Ideologi Komersial dan Ideologi Media

Ilustrasi media (Sumber: Clermontsearch.com)



Jika tak dapat disebut bertentangan, bisnis media dan ideologi media/pers sesungguhnya tak pernah seiring-sejalan. Keduanya, jelas, memiliki kepentingan yang tak dapat diseiringkan. Tak pula disejalankan. Di satu sisi, bisnis media berkepentingan meraih keuntungan ekonomis sebesar-besarnya. Ideologi komersial, begitu lebih tepatnya. Maka, informasi atas sebuah fakta diperlakukan sebagai komoditas yang (harus) bernilai jual.

Di sisi lain, media massa memuarakan tujuan aktivitas jurnalistiknya untuk kepentingan publik. Pengabdian pada kebenaran dan kepentingan publik, kata Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, merupakan prinsip dasar jurnalisme. Hal demikian yang kemudian disebut ideologi media/pers.

Karena itu, tidak tepat jika dikatakan bahwa tak ada pertentangan antara bisnis dengan ideologi media, seperti pendapat Amir Effendi Siregar dalam Bisnis dan Ideologi Media (Kompas, 24 April 2010). Menjalankan ideologi media, menurutnya, bukan berarti harus mengorbankan bisnis media. Sebab, bisnis yang baik adalah yang dijalankan sesuai dengan ideologi yang bermanfaat buat masyarakat.

Masalahnya, hal yang dianggap bermanfaat bagi masyarakat tak serta-merta menjadi kebaikan atau dapat dijalankan oleh bisnis media. Kebenaran dan kepentingan publik --yang merupakan prinsip dasar jurnalisme-- tak niscaya menjadi kemanfaatan (ekonomis) bagi bisnis media. Sebab, informasi atas sebuah kebenaran atau kepentingan publik harus memiliki kriteria bernilai jual lantaran ia adalah komoditas. Pengertian sederhananya: buat apa membuat berita jika korannya tak dibeli masyarakat, atau stasiun televisinya tak dapat pasokan iklan.

Sebuah informasi yang benar (sesuai fakta) dan menyangkut kepentingan publik dapat menjadi ‘komoditas yang baik’ untuk masyarakat, pun untuk bisnis industri media. Syaratnya, ia harus bernilai jual (lazimnya berkarakter kontroversial, menghebohkan, provokatif). Namun, tak semua informasi yang benar dan menyangkut kepentingan publik bernilai jual, sehingga bukan ‘komoditas yang baik’ dan dapat mendatangkan keuntungan ekonomis bagi industri media.

Fakta tentang rusaknya sebuah separator busway di Jakarta, misal, tentu bukan/kurang memenuhi unsur sebagai ‘komoditas yang baik’ dibanding hasil laporan investigasi tentang rekening gendut perwira Polisi (yang justru kontroversial dan memerlukan pengujian/pembuktian). Keduanya adalah fakta (meski yang terakhir adalah fakta yang perlu pembuktian lebih lanjut) dan menyangkut kepentingan publik. Namun, media memperlakukan keduanya berbeda: ada yang memberitakan ala kadarnya, dan ada pula yang tak peduli.

Kasus peredaran video adegan dewasa yang disebut-sebut mirip tiga pesohor papan atas Tanah Air pada 2010, juga contoh yang masih segar dalam ingatan. Betapa media lebih bergairah memburu informasi atas fakta seputar peredaran video tak senonoh itu ketimbang kabar tentang buruknya pelayanan sebuah puskesmas di ujung pedalaman Kalimantan sana. Apa pasal? Kasus video merupakan ‘komoditas yang baik‘ dan lebih bernilai jual, sedangkan perkara puskesmas tidak/kurang.

Contoh yang demikian, belum termasuk dalam persoalan terkategori ‘komoditas yang baik‘ dan bernilai jual plus berbau gossip alias fakta yang dioplos dengan opini. Media massa televisi, terutama sekali infotainment, yang paling banyak memerankan fungsi demikian. Jelas, menjadi perkara tambahan bagi hubungan bisnis dan ideologi media. Sebab, selain telah melanggar prinsip dasar dan Kode Etik Jurnalistik, informasi/berita tentang fakta yang dicampur opini juga akan mengaburkan fakta itu sendiri. Tujuannya tak lain kepentingan ekonomis semata.

Berita dalam makna ‘komoditas yang baik’ serta bernilai jual (dan yang sebaliknya) itu pun tak pernah merupakan fakta sesungguhnya fakta. Sebab, berita bukan adalah peristiwa itu sendiri. Berita merupakan usaha rekonstruksi kerangka peristiwa yang terjadi. Maka, berita dalam konteks komunikasi massa, lebih merupakan inti yang disesuaikan dengan kerangka acuan yang dipertimbangkan agar peristiwa itu memiliki makna bagi para pembacanya (Wilbur Schramm, 1949).

Sebagai sebuah kerangka peristiwa yang telah direkonstruksi, tentu, berita dapat memiliki kepentingan sendiri, meski tetap merupakan kepentingan ekonomis. Berita --walau pun telah berdasar prinsip dasar dan Kode Etik Jurnalistik-- tetap dapat disesuaikan atau diselaraskan dengan kepentingan pemilik modal atau pemilik bisnis media.

Makna sederhananya, hasil liputan atau berita yang dibuat sang jurnalis terbuka ruang untuk disesuaikan dengan kepentingan mana pun, terutama kepentingan industri media sendiri. Sang jurnalis hanya bagian kecil dari seluruh struktur sosial yang lebih besar. Struktur sosial di luar sang jurnalis itu dapat begitu kuat memengaruhi seluruh isi berita media massa.

Negara di Antara Dua Ideologi

Senyampang masih dalam batas-batas yang dibolehkan menurut prinsip dasar dan kode etik jurnalistik, kapitalisasi informasi barangkali dapat diwajarkan. Namun, tak boleh dibiarkan. Berbeda ketika kapitalisasi informasi itu telah berani melanggar nilai dan norma yang berkembang di masyarakat. Kapitalisasi semacam itu tak boleh dianggap wajar, apalagi dibiarkan.

Seperti halnya pemberitaan berlebihan oleh media infotainment terkait kasus peredaran video dewasa yang menghebohkan dan sensasional itu. Hal demikian tidak saja melanggar nilai dan norma serta prinsip dasar dan Kode Etik Jurnalistik, melainkan juga turut berperan bagi pembodohan masyarakat. Sebab, dalam konteks ini, masyarakat hanya bisa pasrah sebagai konsumen media. Sementara, media tiada henti menggempur masyarakat dengan informasi-informasi yang tak baik untuk dikonsumsi.

Negara, dalam hal ini pemerintah, memiliki instrumen untuk mengatasi hal tersebut. Dalam hal penyiaran, lembaga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus menjadi yang terdepan bagi perkara sengketa ideologi komersial dengan ideologi media/pers. Industri media tak dapat dan tak boleh berlindung di balik alasan kebebasan pers yang memang dijamin oleh konstitusi.

KPI, juga Dewan Pers, harus mampu memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa tayangan atau informasi yang disajikan industri media benar-benar untuk kebaikan publik. Jika tidak, industri media yang menikmati keuntungan ekonomis, dan justru masyarakat yang merugi.

Baca juga:

Lemparkan Saja Batunya ke Hacker
Ideologi Tak Pernah Mati
‘Koalisi Besar’ versus ‘Monster Gratisan’
Musik Rock Amerika Bercita-rasa Bali

1 Response to "Ideologi Komersial dan Ideologi Media"

Unknown mengatakan...

kita juga punya nih artikel mengenai media informasi, silahkan dikunjungi dan dibaca , berikut linknya
http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/3359/1/Perancangan%20Media%20Komunikasi.pdf
semoga bermanfaat

Posting Komentar