Rokok dan Ponaryo Astaman

Apakah Ponaryo Astaman merokok? Saya tidak tahu. Kalau pun tahu, saya tidak peduli. Maksud saya menulis judul tersebut di atas adalah hubungan antara rokok dengan nasib Ponaryo Astaman dan pesepakbola nasional lainnya. Pastinya ada hubungan—langsung atau tidak langsung—di antara keduanya, terutama setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram merokok.

Salah satu yang saya ingat tentang sepakbola nasional adalah rokok. Saya tidak tahu sejak kapan perusahaan rokok di negeri ini mulai tertarik men-sponsori setiap kompetisi tendang-tendangan si kulit bundar itu. Hal yang saya tahu, itu sudah berlangsung cukup lama, bahkan mungkin sebelum Ponaryo menjadi pesepakbola profesional.

Sejak Liga Indonesia itu ada, pada 1994, hanya satu perusahaan perbankan yang berani menjadi sponsor utamanya. Selebihnya perusahaan rokok, terutama salah satu kerajaan rokok terbesar di negeri ini yang berbasis di Kudus, Jawa Tengah. Satu lagi perusahaan rokok yang menjadi sponsor utama di awal Liga Indonesia itu dihelat, yang kini entah ke mana batang hidungnya.

Kompetisi yang digelar tiga kali berturut-turut sejak 2005 dengan melibatkan 92 tim yang terdiri dari 36 klub Divisi Utama, 40 klub Divisi Satu dan 16 klub Divisi Dua, pun disponsori perusahaan rokok. Hingga kemudian nama salah satu produk perusahaan rokok itu dijadikan nama kompetisi itu sendiri.

Saya tidak sedang mendebat fatwa para ”Pewaris Nabi” itu. Namun, diakui atau tidak, rokok turut memberikan sumbangsih yang tidak kecil nilainya bagi ”perkembangan” dunia sepakbola di Tanah Air. Tak perlu menyebut dunia sepakbola Indonesia kini sudah maju. Sebab, kenyataannya memang tidak begitu. Tapi, saya rasa, kita semua sependapat bahwa perusahaan rokok cukup berjasa dalam dinamika persepakbolaan di Republik ini.

Mungkin agak berlebihan jika saya mengatakan: ”Entah bagaimana nasibnya jika tak ada perusahaan rokok.” Tapi, sejarah membuktikan bahwa tak ada perusahaan lain (kecuali bank) yang berani membiayai perhelatan tendang-tendangan tersebut, selain perusahaan rokok. Saya belum menemukan data yang menyebutkan berapa omzet perusahaan rokok asal Kudus itu. Namun, dari rokok, negara mendapat uang pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPH) sebesar Rp 32 triliun per tahun.

Perusahaan rokok itu berani membiayai barangkali karena yakin ada atau tidak krisis ekonomi global, rakyat Indonesia tetap akan merokok. Itu juga berarti bahwa perusahaan rokok yakin tak akan kehilangan konsumen. Pun, pengalaman dari negara-negara lain, tidak ada perusahaan rokok yang bangkrut jika peredaran rokok dibatasi. Produksi mungkin berkurang tetapi untung industri rokok masih tetap triliunan rupiah.

Di Indonesia, masalahnya agak berbeda. ”Pembatasan” peredaran rokok itu tidak dilakukan negara, melainkan oleh lembaga non-pemerintah. Belum ada laporan final tentang pengaruh fatwa tersebut terhadap industri rokok. Namun, saya memperkirakan akibatnya bakal jauh lebih dahsyat dibanding jika negara yang melakukan pembatasan. Sebab, kebal-kebul itu hukumnya haram. Haram artinya perbuatan yang berakibat dosa. Merokok berarti berdosa. Dan, berdosa imbalannya adalah neraka.

Anggap saja sebagian besar penduduk negeri ini yang muslim mengikuti fatwa haram tersebut karena tidak mau masuk neraka. Jika hal itu terjadi, bukan tidak mungkin industri rokok bakal gulung tikar. Tak hanya itu. Petani tembakau pun bakalan terancam kehilangan penghasilan dalam satu musim tanam.

Jika sudah demikian, Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia harus berpikir ekstra keras untuk mencari perusahaan lain yang bersedia membiayai hajatan tahunannya itu. Pilihan lainnya, Ponaryo Astaman dan kawan-kawan pesepakbola nasional lainnya harus berpikir ulang untuk cepat-cepat gantung sepatu.

Dan, kondisi demikian tidak hanya bakal dialami dunia sepakbola, melainkan juga cabang olahraga lainnya, seperti bola voli, tenis, bulutangkis, golf, bowling, bilyar, basket, dan lain-lain. Eh, masih ada satu lagi. Industri musik di Republik ini juga tergantung sama perusahaan rokok, lho. Dua perusahaan rokok besar yang berpusat di Surabaya dan Malang (keduanya Jawa Timur) selalu jadi langganan sponsor utama setiap even musik di negeri ini. Tahu, kan?