Sampul album Dead Sara |
Dead Sara diyakini menganut paham "don't judge a book by its cover" (jangan menilai sebuah buku dari sampulnya). Band hardrock-post-hardcore yang diawaki dua perempuan dan dua lelaki ini seolah ingin menegaskan: "jangan menilai musik kami dari gambar sampul albumnya".
Sampul album perdananya yang bertajuk sama dengan nama mereka tak sedikit pun menampilkan nuansa musik keras. Ia bahkan terlihat seperti sampul album seorang penyanyi solo pop. Dominan warna hitam yang berkesan gelap, memang. Namun gambar wajah perempuan ditambah ornamen yang sekilas tampak menyerupai bunga-bunga atau dedaunan, menyiratkan ia adalah album musik pop nan feminin.
Coba dengarkan tembang pertamanya yang berjudul Whispers & Ashes. Trek bertempo lambat tapi mulai terdengar berat, yang pelan-pelan memudarkan kesan feminin. Itu semacam lagu pemanasan menuju sejatinya musik Dead Sara. Lanjutkan ke trek berikutnya: Weatherman. Alunan intro yang dibuka distorsi gitar di 25 detik pertama seketika membuyarkan seluruh kesan kemayu atas album tersebut. Kesimpulannya jelas: bukan album K-pop.
Riff tebal nan berat bernuansa rada rock n roll di intro itu dihasilkan dari jemari lentik sang gitaris utama, Siouxsie Medley. Ia adalah punggawa grup band asal Los Angeles, Amerika Serikat, itu. Mata birunya sayu, seperti selalu bangun dari tidur. Hidungnya bangir. Bibirnya sedikit lebar, dan ketika terbuka akan terlihat barisan gigi yang rapi. Unyu-lah, pokoknya.
Emily tak kalah unyu dibanding Siouxsie. Dalam klip video Weatherman, Emily menggunakan riasan minimalis dengan corak gelap pada lingkar kelopak matanya, yang mengesankan seperti artis gothic. Tapi usaha untuk membuat tampangnya agar terlihat sangar itu gagal. Parasnya yang jelita tak dapat disembunyikan meski dengan riasan ala metal yang maksimalis layaknya Marilyn Manson.
Rupa Emily dengan bentuk muka lancip dan hidung runcing itu makin kontras dengan watak garang suaranya yang terdengar amat brutal di Monumental Holiday. Pada lagu berirama rancak itu, Emily seperti menemukan ruang yang paling nyaman untuk mengekspresikan seluruh gairah rock-nya. Teriakannya terdengar seolah sedang murka dan tak terkendali, terutama pada bagian setelah chorus. Ia seakan ingin memperingatkan: "Minggir! Nyenggol, bacok!"
Begitu juga Siouxsie yang terdengar lebih leluasa mengeksplorasi riff-riff berat dan bertenaga pada lagu berdurasi 2,41 menit itu. Hasilnya nyaris berwujud rock n roll yang dimodernkan (sebagian menyebut cenderung grunge). Sean Friday, sang penggebuk drum, dan Chris Nul, si pembetot bass, pun seolah tak ingin kalah semangat dari Emily maupun Siouxsie.
Lagu paling santai cuma Sorry for it All. Ukurannya sederhana saja: paling sedikit distorsi gitar, hampir tak ada teriakan-teriakan kasar, tempo drum dan bass yang pelan dan monoton. Tapi lagu kesebelas yang berdurasi 4,48 menit itu tak dapat disebut lagu pop. Ia semacam rock ballad versi mereka dengan gaya bernyanyi Emily yang terdengar emosional.
Lemon Scent ialah lagu andalan berikutnya. Warna rock n roll dominan di nomor bertempo sedang tapi berat ini. Distorsi tebal dari gitar Siouxsie yang hampir selalu diiringi pukulan snare drum milik Sean. Corak vokal Emily lebih variatif: pada bagian tertentu berteriak dengan intonasi lantang, lalu seketika turun melembut, dan sesekali seperti mengeram. Lagu ini barangkali lebih mendekati gaya Janis Joplin.
Siouxsie Medley |
Mengalahkan Marilyn Manson
Pengakuan atas musikalitas Dead Sara tidak hanya karena ia telah menerima penghargaan sebagai Best New Rock Group pada 3rd annual Vegas Rocks! Magazine Awards 2012. Dave Ghrol pun memuji kapasitas Siouxsie, Emily, Sean, dan Chris. "Dead Sara harus menjadi grup band rock terbesar di dunia," kata mantan drummer Nirvana dan kini vokalis sekaligus gitaris Foo Fighters itu.
Dari sekian pujian terhadap Dead Sara, kebanyakan memang menyoroti penampilan Emily. Ada yang menyebut karakter suara perempuan yang dahulu memainkan musik folks itu mirip Janis Joplin. Jenis musik yang dimainkan keduanya memang berbeda: Janis nge-blues rock, sementara Emily rock n roll-hard rock. Tapi karakter keduanya bertemu pada irisan rock. Keduanya juga lady rocker yang berkarakter suara jantan meski Janis tak secantik Emily.
Emily bahkan disejajarkan dengan enam perempuan vokalis band hard rock/metal yang lebih senior pada Rock Goddess of the Year of 2012 Music Awards Loudwire. Ia menyodok masuk ke jajaran nominator bersama Cristina Scabbia (vokalis Lacuna Coil), Amy Lee (vokalis Evanescence), Angela Gossow (vokalis Arch Enemy), Maria Brink (vokalis In This Moment), Lzzy Hale (vokalis Halestorm), dan Jill Janus (vokalis Huntress).
Lagu Weatherman juga melambungkan nama Emily. Loudwire menempatkan lagu itu di urutan nomor 1. Sedangkan di posisi ke-2 sampai 10 ditempati lagu-lagu dari band rock/metal dengan vokalis laki-laki (kecuali Halestorm), yang di antaranya ada Marilyn Manson, Jacoby Shaddix (vokalis Papa Roach) dan Serj Tankian (vokalis System of a Down).
"Lagu ini memiliki bait yang mengesankan: 'Go for the kill,' dan itulah yang Dead Sara lakukan dengan 'Weatherman,' yang menjadikannya nomor 1 lagu di daftar kami sebagai lagu-lagu rock terbaik tahun 2012," tulis Loudwire.
Aksi panggung Emily pun bertolak belakang dengan paras ayunya. Dalam beberapa pertunjukan langsung saat membawakan lagu Weatherman, Emily naik ke atas kotak amplifier setinggi lebih satu meter, lalu melompat ke bawah berbarengan dengan riff menghentak lagu tersebut. Siouxsie tak mau kalah. Ia jingkrak-jingkrak mengikuti irama sembari tetap berusaha berkonsentrasi pada gitarnya.
Emily Armstrong |
Eksistensinya Masih Diuji
Penampilan Dead Sara sebagai pendatang baru memang memukau. Tapi ia bukan tanpa cela. Debut pertamanya bukan album self titled itu, melainkan The Airport Sessions meski terkategori extended play (EP) atau bisa disebut album mini, yang sifatnya uji coba. Album berisi enam lagu itu kurang sukses dan tampak masih mencari bentuk; belum segahar pada album berikutnya, corak rock-nya belum sepenuhnya keluar.
Komanter Dave Ghrol lebih bermakna tantangan daripada pujian kepada Dead Sara. Satu album EP dan sebuah album reguler (perdana) belum cukup untuk membuat kesimpulan bahwa Dead Sara memang patut diperhitungkan di jagat musik rock/metal dunia. Eksistensinya masih perlu diuji sedikitnya dua-tiga album lagi sekaligus dengan inovasi-inovasi baru mereka.
Ujian lain ialah jam manggung mereka. Sebab dalam sejumlah konser, penampilan Emily tidak terlalu baik. Suaranya kedodoran sebagai akibat terlampau banyak melalukan gerakan yang sesungguhnya tak perlu dan justru menguras energi. Ia tampak lebih suka mengekspresikan emosi rock n roll-nya ketimbang bernyanyi dengan baik dan benar. Tak seperti yang dilakukan Siouxsie, Sean dan Chris, yang lebih berusaha untuk fokus pada alat yang mereka mainkan.
Pada satu kesempatan, mereka membawakan lagu Rage Against The Machine yang berjudul Killing in the Name. Tindakan itu sebetulnya cukup berisiko, karena lagu Killing in the Name adalah lagu yang kental unsur metal/core dan rap (rap-core) dan bertempo cukup tinggi. Sedangkan Dead Sara cenderung hard rock. Hasilnya, Emily terdengar hanya berteriak ketimbang bernyanyi/nge-rap seperti Zack de la Rocha (vokalis Rage Against The Machine).