Silaturrahim di Ujung Jempol

Setidaknya, sejak pagi hingga pagi lagi, pada 1-2 Oktober lalu, telepon selular (ponsel) penulis mengalami peningkatan aktivitas. Nada tanda ada pesan singkat (SMS) masuk dengan lagu “Given Up” karya Linkin Park itu seperti tak mau berhenti berbunyi. Isinya serupa tapi tak sama, yakni, SMS tentang ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 Hijriyah.

Saat itu, kotak pesan masuk pada ponsel terdapat sekira 350 SMS. Sedikitnya, 140-an SMS di antaranya berisi ucapan selamat Lebaran. Angka tersebut sudah termasuk SMS dengan kalimat sama yang dikirim/terkirim lebih sekali.

Si pengirimnya beragam, mulai dari anggota keluarga, saudara, kerabat, teman, sahabat, mantan dosen, rekan kerja/seprofesi, kawan saat masih menjadi ‘aktivis’, pacar, mantan pacar, pengusaha, hingga pejabat penyelenggara negara, dan lain-lain.

Isi SMS-nya pun beragam, bahkan sangat beragam (sekali). Mulai dari yang bernada puitis, diawali sebait pantun, hingga yang seadanya saja. Misal, sebuah SMS yang dikirim berisi, “Tangan bertangkup menghaturkan maaf, hati berbenah menabur ikhlas. Taqabbalallahu minna wa minkum. Minal aidzin wal faizin. Mohon maaf atas segala salah dan khilaf.”

“Satu senyum bisa membuat sesuatu jadi indah. Satu tawa bisa membuat sesuatu jadi bahagia. Satu maaf bisa membuat kita kembali fitrah. Met Idul Fitri. Maapin nyak kalah ada salah,” ucap pengirim di seberang sana diakhiri kalimat bernada Betawi-an.

Ada pula, “Malam ini terasa sangat memikat kalbu karena hari tadi kita telah saling memaafkan antarsesama. Hidup kita saat ini bak selembar kertas putih. Semoga saja kita mampu mengisinya dengan coretan hidup yang penuh harmoni. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 Hijriyah. Mohon maaf lahir dan batin.”

SMS serupa berbahasa daerah pun tak ketinggalan. “Bilih kantos aya carios nu nyungkelit dini ati, teu geunah dina manah, kasiku catur katajong omong ka pribados, mugi rido ngahapunten tina samudaya kalepatan. Minal aidzin wal faizin,” tulis pengirim berbahasa Sunda yang si penerima tak memahami maknanya.

Pengirim dengan kalimat berbahasa Jawa, “Dhawah sami-sami, kawula sakbrayat samanten ugi ngaturaken sadaya kalepatan bilih wonten sisip sembiring ukara lan kaladuking tumindak. Ing pamuji Allah ta’ala tansah paring karaharjan tumraping kita sesami. Amin.”

“Ngaturaken sugeng Riyadin 1429 H. Menawi wonten seliping pangandikan, kaladuking lampah kaliyan sisiping mana, kawulo sekeluwargo nyuwun gunging pangapunten.” Begitu ditulis pengirim yang memang orang Jawa.

“Rumah gadang maimbau pulang. Tanah rantau manahan kaki. Jikok ado kato yang talampau, mohon setulus hati. Met Idul Fitri 1429 H. Mohon maaf lahir dan batin.” Ujar seseorang dalam bahasa Minang.

Bahasa Madura pun ikut ambil bagian. “Kecepot guleh mera, sala lopot mentak seporah,” ucap seorang teman dengan singkat.

SMS berbahasa asing? Jangan ditanya. Ambil saja contoh, “Aidil Fitri is a moment. To be holy, to be a new soul, to forgive each other. So…please forgive al of my mistakes. Happy Aidil Fitri 1429 H.” Cukup konsisten berbahasa Inggris meski si penerima SMS tahu bahwa pengirimnya bukan bule.

“Assalam… Dear Friends…tomorrow is the day when every Moslem celebrating Idul Fitri. And, I wanna apologize for everymistakes that i’ve made… for everyword that i’ve said. For everything that i’ve done. That may hurted you. And, hope Allah will always loves us…Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 H.” Itu pesan berbahasa Inggris dicampur Indonesia? Tidak terlalu sedikit jumlahnya. Mungkin si pengirim sadar bahwa ia orang Indonesia asli.

Masih dalam ponsel penulis. Ucapan selamat Lebaran dalam bahasa Arab, cukup bersaing jumlahnya dengan bahasa Inggris, meski beberapa di antaranya juga tak konsisten. Ada kalimat yang menggunakan bahasa para habaib itu campur Inggris, juga beberapa disisipi bahasa Indonesia.

Beberapa ucapan selamat merayakan Idul Fitri itu mengingatkan penulis pada sebait SMS yang dikirim seorang kawan di awal Ramadhan. “Pesan dikirim sebagai pengganti diri,” demikian ditulisnya.

Disadari atau tidak, SMS telah sebegitu rupa menggantikan kedirian. Fasilitas yang dapat ditemui pada seluruh jenis dan merek ponsel itu telah sukses memosisikan dirinya sebagai model atau cara baru bagi manusia untuk bersilaturrahim. Ia diyakini dapat mewakili kedirian seseorang. Saat pesan dikirim, lalu diterima, maka saat itulah terjadi komunikasi (baca juga: silaturrahim).

Ya. Kata-kata dalam SMS (pesan singkat dalam pengertian sesungguhnya karena memang penulisannya biasa disingkat, bahkan sesingkat-singkatnya) dianggap telah dapat mewakili keseluruhan diri. Padahal, bahasa atau kata-kata tak pernah mampu mewakili seluruh kenyataan. Silaturrahim dalam pengertian konvensional (komunikasi bertatap muka) dianggap telah usang, tak efektif, buang-buang waktu dan tenaga, dan sebagainya.

Prestasi SMS juga patut “diacungi jempol” saat ia telah dianggap pula dapat mewakili tindakan, perbuatan, kejujuran, kebohongan, kesalahan, kebenaran, ketulusan atau keikhlasan, dan sebagainya.

Maaf-memaafkan, terutama saat Lebaran, cukup dilakukan dengan mengirim SMS. Karena memang pesan singkat, maka permohonan maaf melalui SMS haruslah diketik sesingkat-singkatnya, (biasanya) tanpa menyebut kesalahan seperti apa yang diperbuat si pengirim. “Uniknya” lagi, saat permohonan maaf itu dibalas oleh si penerima SMS, maka dianggap tuntaslah kewajiban memohon maaf dan memberi maaf itu. Impas, katanya.

Sepanjang pengetahuan penulis, tradisi silaturrahim model baru itu berkembang sejak sekira lima tahun terakhir, terutama saat penetrasi penggunaan ponsel mulai marak di Tanah Air. Beberapa hari menjelang Lebaran, biasanya orang sudah mempersiapkan kalimat khusus dalam bentuk SMS yang berisi permohonan maaf sekaligus ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri. Pada saatnya nanti, SMS itu cukup dibubuhi nomor penerimanya, lalu dikirim. Selesai. Belakangan, ponsel keluaran terbaru memiliki fasilitas pengiriman SMS ke banyak nomor dalam waktu bersamaan. Luar biasa.

Tidak hanya SMS permohonan maaf yang disiapkan. Belakangan berkembang ‘modus’ baru, yaitu mempersiapkan pula SMS balasan untuk menjawab SMS sebelumnya yang berisi permintaan maaf. Seperti yang dialami penulis. Empat di antara 140-an SMS ucapan selamat Idul Fitri dan pemohonan maaf itu berisi, “Sama-sama… Saya (dan sekeluarga) juga minta maaf atas segala…” Padahal, penulis merasa (bahkan sangat yakin) tak pernah mengirimkan SMS pada keempat orang tersebut.

Fenomena demikian cukup untuk menunjukkan bahwa mahluk bernama SMS itu telah benar-benar menggeser model silaturrahim konvensional. Tradisi bermaaf-maafan saat Lebaran yang dahulu biasanya dilakukan dengan saling bertemu, bertatap muka, berjabat tangan, berpelukan (tanda benar-benar telah saling memaafkan), bahkan ditemani secangkir kopi atau teh dan makanan ringan, kini telah (mulai) hilang.

Sekarang, semua itu dapat dilakukan hanya dengan jempol tangan, yakni mengetik kalimat SMS sesingkat-singkatnya. Rangkaian kata-kata singkatan yang biasanya tak lebih dari 160 karakter itu sudah cukup mewakili seluruh ritual dalam silaturrahim model konvensional. Sungguh sangat singkat.

Namun, di luar itu semua, penulis sepakat dengan kalimat SMS yang dikirim seorang kawan lama. “Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1429 Hijriyah: ‘Barang siapa dengan sengaja tidak memberi maaf, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuannya dia wajib memberi maaf, diancam pidana masuk neraka dan tidak dapat diganti denda. Minal aidzin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin’.”

No Response to "Silaturrahim di Ujung Jempol"

Posting Komentar