah kebebasan, termasuk kebebasan memilih, dipilih atau tidak memilih alias golput.

Jika rakyat sebagai pemegang kedaulatan itu tidak memiliki kebebasan memilih, dipilih atau bahkan tidak memilih, maka terjadi sebuah tirani baru, yakni tirani demokrasi. Artinya, mengaku menjalankan sistem demokrasi namun di saat yang sama justru memasung kebebasan rakyatnya.

Fatwa haram golput itu tampaknya juga didasari pemahaman bahwa demokrasi sebatas kuantitas dan formalitas. Demokrasi dimaknai sekedar 50 plus 1. Demokrasi diartikan hanya menang dan kalah dalam hal suara. MUI sepertinya tak mempertimbangkan bahwa kesadaran rakyat dalam berdemokrasi adalah hal yang jauh lebih penting.

Jika hanya demokrasi formalitas yang dipahami, maka bangsa ini pun sudah mengalaminya, terutama saat rezim Orde Baru. Bedanya, saat itu, tirani itu dilakukan oleh tangan negara. Pada masa itu, demokrasi dalam pengertian sebatas penyelenggaraan pemilu dilaksanakan. Namun, rakyat tak memahami sekaligus tak merasakan manfaatnya.

16 Response to "Tirani Demokrasi"

Anonim mengatakan...

angka partisipasi di tempatku hanya 57%, menyedihkan. belum termasuk yang suara rusak.

Anonim mengatakan...

#usnu karena memang tak ada pemimpin yang layak versi rakyat

Anonim mengatakan...

saya mungkin golput Mas Arif....mohon maaf...
wilayah politik sedang dicarikan legitimasi agama sehingga prasangka saya menjadi buruk karena nanti agama justeru akan menjadi lebih terdistorsi...cekap semanten, maturnuwun

Nyante Aza Lae mengatakan...

mengapa sebagian masyarakat menjadi golput mas?
dq pikir.....itulah jawabannya

Anonim mengatakan...

untuk tahun ini saya mau'Diam'

Anonim mengatakan...

Barangkali pemerintah perlu mengkaji lebih mendalam tentang penyebab banyaknya angka golput.

Anonim mengatakan...

enak tenan rek kopi campur krimer...

rakyat sebenarnya sudah jengah pula mendengar isu-isu tentang penggelembungan suara, mungkin sekedar eksperimentasi juga diperlukan berapa angka golput yang benar untuk menohok penggelembungan-penggelembungan itu, dan betapa majelis itu memberikan atau menistakan pendidikan politik yang seharusnya muncul dari mereka yang sering dan mafhum (gayanya sih) politik agama maupun kenegaraan.

Seharusnya negara linglung ini juga harus menyadari kesalahanya, namun sampe kapan tidak tahulah..., sehingga rakyat memilih untuk tidak pernah mematuhi apapun kebijakanya pada suatu saat nanti, karena produk-produk hasil dari senayan maupun setneg hanya berkesan kejar tayang belaka tanpa melihat esensi yang sebenarnya...

Seharusnya para ulama itu berbesar hati ketika rakyat bisa menentukan sikap dan memiliki kekuatan dalam mengontrol kekuasaan, karena mereka sebenarnya dulu di tahun 70an juga pernah disakiti habis-habisan, namun ternyata mereka juga sudah ketularan linglung juga... hahahaha...

kopinya tak bawa ke kamar lain nih mas... kekekeke...

~Srex~ mengatakan...

Golput juga merupakan pilihan...
sebenarnya putih adalah gabungan dari berbagai macam warna.....maksudnya:

1.aku pilih semua
2.aku gak pilih semua.
akhirnya jadi netral....

pongpet mengatakan...

golput...MUI...haram...MUI...andai ada lembaga yang bisa menharamkan MUI... maka damai umat islam di bumi. salam pongpet

Anonim mengatakan...

Mungki yang diharamkan disana adalah ketika ada calon yang memenuhi standar islam maka haram golput bagi orang islam tapi klo tidak ada yang memenuhi standar islam mungkin golput ga apa2. hehehe

Anonim mengatakan...

mau haram, mau harum, mau wangi, pesing, apolitis atau apapun, saya memastikan diri: GOLPUT! HIDUP GOLPUT!

Anonim mengatakan...

MUI mengharamkan golput ? SUNGGUH ANEH !

Fei mengatakan...

setuju....
demokrasi adalah kebebasan! termasuk bebas untuk tidak memilih.

gue salah satunya.

lagian gak ada dalilnya kalau golput tuh haram.

Anonim mengatakan...

seandainya 50% pemilih Islam memilih Golput,..kira2 anggota dewan nantinya gimana ya?

kira2, itu kali ya latar belakang MUI. ah pusing aku melihat negara ku terkotak-kotak.

Anonim mengatakan...

saya pikir MUI itu terlalu mengada2 mengeluarkan fatwa haram golput. cuma jadi ajang pembodohan rakyat dan mengundang tawa dr negara2 lain

meski menurut saya sebaiknya hak pilih dipakai dg sebaik2nya, tapi siapa sih yg bisa memaksa jika seseorang memutuskan tak memakai hak pilihnya --apalagi jika alasannya krn trauma politik yg berkepanjangan, yg ujung2nya bikin apatis sehingga timbullah golput ini

Anonim mengatakan...

tapi rief, sungguh, meski gue akan ikut pemilu, sampai sekarang gue blon tau mo milih apa dan siapa...bwhahahahah. makanya skarang antena udah tegak terpasang menangkap berbagai sinyal dr indonesia, pilihan mana yg terbaik utk dicoblos:D

Posting Komentar