Praduga Bersalah di Balik Istilah "Terduga"

Ilustrasi. (Sumber: Ravaban.net)



Suatu hari, seorang kawan galau tentang penyebutan "terduga", yang kala itu kasusnya adalah terduga teroris. Kawan yang seorang advokat itu, melalui kicauan di akun Twitter-nya, mengungkapkan keyakinannya bahwa tak ada istilah "terduga" dalam sistem hukum positif negara mana pun, termasuk Indonesia. Tetapi, media massa mengulang-ulang istilah tersebut pada seseorang yang ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Perihal itu sesungguhnya bukan soal istilah semata, tetapi berkaitan dengan konsekuensi hukum. Dalam sistem hukum acara di negeri ini hanya dikenal istilah tersangka dan terdakwa. Tak ada istilah "terduga" (atau pun "terperiksa", yang lazim digunakan dalam kasus korupsi).

Tidak diketahui pasti dari mana asal istilah "terduga" (dan "terperiksa") itu. Ada yang menyebut, itu bermula dari penyebutan oleh aparat penegak hukum, yang barangkali pada suatu waktu ada kasus yang sudah diketahui pelakunya tetapi belum ditemukan bukti untuk menetapkannya sebagai tersangka. Sebab, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, seseorang ditetapkan sebagai tersangka manakala ditemukan bukti permulaan yang cukup.

Namun, saya menduganya, itu berawal dari media massa, atau lebih tepatnya dari upaya penyederhanaan (gampang-gampangan atau 'mencari aman') para jurnalis begitu mengetahui ada kasus hukum yang menarik dan bernilai berita serta perlu segera dikabarkan kepada publik. Sementara, di saat yang sama, aparat belum menetapkan seorang pun sebagai tersangka, atau bahkan melakukan tindakan hukum apa pun.

Penjelasan lebih sederhananya barangkali seperti contoh berikut ini. Suatu saat, misal, Polisi memeriksa seorang pria yang merupakan rekan bisnis seorang pengusaha. Sehari sebelumnya ada seorang pengusaha yang melapor pada Polisi yang mengaku bahwa dirinya telah ditipu seseorang.

Dalam situasi seperti itu, Polisi biasanya masih bungkam untuk mengungkapkan identitas terang orang yang diperiksa tersebut, karena memang belum ditemukan bukti permulaan dan belum ada seorang pun yang ditetapkan sebagai tersangka. Tapi, wartawan -meski tidak semua- biasanya tak sabar dan mulai membuat spekulasi dengan, misal, menulis berita bahwa seseorang yang diperiksa itu "diduga" adalah rekan bisnis seorang pengusaha yang mengaku ditipu tersebut. Tak lupa, si wartawan membubuhkan inisial tertentu yang merujuk pada seseorang yang diperiksa itu.

Hal serupa sering kali terjadi pada kasus-kasus terorisme (dan/atau korupsi). Misal, begitu mengetahui sepasukan Densus 88 bersenjata lengkap menangkap seseorang di sebuah rumah kontrakan, lalu para jurnalis pun serta-merta menyebut "terduga (atau "diduga") teroris". Padahal, sering kali pula, pada saat-saat seperti itu, belum ada satu pun pejabat berwenang di Kepolisian yang menyatakan bahwa seseorang itu sudah berstatus tersangka.

Saat peristiwa penggerebekan/penangkapan sedang berlangsung, para jurnalis, terutama jurnalis media televisi dan media online, tak punya banyak waktu untuk mengonfirmasi status hukum seseorang yang ditangkap itu. Sementara, berita harus disiarkan segera. Media televisi belakangan bahkan seringkali tampak berlomba menjadi yang tercepat (bukan terakurat) dengan menyajikan laporan langsung (live report) dari tempat kejadian perkara, sehingga makin sedikit waktu yang dimiliki si jurnalis untuk melakukan konfirmasi.

Tindakan yang demikian, menurut Kode Etik Jurnalistik (KEJ), tidak dapat dibenarkan. Sebab, penyebutan "terduga" atau "diduga" adalah termasuk kategori opini, bukan fakta, serta sudah memasuki ranah praduga bersalah, sebagaimana disebut dalam KEJ bahwa "Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah."

Disebut opini karena memang tidak ada fakta hukum -karena belum jadi tersangka- yang membuktikan seseorang itu patut diduga sebagai teroris. Disebut memasuki ranah praduga bersalah karena, dalam kalimat sederhana: tak ada angin dan tak ada hujan sudah disebut terduga atau diduga. Bukan tuduhan, memang. Tapi, penyebutan itu sudah mengarahkan persepsi.

Masalahnya tidak sebatas menyangkut etika jurnalistik, tetapi juga berkaitan dengan konsekuensi hukum. Jika seseorang yang disebut "terduga" atau "diduga" itu kemudian benar-benar ditetapkan sebagai tersangka, atau bahkan sampai menjadi terdakwa di pengadilan, mungkin dapat ditoleransi, meski tetap tidak dibenarkan. Tapi, dalam beberapa kasus, mereka yang disebut "terduga" atau "diduga" itu kemudian dibebaskan oleh Polisi karena dianggap tidak terbukti terlibat.

Pada beberapa kasus lain bahkan mereka yang disebut media sebagai "terduga" atau "diduga" teroris itu tidak pernah dibuktikan bersalah atau sebaliknya, karena sudah ditembak mati oleh Densus di tempat kejadian perkara (dalam hal ini tentu tidak termasuk mereka yang sebelumnya sudah masuk dalam daftar pencarian orang alias DPO, karena mereka sudah pasti berstatus tersangka).

Nah, kalau sudah begitu, karena media sudah terlanjur menyebut "terduga" atau "diduga", publik pun meyakini bahwa mereka memang teroris, padahal tidak pernah dibuktikan. Dapat disimpulkan pula bahwa menurut hukum, mereka (seolah) sudah divonis bersalah, padahal tidak pernah ditahan atau masuk ruang pengadilan.

Tegasnya ialah penyebutan dua kata itu tidak relevan menurut prinsip-prinsip jurnalistik maupun hukum. Pada kasus terorisme, kasus korupsi, atau pun kasus-kasus lain yang meski tak ada konsekuensi hukumnya, sama-sama tidak dapat dicarikan alasan pembenarnya. Kalau ada aparat hukum yang begitu, sudah pasti pengetahuan hukumnya harus di-ugrade. Jika (masih) ada jurnalis yang seperti itu, sudah selayaknya dikandangkan terlebih dahulu agar ia punya waktu untuk belajar jurnalistik yang benar.

Baca juga:

Mengenal Tuhan Media
Jurnalisme Gosip
‘Koalisi Besar’ versus ‘Monster Gratisan’
Arogansi Satpam atau Jurnalis?

3 Response to "Praduga Bersalah di Balik Istilah "Terduga""

Anonim mengatakan...

Saya setuju dng artikel anda. Memang ada kata-kata dari pihak media dan jurnalis yg selalubikin gerah tp hal ini tidak pernah dibahas di media. Sebaiknya ada pencetus yg mengangkat masalah kata "terduga dan diduga" ke media.

tukarinspirasi mengatakan...

sip gan artikelnya...

Arief mengatakan...

@anonim, Terima kasih, gan. Info terbaru dari kawan ane, katanya, istilah "terduga" muncul karena polisi bisa menahan 7x24 jam orang yang diduga teroris. Karena sering asal cokok, nah muncul kata itu.

@tukarinspirasi, Makasih kunjungan dan komennya, gan! ;)

Posting Komentar