Adakah Pilihan Selain Golput dan Tidak Golput?

Beberapa pekan terakhir, wacana golput alias sikap politik tidak menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum (pemilu) semakin menguat. Golput memang bukan istilah baru dalam kamus politik di Indonesia. Ia sudah ada sejak bangsa ini mengenal istilah demokrasi atau lebih tepatnya setelah mengenal pemilu.

Namun demikian, sikap politik yang sejatinya pribadi itu, belakangan seakan menjadi sebuah gerakan atau wacana bersama, setidaknya oleh para elit politik. Wacana tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu itu dipicu pernyataan mantan presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang menyerukan masyarakat agar tidak memilih dalam Pemilu pada 2009 mendatang.

Rupanya, seruan cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari itu ditanggapi serius oleh para elit partai politik dan petinggi negara di Republik ini. Sebagian ulama Partai Kebangkitan Bangsa pun sempat mengeluarkan fatwa bahwa berpartisipasi dalam pemilu adalah fardu kifayah atau kewajiban kolektif. Dan, golput hukumnya haram.

Wacana itu terasa semakin mengemuka saat Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid melontarkan usulan agar NU, Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bersama tentang hukum haram golput. Praktisi dan para pengamat politik pun tak ketinggalan urun komentar.

Gagasan bekas presiden Partai Keadilan (Sejahtera) itu cukup beralasan. Pasalnya, ia menilai bahwa indikasi golput pada Pemilu mendatang sangat besar. Sejumlah hajatan pesta demokrasi lokal atau pemilihan kepala daerah yang banyak diwarnai sikap golput, merupakan bukti nyata atas kekhawatiran itu.

Fatwa haram golput tersebut barangkali bisa menjadi solusi atas kekhawatiran makin maraknya ‘tren’ golput. Fatwa itu bisa saja ‘memaksa’ rakyat untuk tidak golput. Tapi, hal itu jelas bertentangan dengan prinsip kebebasan. Golput atau tidak golput, sejatinya adalah hak setiap warga negara. Kedua sikap tersebut dijamin oleh konstitusi.

Alasan paling masuk akal atas sikap golput adalah bahwa berpartisipasi dalam pemilu pun tak bakal mengubah keadaan. Para elit partai bukannya sibuk memikirkan nasib dan penderitaan rakyat, yang terjadi justru sibuk berkonflik. Tak semua partai, memang. Tapi fenomena itu terjadi pada hampir semua partai besar. Pemerintahan sekarang yang merupakan hasil pemilu 2004 pun tak banyak berbuat banyak selama masa kerjanya.

Itu di satu sisi. Di sisi yang lain, pilihan golput ternyata juga dinilai sebagian pengamat politik sebagai sikap yang tidak tepat. Kalau tidak salah, Profesor Riset pada Pusat Penelitian Politik LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Ikrar Nusa Bakti pernah mengatakan, golput bisa diartikan sebagai sikap tidak mau berdaulat dengan negara ini. Nah, lo!

Jika mengikuti pandangan Ikrar, siapa pun warga negara yang memilih golput, berarti ia tidak ingin berdaulat atau tidak mengakui keberadaan Republik ini. Artinya, jika sudah menolak berdaulat, maka ia tidak dapat disebut sebagai warga negara, tidak punya hak untuk protes, tidak punya hak perlindungan hukum, serta tidak punya hak-hak lainnya.

Kedua pilihan tersebut (golput atau tidak golput), bagi saya, sama-sama tidak mengenakkan. Keduanya ibarat saya sedang sangat membutuhkan obat untuk menyembuhkan sakit kepala. Lalu, ada orang menawarkan obat, tapi orang tersebut tak dapat menjamin obatnya manjur dan dapat mengobati sakit kepala saya. Namun, jika saya menolak meminum obat tersebut, maka tak ada harapan lagi bagi saya untuk sehat kembali.

Golput atau tidak golput pun demikian. Tak ada jaminan jika saya (atau bahkan seluruh rakyat) berpartisipasi dalam pemilu, lalu nasib negeri ini akan lebih baik. Jika memilih golput, bisa jadi saya dianggap tidak memiliki hak sebagai warga negara. Adakah pilihan selain golput dan tidak golput?

Atau, mau pindah kewarganegaraan menjadi warga negara Amerika Serikat? Oh, enggaklah. Nanti saya dilempar sepatu seperti yang terjadi pada Presidennya, George W. Bush. Lagipula saya penganut fanatik paham “Hujan batu di negeri sendiri, lebih baik daripada hujan emas di negeri orang.”

24 Response to "Adakah Pilihan Selain Golput dan Tidak Golput?"

Anonim mengatakan...

jangan, jangan pindah jadi warga negara US, ekonominya sulit dan nggak tau kapan akan pulih. lebih baik sekalian pindah ke negara2 new emerging economies aja spt China atau India...he3x

saya sendiri gak akan golput. gak rela saya membuang hak pilih. meski banyak yg apatis dan bilang semua calon tampak buruk, saya akan pilih yg terbaik dr yg terburuk itu

btw, saya udah terima formulir pendaftaran pemilu dari KJRI chicago. siap2 menyambut pemilu musim panas ini (april, kan?)

Anonim mengatakan...

ada.... selain golput supaya ga milih yach bunuh diri hehehehehehe

Anonim mengatakan...

ah, jadi ingat kata2 Soe Hok Gie "politik tai kucing" :D

Anonim mengatakan...

golput sebuah pilihan tapi kalau aku lebih baik memilih yang terbaik dari yang terburuk.

Anonim mengatakan...

@nita: kalo saya ke cina atau india mungkin saya seperti tarzan di hutan. Gak ngerti bahasa mereka ... hehehe just kidding

@ullyanov: sepertinya ini memang pilihan yang susah.

Anonim mengatakan...

Ada mas pilihan ketiga, yakni tetap memilih tapi dibikin rusak suaranya/gugur. jadi secara aksi dia memilih tapi secara itungan suara dia nol(golput). hehe...cedik ga aku jawabnya???

Anonim mengatakan...

andai semuanya golput... negeri ini makin meriah aja kali
salam kenal
nice 2 meet u

Anonim mengatakan...

Ada... tidur aja ketika pemilu.
hehehehe

goresan pena mengatakan...

bukankah tidak memilih pun ialah sebuah pilihan?
hanya saja, yang gendeng itu, yang memaksakan bahkan membujuk pihak lain untuk menyeru seperti maunya sendiri...

pusing bang...mikir beginian...

hm...bagi kopinya dong...
yang kental.. plain, tanpa gula..
kopi luwak boleh juga, sedang di tenteng2 oprah tuh...sebel yah..

eh...kok jadi ngelantur....halah...maaf yah...

salam,
hesra

Pinkina mengatakan...

Seumur-umur aku gak pernah ikutan pemilu, gak terdaftar, KTP jakarta aja gak punya juga huehuehue

Anonim mengatakan...

GOLPUT bagi saya tindakan kurang terpuji. Mengapa ? karena sangat mustahil org yg GOLPUT itu tidak mengharap pembaharuan yang lebih baik. GOLPUT bukanlah suatu sikap dukungan terhadap perbaikan negeri ini. Sikap GOLPUT adalah sikap acuh dan nggak perduli dg keadaan ..akan tetapi menginginkan perbaikan ke arah lebih baik. Kalau menginginkan ke arah lebih baik, kenapa harus GOLPUT ? kenapa tidak punya KEPUTUSAN ? kenapa sampai ada perkataan TIDAK BISA MEMILIH ?. Bagi saya itu smua terangkum ke dalam 1 sikap, yaitu sikap TIDAK PERDULI dan MASA BODOH !

Anonim mengatakan...

dan hujan emas di negeri sendiri lebih baik daripada hujan sepatu di negeri orang :)
saya asing betul dengan hukum. mau tanya saja deh. jadi mana yang betul menurut hukum: setiap orang berhak milih parpol a atau b? atau setiap orang berhak milih mau ikut milih atau enggak?
dua macam pilihan yg perbedaannya cukup fundamental..

kalau pilih obat a dan ternyata sakit kepalanya ngga sembuh, mungkin kita bisa protes ke pabrik obat a. dan bukankah jika sakit berlanjut, hubungi dokter?
:)

selamat pagi mas arief, makasih sudah mampir kampoeng, dan makasih atas tawaran ngopinya. asik di sini
:)

Anonim mengatakan...

Golput itu sejatinya sikap politik. Memilih untuk tidak memilih. Bila sistem politik yang "ada" dengan rekam jejak memprihatinkan, maka lebih baik memberikan sinyal, bahwa "bila ente cuma juwalan begituan, kagak mempan di ane...!"

Perlu diingat, suara kita adalah modal dan harapan hidup mereka, para politisi. Sepeti masuk ke dalam toko, kita punya uang. Bila toko itu cuma jualan kolor, padahal kita mau beli buku, apa iya uang kita wajib dibelanjakan untuk beli kolor?

Unknown mengatakan...

Sorry telat bang,

Suguhan kopinya kental sekali neh, jadi agak sempoyongan, tapi eman jika nggak di sruput, wis panas, kenhel, manis, wah manstaps men...

Berat mas ngomongin golput, mau dikategerikan haram lagi, wah sudah emosional mereka itu, udah nggak rasional... pengin menang sendiri mumpung berkuasa...

Tapi sudah lumayan bagus mau diharamkan, itu artinya kekuatan golput sudah diakui eksistensinya, meskipun hanya sekedar mbacot aja mereka itu... prakteknya besok pemilu itu misalnya lho mas, golput itu 75persen dari jumlah suara yang ada, toh tetep aja dianggap tidak ada, karena tidak terwakili di Senayan kan.

Mungkin jika pemilu yang ikut hanya berapa ribu orangpun itu akan dianggap sah, karena belum ada aturan yang mengatakan sahnya pileg dan pil-pil yang lainya harus quorum berapa pesen dari jumlah voter yang ada...So arep ngeyel yo ora dianggep...wong sisteme ae ora waras.

Salah rapopo to mas Arif...kekeke, malah nglantur ki..

Ngombe kopi maneh lah..gleg..gleg...glegg...

Anonim mengatakan...

aku suka yang golongan pink, pada bahenol euy

Linda mengatakan...

mampir selamat siang...
salam kenal yaa...nice blog...

Cebong Ipiet mengatakan...

tergantung alasannya
golput krn tidak peduli atau krn emg pny sikap

astrid savitri mengatakan...

Pemilu cuma sekali dlm lima tahun . Cukup ironis jika membuang kesempatan. Barangkali 'memilih' terlihat sepele, tp perubahan biasanya dimulai dr sesuatu yg sepele, bukan?

Dan ttg pertanyaan; 'Adakah pilihan selain golput dan tidak golput?'

barangkali yg bosen putih bisa memilih goltem, goljo, golrah, golning? suka-suka deh, hehe...

Anonim mengatakan...

Ya sdh,bagaimana kalau bung Arief yg menjadi presiden,nanti saya akan memilihnya,hehehe...

**

Salam kenal selalu dariku.

Anonim mengatakan...

orang kadang banyak nuntut haknya daripada menuhin kewajibannya, tp utk urusan ini kok akhir2 ini byk yg nyia-nyiain haknya yah.
kasih tuh si hak

Anonim mengatakan...

Bukannya GOLPUT itu sendiri sudah merupakan sebuah pilihan, pilihan untuk tidak memilih..

Anonim mengatakan...

wah, sayang di jakarta. kalau di Cilacap saya jadikan tim pemenangan saya.
ha...ha...

Nyante Aza Lae mengatakan...

dq slalu berusaha tuk mnggunakan hak pilih dengan sebaik-baiknya..

Anonim mengatakan...

Banyak orang yang seringkali lupa..., bahwa tidak memilih itupun sebuah pilihan... Tabik... ;)

Posting Komentar